Pemangku Kepentingan Harus Duduk Bersama

PESERTA Mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Katolik Negeri (STAKatN) Pontianak hadir dalam diskusi di Graha Pena Kalbar, Jalan Arteleri Supadio, Kabupaten Kubu Raya, Jumat (5/4). Ambrosius Junius /Rakyat Kalbar

eQuator.co.id – PONTIANAK-RK. Kalbar memiliki guru agama Katolik sebanyak 2.147  orang. Dari jumlah itu, 1.390 orang sudah berstatus pegawai negeri sipil (PNS), sisanya masih berstatus honorer, baik honor bantuan operasional sekolah (BOS) maupun honor daerah (Honda) serta honor yayasan.

Begitu disampaikan Pembimbing Masyarakat (Pembimas) Katolik, Kanwil Kemenag Kalbar, Yosef saat diskusi bertemakan “Sebaran Guru Agama Katolik di Kalbar” di Graha Pena Kalbar, Jalan Alteleri Supadio KM 3,5, Kabupaten Kubu Raya, Jumat sore (5/4). “Keberadaan guru agama Katolik di Kalbar masih sangat diperlukan,” kata Yosef.

Yosef menjelaskan, dikategorikan menjadi dua, yakni diangkat oleh Kemenag dan pemerintah daerah (Pemda). “Guru ini  hampir sudah tersebar di 14 kabupaten/kota,” ucapnya.

Selain perwakilan Kemenag, dua akademisi Sekolah Tinggi Agama Katolik Negeri (STAKatN) Pontianak, Martinus dan  Lukas Ahen juga sebagai narasumber dalam diskusi ini bersam mahasiswanya.

Terkait formasi guru agama Katolik,Yosef menjelaskan, formasi guru agama sejak tahun 2005 diserahkan ke pemda. Dan tahun 2017 lalu, pihaknya diminta untuk merancang kebutuhan guru agama Katolik untuk lima tahun kedepan. “Kita sudah rancang itu, tetapi formasinya ternyata beda,” imbuhnya.

Meski sudah tersebar, ketersediannya ternyata masih memprihatinkan. Permasalahan ini, menurut Yosef  yang bisa didengar pemda adalah lembaga gereja Katolik. Gereja memiliki daya dorong. “Gereja minta kepada pemerintah. Persoalannya,  apakah pernah (minta) atau tidak,” ujarnya.

Sementara itu, Martinus mengatakan, sebagai  pencetak guru agama Katolik, sejak 2011-2017 lembaga itu telah meluluskan 2013 orang. Sedikitnya, 700 orang sudah terserap mejadi guru agama dan ada yang berstatus PNS. “Justru kelebihan, artinya lulusan itu belum terserap semua sebagai guru. Kita mencetak terus, tetapi lapangan yang kurang, formasinya yang tidak ada,” ujar Martinus.

Lanjut Martinus, mereka yang terserap adalah alumni STAKatN yang dulunya bernama Sekolah Tinggi Pastoral (STP) St. Agustinus, Pontianak. Ia mengungkapkan, tidak jarang juga lulusan sekolah tinggi berkerja di lembaga keuangan, seperti di credit union (CU) dan perbankan. “Kalau masalah tenaga sebenarnya tidak kekurangan, tetapi yang justru kurang adalah formasinya,” kata Martinus.

Lukas Ahen menambahkan, kurang dari lima tahun terakhir, setiap tahunnya guru agama berstatus PNS ada yang pensiun. Seharusnya, guru agama yang masih honorer  diangkat. “Mestinya ketika ada pensiun ada pengangkatan, karena ngak ada formasi, akhirnya ditambah dengan honorer,” ujar Lukas.

Dari pemaparan narasumber tersebut, Elisabeth, mahasiswi STAKatN asal Kapuas Hulu menyampaikan, permasalahan yang ditemuinya di kampung halamannya. Ia menceritakan, mata pelajaran pendidikan agaman Katolik di sebuah sekolah, guru yang mengajar beragama Kristen Protestan. “Di situ yang ngajarkan guru agama Kristen Protestan” kata mahasiswi angakatan 2017 itu.

Melihat kondisi itu, Elisabeth berharap, pemerintah harus menempatkan guru agama apapun di setiap sekolah. “Pemerintah harus memetakan, dimana sekolah yang masih kekurangan guru agama,” harapnya.

Mahasiswa lain juga menyampaikan masalah yang sama, yakni guru agama yang mengajar tidak sesuai keilmuannya.

Menanggapi hal tersebut, Yosef  tidak memungkiri, penempatan guru tidak sesuai dengan kebutuhan. Ia juga tidak tahu atas pertimbangan apa kebijakan itu dibuat. “Katakanlah yang dibutuhkan guru agama Katolik, yang dikirim ke sana yang lain,” tukasnya.

Permasalahan ini, kata Yosef, para pemangku kepentingan, baik Kemenag, pemda, Dinas Pendidikan, lembaga gereja harus duduk bersama.  “Kebutuhan guru agama Katolik ini memerlukan pemikiran bersama. Melihat kenyataan di lapangan, masih sangat diperlukan,” ujar Yosef.

Yosef  menyarankan, jika di sekolah belum ada guru agama Katolik, bisa mengangkat seorang Katekis. Menurutnya, jalan keluar ini sangat membantu. “Perlu juga bagaimana keuskupan berkerja sama dengan pemrintah mengangkat Katakis. Jika menunggu formasi, lama,” lugasnya.

Soal penempatan guru, Martinus senada dengan mahsiswinya. Menurutnya, sekolah juga seharunya memetakan kebutuhannya. “Saya rasa ini pemetaannya,” ucapnya.

Martinus mengatakan, keberadaan guru agama tidak hanya menjadi permasalahan di pedalaman, di perkotaan juga terjadi seperti itu. Padahal, sekolah yang tahu kebutuhanya, harusnya ada permintaan. “Ini mungkin sekolah itu sendiri tidak memberi input kepada Dinas Pendidikan. Para pemangku kepentingan harus bergerak,” ujarnya.

Sementara itu, Lukas mengatakan, orangtua murid juga turut ambil dalam permasalahan ini. Orangtua juga harus tahu ketersedian tenaga pendidik di sekolah anaknya, dan bisa mengusulkan pemenuhan guru itu.

Dalam diskusi ini, Lukas juga menyoroti tentang guru agama yang masih honorer. Dia prihatin dengan penghasilan yang diterima tenaga pendidik tersebut. Dulu, kata dia, hanya ada honor BOS yang disisihkan oleh kepala sekolah. Beberpa tahun terakhir, sejumlah pemda mengangkat tenaga melalui  Honda. “(surat keputusan) SK-nya dari bupati. Ini sangat terbantu dengan Honda. Kita ikut bersyukur karena ditampung pemda,” ungkapnya.

Namun, Lukas sangat menyayangkan,  masih ada pemda tidak mengambil kebijakan yang sama. Padahal, daerah itu masih kekurangan. “Kami pada prinsipnya akan melahirkan tenaga pendidik yang siap pakai,” tuturnya.

 

Laporan:  Ambrosius Junius

Editor: Yuni Kurniyanto