eQuator.co.id – Pontianak-RK. Sebelum Pos Lintas Batas Negara (PLBN) resmi dibuka perekonomian di perbatasan sangat menggeliat. Ironisnya kondisi saat ini dinilai jauh lebih buruk ketika border telah diresmikan.
“Contohnya di Jagoi Babang (Bengkayang)-Serikin (Malaysia) dulu kegiatan ekonominya luar biasa,” ujar anggota DPRD Provinsi Kalbar, H Subhan Nur, Jumat (7/12)
Wakil rakyat asal Dapil Kabupaten Sambas ini menjelaskan, Indonesia merupakan negara terbesar di dunia yang berbatasan langsung dengan banyak negara, baik berbatasan darat maupun laut.
“Kalbar merupakan kawasan perbatasan yang memiliki border terbanyak,” ucapnya.
Sekalipun dengan border terbanyak ternyata aktivitas perekonomiannya tidak menggembirakan. Yang terjadi malah berbanding terbalik dengan megahnya infrastruktur yang terbangun di kawasan PLBN tersebut.
“Masyarakat perbatasan seringkali mengeluhkan bagaimana susahnya berdagang di kawasan perbatasan. Karena segala sesuatunya mesti legal, tetapi regulasinya sampai sekarang belum jelas,” tegasnya.
Legislator Partai Nasdem ini berpendapat, apabila pemerintah pusat sudah mengeluarkan regulasi-regulasi ekonomi yang jelas untuk kawasan perbatasan atau perdagangan lintas negara, maka diyakini perekonomian bisa tumbuh serta berkembang.
“Cobalah pejabat-pejabat kita melakukan studi banding ke negara lain yang daerahnya berbatasan dengan negara tetangga. Di Panmunjom saja yang aspek konfliknya tidak berhenti, perekonomiannya bisa jalan,” paparnya.
Sekadar diketahui bahwa Panmunjom merupakan desa di Provinsi Gyeonggi yang ditetapkan sebagai Demilitarized Zone. Lokasi penandatanganan gencatan senjata antara Korea Utara dengan Korea Selatan pada 1953 silam. Desa yang menjadi saksi terbelahnya Korea ini berjarak 215 kilometer dari Pyongyang, ibu kota Korea Utara dan 53 kilometer dari sisi barat laut Seoul, ibu kota Korea Selatan.
“Aktivitas ekonomi yang berjalan dengan baik, wisatawan terus berdatangan dan bisa membeli souvenir. Seperti mata uang, baju tentara, kaos, ginseng wine khas Korea Utara, kartu pos dan miniatur kendaraan perang,” terangnya.
Kalaupun tidak ke Semenanjung Korea, kata H Subhan, maka bisa juga studi banding di kawasan perbatasan Malaysia dengan Brunei Darussalam, yakni di Miri-Limbang. “Setiap Minggu aktivitas ekonomi di sana sangat luar biasa,” tuturnya.
Aspek potensial negara-negara tersebut seperti di bidang pariwisata dan sektor ekonomi lainnya tentu tidak kalah dengan di kawasan perbatasan Indonesia.
“Misalnya bagaimana supaya orang-orang Malaysia bisa dengan mudah berbelanja murah di Indonesia. Namun sampai sekarang tidak bisa terkaver di daerah perbatasan Indonesia yang sudah diresmikan, lantaran terhambat regulasi,” tegasnya.
Melihat permasalahan menyangkut pembangunan perekonomian masyarakat di kawasan perbatasan tersebut, H Subhan mendesak pemerintah pusat untuk segera membuat regulasi-regulasi ekonomi untuk kawasan perbatasan Indonesia.
“Jangan setengah-setengah menggelontorkan regulasi untuk kawasan perbatasan Indonesia. Karena ingat, kita selalu mendengung-dengungkan NKRI harga mati. Tetapi kalau ekonomi tidak terbangun di kawasan perbatasan yang notabene masalah perut, maka jangan heran banyak warga di perbatasan Indonesia yang akhirnya memilih menjadi warga negara Malaysia,” ingatnya.
Beralih kewarganegaraan karena alasan pertumbuhan ekonomi di kawasan perbatasan yang diungkapkan H Subhan Nur ini bukan merupakan isapan jempol belaka. Lantaran, legislator Partai Nasdem ini sudah melakukan monitoring terkait hal tersebut.
“Saya sudah memonitor bahwa sebagian masyarakat Lunduk, Sumatan itu berasal dari Indonesia. Mereka hidup makmur (di Malaysia, red). Makanya persoalan perekonomian perbatasan ini yang harus menjadi perhatian serius pemerintah pusat,” tegas Ketua Komisi I DPRD Provinsi Kalbar ini.
Reporter: Gusnadi
Redaktur: Andry Soe