eQuator.co.id – Pontianak-RK. Perbedaan arti kata auliyaa’, yang diterjemahkan sebagai ‘pemimpin’ maupun ‘teman setia’, dalam cetakan tafsir Alquran surah Al Maidah ayat 51 pun sampai ke Kalimantan Barat. Sejumlah pelajar di Kota Pontianak bingung dengan perbedaan tersebut.
Sebagaimana diketahui, surah Al Maidah ayat 51 lazimnya berisi umat Islam memilih ‘pemimpin’ jangan mengambil dari golongan Yahudi atau Nasrani. Kata ‘pemimpin’ itu di beberapa cetakan Alquran juga diartikan ‘teman setia’.
Senin (24/10), Rakyat Kalbar mengunjungi Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 2 Pontianak yang beralamat di Jalan Ahmad Yani No. 9. Sekolah ini memiliki pelajaran khusus tafsir Alquran dan hadist. Perbedaan terjemahan ini menjadi tanda tanya bagi para siswa.
Beberapa siswa ditemui seusai mereka pulang sekolah. Muhammad Ramadhan, salah seorang diantaranya. Siswa XI IPS 3 itu mengaku, ketika berita mengenai surah Al Maidah ayat 51, mulai santer, ia sempat mengecek sendiri redaksi ayat tersebut.
“Ternyate berbeda antara Quran di rumah dengan yang di HP,” tutur remaja 16 tahun yang beralamat di Tanjung Hilir, Pontianak, tersebut.
Ia menjelaskan, saat membaca terjemahan mushaf Alquran di rumahnya, terjemahan auliyaa’ adalah teman setia. Sementara pada kesempatan lain, ketika membaca terjemahan Alquran di smartphone-nya, dia mendapatkan terjemahan pemimpin untuk kata auliyaa’.
“Agak bingung lah bang, kok bisa beda,” tutur Ramadhan.
Pantauan di MAN 2, memang ditemukan perbedaan tersebut di antara Alquran yang dibawa para siswa dan siswi. Dari tiga mushaf Alquran yang dibawa para pelajar di sana, dua diantaranya menuliskan auliyaa’ sebagai terjemahan teman setia dan hanya satu yang mengartikannya pemimpin.
Dua tafsir ‘teman setia’ tersebut masing-masing terbitan PT Syaamil Cipta Media (Syaamil) dan Cipta Bagus Segara (Al-Wasim). Sementara tafsir ‘pemimpin’ ada di terbitan CV. Asy Syifa’. Ketiga-tiganya melampirkan sertifikat dari Lajnah Pentashih Alquran yang bertuliskan huruf Arab.
Menyingkapi perbedaan ini, Kepala MAN 2 Pontianak, Drs. H. Hamdani Sulma, SPd, enggan berpolemik. Menurut dia, lebih baik menunggu pernyataan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).
“Karena apa yang dikeluarkan oleh majelis ulama itulah rujukan kita. Karena mereka sudah diberi Allah kelebihan, menguasai ilmu agama. Itulah rujukan kita satu-satunya, jadi jangan kita memperdebatkan antara terjemahan satu dan terjemahan lainnya,” ungkapnya.
Hamdani melanjutkan, ada dua jenis terjemahan Alquran yakni harfiah dan tafsir. Kata dia, yang ada di masyarakat saat ini adalah terjemahan harfiah.
“Sementara yang terpenting itu adalah tafsirnya. Misalnya menafsirkan ayat ini untuk memilih pemimpin, apa benar, ternyata ada tujuh ayat lainnya yang mendukung tafsir tersebut,” jelasnya.
Ia meyakini bahwa perbedaan teks terjemahan tersebut tidak akan mengganggu proses belajar mengajar. “Saya yakin orang-orang (guru) yang ada di sini (MAN 2) luas ilmunya, pasti dia mengerti dalam bidangnya,” jelas Hamdani.
Terlebih, untuk mata pelajaran-pelajaran khusus seperti Tafsir Alquran maupun Bahasa Arab. Ia meyakinkan bahwa guru tersebut memang orang yang benar-benar menguasai bidang studi tersebut.
Masih dikatakan Hamdani, kewenangan mengenai penerbitan Alquran saat ini berada di bawah Kementerian Agama. “Ada yang namanya majelis tarjih, lalu ada pentashih (pengkaji) Alquran. Jadi ada kontrol, nggak sembarangan,” tegasnya.
Imbuh Hamdani, “Saya tak tahu pasti, tapi kemarin dari Departemen Agama melakukan revisi. Jadi mungkin itu sebabnya”.
Penelusuran berlanjut ke beberapa toko buku di Kota Pontianak, besar dan kecil, yang menjual terjemahan Alquran. Di Jalan Patimura, didapati satu kios dengan terjemahan Alquran surah Al Maidah-nya yang mengartikan auliyaa’ sebagai teman setia. Sedangkan sejumlah toko buku di Jalan Juanda tidak menjual satupun terjemahan Alquran.
