Begitu ingin saya menulis Papua. Begitu sering saya ke Papua. Dulu. Pun saat menjadi Dirut PLN.
“Berapa persen pegawai PLN yang asli Papua?” tanya saya.
“Mayoritas. Lebih 70 persen,” jawab staf. Saya pun lega. Bagus sekali.
Lalu saya ke Papua. Saya ingin rapat umum dengan karyawan di Jayapura.
Tiba di tempat pertemuan ternyata beda. Saya hanya melihat tiga empat saja orang asli Papua.
Saya pun berbisik pada pimpinan PLN setempat. Orang Jawa seperti saya.
“Katanya mayoritas orang Papua. Mana?” bisik saya.
Saya agak kecewa dengan kenyataan itu. Tapi saya tidak boleh menunjukkan kekecewaan itu.
Setelah pertemuan, saya pun bicara dengan unsur pimpinan. Hanya tiga orang. Saya sampaikan kekecewaan saya itu.
Ternyata yang dimaksud mayoritas Papua adalah KTP-nya Papua.
Sampai di Jakarta kami diskusikan ini di tingkat direksi: bagaimana bisa sebanyak mungkin merekrut karyawan Papua asli.
Memang sangat sulit. Untuk bisa memadukan akomodasi dengan kinerja.
Akhirnya kami menemukan caranya. Dua misi bisa terpenuhi. Misi merekrut putra Papua dan misi meningkatkan kualitas kerja. Jangan sampai misi pertama tercapai tapi misi kedua menjadi korban.
Tapi biarlah soal Papua reda dulu. Saya belum akan mau menulis itu. Biarlah kenangan saya akan Wamena, Yahukimo, Digul, Merauke, Timika, Kaimana, Sorong, Bintuni, Manokwari tetap seindah saat saya ke tempat-tempat itu. Alam Papua yang indah. Seperti dalam lagunya: gunung-gunung, lembah-lembah, hitam kulit keriting rambut….
Nantilah. Kapan-kapan.
Saya juga begitu ingin memenuhi permintaan pembaca: menulis soal heboh direksi Bank Tabungan Negara. Tapi biarlah reda dulu.
Saya juga masih punya hutang menulis soal Riau-1. Atau baiknya saya menulis lagi soal mati listrik. Yang ternyata terjadi lagi. Minggu lalu.
Atau saya harus menulis soal ibu kota baru lagi.
Tapi saya belum tahu mana yang benar: surat Bapak Presiden ke DPR itu bentuknya pemberitahuan atau permintaan izin.
Maka baiknya saya menulis soal sepak bola saja.
Kebetulan saya lagi di London. Sabtu-Minggu libur. Tidak punya acara. Sabtu sore Chelsea bertanding.
Sekalian nostalgia.
Saya pernah nonton Chelsea 30 tahun lalu. Mungkin lebih. Itulah pertama kali saya nonton sepak bola di stadion Inggris.
Tidak hanya nonton.
Tapi juga belajar manajerial sepak bola di situ. Termasuk pengelolaan suporternya.
Saya belajar banyak.
Begitu pulang, saya ingin Persebaya punya nickname. Seperti Chelsea yang dipanggil The Blues.
Maka lahirlah nama ‘Green Force’. Atas usulan Zainal Muttaqin. Reporter olahraga saat itu. Yang kini jadi direktur utama banyak perusahaan di grup DI’s Way.
Belakangan muncul nickname yang lebih membumi: Bajul Ijo. Harian Surya Surabaya yang konsisten memopulerkannya.
Muncul pula meme Green Force yang legendaris itu: sketsa wajah heroik suporter Green Force. Dengan slogan ‘Kami Haus Gol Kamu’.
Muncul pula istilah ‘Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa: Bahasa Bola’.
Di Chelsea saya membeli banyak aksesori: kaus, jaket, topi, selendang.
Tiba di Surabaya saya pun bilang: kita harus bikin beginian.
