eQuator.co.id – PONTIANAK-RK. Hingga kini, Pemerintah Provinsi Kalbar belum juga melimpahkan aset Metrologi Legal kepada Pemerintah Kota Pontianak. Persoalan yang telah berjalan selama dua tahun itu menyebabkan terjadi stagnasi pelayanan publik tera dan tera ulang di Kota Pontianak.
Melihat kondisi ini, Ombudsman RI perwakilan Kalbar melaksanakan Focus Group Discussion (FGD) Hasil Kajian Stagnasi Pelayanan Tera dan Tera Ulang di Kota Pontianak di Restoran Cita Rasa, Pontianak, Senin (2/4). Kegiatan ini menghadirkan penjabat Pemprov Kalbar, Pemkot Pontianak, perwakilan Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) serta Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas) Kalbar “Kami sampaikan bahwa FGD ini dilaksanakan berdasarkan amanah dari Ombudsman RI, sebetulnya hal ini mudah tapi kita mendapatkan kendala. Bahan yang sudah kami dapat dari Kemendagri lumayan juga, persoalan ini sampai ke tingkat kementerian,” ungkap Kepala Ombudsman RI Perwakilan Kalbar, Agus Priyadi.
Ditegaskannya, akibat stagnasi tera ini ratusan miliar sudah di rugikan, terutama timbangan besar. Tidak hanya konsumen, kondisi ini juga menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan publik yang dilakukan pemerintah.”Kalau ini tidak di limpahkan bagaimana jadinya. Padahal berlaku di moto pelayanan publik itu. Kalau mudah kenapa di persulit?” tanya Agus.
Ia menganggap tindakan pejabat yang bersangkutan persoalan ini sering mementingkan ego. Untuk meningkatkan kembali pelayanan publik, maka Ombudsman merasa penting untuk menindaklanjuti hal ini dalam bentuk kajian. “Persoalan tera ini sudah di didiskusikan dimana-mana,” sebutnya.
Kalau permasalahan ini tidak selesai pada FGD, maka harus di limpahkan ke Jakarta. Untuk itu, Pemprov Kalbar harus melaksanakannya. “Ada sanksi bagi setiap pejabat yang mengabaikannya,” tegasnya.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, ditegaskan dia, terdapat perubahan/peralihan kewenangan pada pembagian urusan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah provinsi maupun Kabupaten/kota. Satu diantara peralihan kewenangan itu pelaksanaan metrologi legal berupa tera dan tera ulang, di mana pengawasan harus dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota.
“Persoalan ini sudah menaon (bertahun-tahun). Walaupun Sudah amanah Undang-Undang tetap saja bolak-balik tidak selesai-selesai,” sebut Agus.
Aturannya, aset itu sudah harus diserahkan setelah tanggal 2 Oktober 2016. Kenyataannya, hingga saat ini belum juga dilimpahkan. “Ini amanah Undang-Undang, bukan Ombudsman. Kenapa banyak alasan, bahkan tidak peduli lagi dengan pelayanan publik,” sesalnya.
“Provinsi lain sudah, kita belum. Pelayanan publik yang penting itu kan harus mudah, cepat dan transparan,” sambung Agus.
Agus mengaku telah mencoba menghubungi Penjabat (Pj) Gubernur Kalbar, tetapi belum mendapatkan jawaban yang memuaskan. “Bosan saya WA pak Pj. Gubernur tapi belum ada jawaban. Berarti ada sesuatu, apa itu?,” ucap Agus.
Sementara itu, Kepala Sub Direktorat Perindustrian Dalam Negeri, Dirjen Kemendagri, Jahluddin mengungkapkan, dari sembilan provinsi yang disurati Kemendagri, tinggal empat provinsi yang belum menyelesaikan persoalan penyerahan aset tera ini. Empat provinsi itu Sulewesi Selatan, Papua, Kalbar dan Maluku.