Sementara, di pusat perbelanjaan A Yani Mega Mal, terdapat toko buku yang menjual tafsir Alquran dari beberapa penerbit. Ada yang mengartikan auliyaa’ sebagai pemimpin, ada yang menerjemahkannya sebagai teman setia. Rata-rata penerbit yang mencetak teman setia sebagai arti kata auliyaa’ berasal dari Surabaya, Jawa Timur.
Dikonfirmasi, Kepala Kantor Kementerian Agama Kalimantan Barat, H. Syahrul Yadi, pun menyatakan sebenarnya yang tepat untuk menanggapi adalah para ahli tafsir. Namun, sepengetahuan dia, Kementerian mengacu kepada kata pemimpin, bukan kepada teman setia.
“Saya belum dapat informasi dan menemukan hal tersebut di Kalbar ini,” ungkap Syahrul, Selasa (25/10).
Ia menegaskan, yang pasti pihaknya menghindari pertikaian. Jangan sampai siapapun demi kepentingan politik menggunakan instrumen ayat-ayat Alquran. Syahrul berharap Kalbar tak terkontaminasi dengan peristiwa yang terjadi di Jakarta.
“Tidak ada untungnya, bahkan merugikan,” tegasnya.
Menurut dia, sudah masanya warga Kalbar berpikir rasional dan cerdas. Lebih mementingkan kerukunan antar umat. “Saya pikir apapun yang bersifat tafsiran ada yang berbeda tergantung latar belakang yang menafsirkan. Ada pribadi, kelompok,” tutur Syahrul.
Ia mengatakan punya dua Alquran terjemahan. Setelah dilihat, terjemahan kata auliyaa’ dalam surah Al Maidah ayat 51 tersebut hanya ada kata pemimpin. Syahrul menjelaskan, kalau ada perkembangan lebih lanjut, yang namanya tafsiran itu bersifat dinamis, tergantung siapa yang menafsirkan.
“Lebih bagus, biar aman, jangan blow up ayat kitab suci dalam proses pembenaran,” tandasnya.
Di sisi lain, ahli tafsir Alquran dari IAIN Pontianak, Dr. Harjani Hefni, Lc. Ia menjelaskan mengenai makna kata wali yang dalam bentuk jamak menjadi auliyaa’. Secara bahasa, kata ini memiliki arti penolong atau kekasih. Namun, diakuinya, kata tersebut bisa juga bermakna teman dekat, yang mengurus, atau yang menguasai (pemimpin).
Menurut Harjani, untuk memahami konteks kata tersebut kita bisa merujuk tafsir-tafsir yang telah ditulis oleh banyak ulama Islam yang sudah diakui. “Misalnya tafsir Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat Al Maidah ayat 51 ini tentang larangan untuk memberikan loyalitas pada yahudi dan nasrani,” terangnya, Selasa (25/10).
Hanya saja, ada pula kitab tafsir lainnya yang menegaskan bahwa larangan ini adalah untuk menjadikan mereka sebagai pemimpin. Hal ini merupakan pendapat Imam An Naisaburi dalam tafsir An Naisaburi.
“Beliau berpendapat orang-orang yang menjadikan mereka pemimpin adalah orang yang menzalimi diri sendiri, karena menempatkan loyalitas tidak pada tempatnya,” ungkap Harjani.
Kitab tafsir lainnya yang dijelaskan oleh Harjani adalah tafsir Ath Tabhari. Dalam kitab ini dijelaskan makna kata wali atau auliyaa’ ini sebagai penolong dan kekasih.
“Nah, dari kesimpulan ini, jelas bahwa pemaknaan ayat ini adalah larangan memberikan loyalitas dan kesetiaan muslim kepada yahudi dan nasrani,” ungkapnya.
Ia melanjutkan, ada pula yang beranggapan bahwa larangan ini hanya untuk menjadikan mereka sebagai teman setia, bukan larangan untuk menjadikan mereka pemimpin. Dia menganalisa, anggapan tersebut merupakan sebuah keadaan kerancuan berpikir dalam memahami sesuatu hal, yang mengakibatkan sesuatu yang salah terlihat benar atau sebaliknya.
“Itu syubhat pemikiran. Ulama menjelaskan bahwa ini adalah qiyas aula. Yakni, jika mereka dijadikan teman saja tidak boleh, apalagi pemimpin. Lebih tidak boleh lagi,” papar Harjani.
Diceritakannya, penerapan ayat ini pernah terjadi ketika zaman kekhalifahan Umar bin Khatab. Salah seorang gubernurnya, Abu Musa Al-Asyari, pernah mengangkat seorang nasrani sebagai sekretaris.
“Nah, posisi sekretaris ini sangat vital, sampai-sampai Abu Musa menganggap kalau tidak ada Si Nasrani, urusan kenegaraan bakal kacau,” kisahnya.
Namun, kemudian Umar membacakan ayat ini dan memerintahkan Abu Musa untuk memecat sekretarisnya tersebut. “Ketegasan sikap Umar ini menunjukkan bahwa tidak boleh untuk menggantungkan urusan dengan orang kafir, termasuklah soal kepemimpinan,” pungkas Harjani.
Laporan: Iman Santosa dan Isfiansyah
Editor: Mohamad iQbaL