Maka kami pun memproduksi topi Green Force, kaus Green Force, selendang Green Force. Saya pun minta rocker muda nan cantik dari Surabaya. Untuk menjadi modelnya. Mengenakan semua merchandise Green Force: Ita Purnamasari.
Laris. Heboh. Gempar.
Pabrik kausnya sampai kewalahan.
Pun saat itulah lahir istilah Bonek.
Dari situ pula saya mulai terlibat Persebaya. Mobil BMW saya hancur. Masih baru. Kinyis-kinyis.
Kereta api hancur. Saya harus mengganti semua kerugiannya.
Ketika tim muda Persebaya juara, lahir pula nickname yang lain: Bledug Ijo.
Bledug adalah sebutan untuk anak gajah.
Persebaya pernah disorot tajam. Saat itu saya masih di luar kepengurusan. Persebaya baru saja dikalahkan 0-12 oleh Persipura. Di Surabaya pula. Di depan suporter sendiri. Tidak masuk akal.
Hari itu Persebaya dianggap memainkan sepak bola gajah. Yang skornya sudah diatur. Seperti pertunjukan sepak bola gajah beneran di Wai Kambas, Lampung.
Sampai sekarang istilah sepak bola gajah masih populer. Untuk mengejek permainan pengaturan skor.
Tapi suporter Persebaya ternyata bangga diejek sebagai gajah. Sampai tim juniornya diberi nickname Bledug Ijo.
Waktu itu suporter senang atas kekalahan Persebaya 0-12. Hanya dengan kalah seperti itu pesaing beratnya, PSIS Semarang, tersisih. Dan Persipura lolos ke babak final.
Masa lalu yang kelam.
Untung Persebaya terus maju.
Semua itu bermula dari Chelsea. Saya pun harus ke Chelsea lagi. Sabtu lalu.
Maka, saya hanya dua jam melihat demo besar anti Brexit di Westminster. Di pusat kota London. Di depan Downing Street. Saya bergegas ke stasiun bawah tanah. Di dekat Big Ben itu. Untuk segera ke Chelsea.
Kereta yang ke arah stadion itu ternyata yang jurusan Wimbledon juga. Kereta yang sama yang saya naiki sehari sebelumnya. Saat saya salat Jumat di masjid tertua itu (Baca: Jesus di Quran).
Letak stadion Chelsea di pertengahan antara stasiun Westminster dan Wimbledon. Saya harus turun di Stasiun Fulham.
Begitu turun dari kereta ‘rasa Chelsea’ sudah tampak. Tanda arah ke stadion Chelsea langsung terlihat.
Stasiun Fulham Broadway ini agak besar. Ada shopping center di bagian depannya.
Tanpa bertanya pun kita langsung tahu: di mana letak stadionnya. Semua orang mengarah ke kiri. Yang pakai atribut biru-biru itu. Dari depan stasiun pun stadionnya sudah kelihatan.
Persoalannya: saya belum punya karcis.
Saya pikir, saya bisa beli di stadion. Toh lawan Chelsea hari itu tim lemah: Sheffield United. Tim yang baru naik kasta. Pasti tidak penuh.
Ups, ternyata penuh juga.
Intinya: saya gagal masuk stadion.
Ya sudah.
Toh saya kan hanya ingin bernostalgia. Itu pun tidak tercapai. Semuanya sudah baru. Saya sudah tidak mengenali stadion ini. Tidak mengenali lingkungannya.
Tidak ada lagi yang jual atribut seperti dulu. Yang ada kios resmi klub.
Kios-kios kaki lima agak jauh dari stadion. Itu pun tidak ada lagi yang jualan topi. Hanya kaus, jaket dan selendang. Dan beberapa emblem. Dan foto-foto tua.
Saya balik ke stasiun.
Di kereta, saya langsung buka online: beli karcis untuk nonton di Liverpool minggu depan. Takut kehabisan.(Dahlan Iskan)