“Dari pertemuan ini Kemendagri akan lakukan pembicaraan dengan Pj. Gubernur supaya bisa terlaksana dengan cepat. Kami minta pemerintah kota sementara bisa kerja sama dengan Pemkab Kubu Raya. Secepatnya Kemendagri akan mendorong itu,” ungkapnya kepada Rakyat Kalbar.
Ditegaskan dia, belum diserahkan gedung metrology ini sebenarnya merugikan masyarakat. Oleh karena itu, harus secara bersama-sama mendorong ini supaya secepatnya bisa selesai. “Pelayanan publik itu yang utama, kita beri tenggat waktu tidak lewat dari April 2018,” tegasnya.
Jahluddin mengatakan, pada FGD yang dilakukan semua pihak sepakat perihal yang sebetulnya telah melanggar aturan Undang-Undang ini akan diselesaikan secara bersama-sama.
“Sebaiknya kita pendekatan dengan baik, kita maklumi bersama inginkan melanggar hukum, tapi saya sepakat dengan yang lain mencari jalan yang lebih baik. Mungkin ada hal-hal yang kita tidak tahu persis kita coba dulu dengan cara ini,” tuturnya.
Dia optimis stagnasi aset tera dan tera ulang di Kalbar ini akan selesai dalam waktu dekat. Ia contohkan di Provinsi Aceh yang banyak problematika kepentingan di luar pemikiran bisa menyelesaikan hal itu setelah mendapatkan Gubernur baru.
“Kalbar ini kepala daerahnya koperatif mungkin masukan di bawah yang kurang aktif. Contohnya Aceh sama kayak Kalbar cuma kok dia bisa, Kalbar kok belum?” tutup Jahluddin.
Sementara itu, Kasubdit Penilaian, Evaluasi dan Fungsional Kemetrologian Kemendag RI, Hero Subroto menuturkan, sebetulnya jauh sebelum Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 diberlakukan, pihaknya juga pernah mengalami kasus yang sama. Yakni ketika peralihan aset dari pusat ke provinsi. Untuk aset tera dan tera ulang metrologi legal ini dinilai lebih efektif apabila pelayanannya dilakukan pemerintah kabupaten/kota yang dianggap lebih dekat dengan rakyat.
“Kita telah lakukan berbagai upaya advokasi edukasi dan banyak cara yang kita lakukan, dan kesepakatan dari berbagai daerah kita. Minggu depan kita ingin provinsi kembali kepada jalan yang benar,” tutur Hero.
Sementara itu, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kalbar Muhammad Ridwan memastikan, Pemprov sejalan untuk mengedepankan pelayanan publik. Pesan Pj. Gubernur Kalbar, memastikan untuk mempercepat penyelesaian persoalan ini. “Hal-hal yang berkaitan dengan ini diselesaikan dengan aturan yang ada, jadi tidak menabrak aturan-aturan,” ujar dia.
Ridwan pun memastikan jika Pemprov Kalbar tidak memiliki niatan menahan tera. Pemprov tunduk pada aturan. Namun dalam aturan itu ada aturan lain yang berkenaan dengan aset dan sebagainya.
“Itu ada persyaratan teknis yang kami lakukan juga, pertemuan ini menjadi perhatian untuk mempercepat sehingga masyarakat tidak merasa dirugikan,” pungkas Ridwan.
Staf Ahli Wali Kota Pontianak Bidang Pemerintahan dan SDM, Imran mengatakan, bahwa Pemkot Pontianak sudah sering koordinasikan dengan Pemprov Kalbar berkaitan pelimpahan metrologi legal tersebut. Namun pihaknya tidak tahu jelas apa alasan Pemprov belum mau menyerahkan. Menurutnya, bagaimana menjelaskan kalau terjadi kehilangan barang dengan sengaja. Tentu itu adalah ranah pidana.
Sedangkan menghilangkan barang pemerintah dengan tidak sengaja atau dicuri ada Tuntutan Perbendaharaan-Tuntutan Ganti Rugi (TP-TGR). Harus ganti rugi untuk penggantian barang yang hilang.
“Kondisi seperti ini sudah berlarut dari Oktober 2016 hingga sekarang dan tenaga ahli baru diserahkan bukan 2016, tapi di 2017, kalau tidak salah April 2017,” katanya saat hadir mewakili Pjs. Wali Kota Pontianak.
Akibat belum dilimpahkan, kerugian yang dialami Pemkot Pontianak sangat luar biasa. “Seperti di data Ketua Ombudsman, ada jelas hitungan secara matematis, kondisi sekarang mungkin sudah triliunan,” tegasnya.
Sikap Pemprov Kalbar ini tidak sejalan dengan Pemkot Pontianak. Pasalnya, Pemkot justru dengan senang hati menyerahkan seperti gedung SMA/SMK ke Pemprov. Sikap Pemkot ini tentu sudah luar biasa.
“Serahkan semuanya secara administrasi sudah teratur, saya juga tidak mengerti seperti apa administrasi yang dilakukan pemerintah provinsi. Yang jelas ada tanggung jawab kalau Sekretaris Daerah punya otoritasi keuangan, otoritas keuangan, dia yang harus bertanggung jawab itu. Ini secara jabatan ya, bukan pribadi,” papar dia.
Menurut dia, dengan kondisi ini aktivitas tera dan tera ulang di Kota Pontianak. Peralatan tera yang sangat mahal terabaikan. Makanya, Imran mengusulkan bila perlu penanganannya jangan di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), tapi langsung KPK. “Karena nilainya sudah luar biasa,” tegasnya.
Pemprov kata dia, hanya menyerahkan pegawai-pegawai tera yang memang sudah mahir. Selama ini mereka menganggur. Jika dihitung secara matematis, bayangkan berapa kerugian pemerintah. Padahal beberapa pegawai tera itu sudah dilatih berbulan-bulan, bahkan tahunan. “Satu orang berapa puluh juta untuk trainingnya. Namun setelah mereka sudah diserahkan ke kota tak bisa kerja, karena terkendala persoalan pelimpahan ini.
“Kita keinginannya inhi segera, karena sudah terlalu lama. Pertanyaannya itu tadi dari provinsi mengapa harus lama-lama,” pungkas Imran.
Sementara Penera Madya atau Asesor Tera Kemetrologian, Uray Alwan menuturkan, peralatan yang ada sebelum penyerahan kondisinya baik. Suhu dan kelembabannya juga diatur. Tapi lantaran belum ada penyerahan, tidak ada yang bertanggung jawab, akhirnya terbengkalai. Kondisi terakhir yang mereka lihat berantakan.
“Masalah harga konkret saya tidak tahu, tapi memang harganya jutaan. Suhu tidak diatur maka kondisinya bisa rusak dan akurasinya tidak bisa. Mau kita tangani tidak bisa karena kewenangan provinsi, kita sekarang sudah pegawai kota,” ungkapnya.
Seandainya peralatan yang ada tersebut rusak, untuk pengadaannya juga akan makan waktu. Karena harus order ke Bandung. “Tapi peralatan bisa diperbaiki itu pun dibawa ke Bandung, jadi pasti akan makan waktu,” jelasnya.
Sejak Oktober 2016, Alwan mengungkapakan, para petugas tera yang ada menganggur. Mereka diberi kewenangan untuk tera ulang, kecuali pengawasan pihaknya masih bisa melakukan. Mereka ada 14 personel yang punya sertifikasi pendidikan metrologi.
Akibat pelayanan publik itu stagnasi, kalau ada kecurangan atau tidak, di masyarakat tentu tak tahu karena tidak ditera. Tera harusnya setahun sekali. Karena itu bentuk perlindungan hukum ke masyarakat.
“Tapi kalau tidak ditera, masyarakat komplain, kita tidak ada dasarnya karena tidak melakukan tera. Selain itu reparatir yang mereparasi timbangan juga tidak ada pekerjaan,” demikian Imran.
Laporan: Rizka Nanda, Maulidi Murni
Editor: Arman Hairiadi