eQuator.co.id – Washington–RK. Kian merosotnya dukungan publik terhadap Donald Trump memaksa calon presiden (Capres) Partai Republik itu merombak tim suksesnya. Rabu (17/8), taipan Manhattan tersebut mengumumkan Kellyanne Conway sebagai manajer baru tim kampanyenya. Dia juga menunjuk Stephen Bannon sebagai chief executive timnya.
“Saya mengenal mereka berdua cukup lama. Mereka merupakan orang-orang yang hebat. Mereka adalah pemenang. Mereka juara. Kita membutuhkan mereka untuk menjadi pemenang,” tegas Trump.
Dia berharap perombakan yang dilakukan 82 hari menjelang pencoblosan itu akan memberikan dampak signifikan baginya. Terutama menaikkan dukungan dari massa Republik terhadapnya.
New York Times melaporkan, Conway menggantikan posisi Corey Lewandowski dalam tim pemenangan Trump. Dua bulan lalu pemilik Trump Tower tersebut mencopot Lewandowski dari jabatannya. Setelah sekian lama kosong, posisi itu kini ditempati Conway. Sebagai komentator politik dan pemimpin Polling Company, posisi manajer kampanye bukanlah hal sulit bagi perempuan 49 tahun tersebut.
Seperti Conway, Bannon bergabung dalam tim sukses Trump dengan senang hati. Pebisnis California yang juga menjabat executive chairman Breitbart News itu bakal bekerja sama dengan Conway dan Paul Manafort untuk mengantarkan Trump pada kemenangan. Ya, meski merekrut dua orang baru, Trump tetap mempertahankan Manafort pada posisinya sebagai chairman tim sukses.
“Itu (mempertahankan Manafort, Red) merupakan bentuk penghormatan terhadap Manafort meski sebenarnya Trump juga merasa tersudut,” tulis Washington Post mengutip salah seorang anggota tim kampanye Trump.
Konon, pebisnis 70 tahun tersebut merasa disetir Manafort yang sebenarnya adalah orang baru baginya. Sebab, dia baru mengenal Manafort setelah mendepak Lewandowski pada Maret lalu.
Reputasi Manafort sebagai pelobi politik yang mendunia membuat Trump tidak bisa membiarkannya masuk dalam tim tanpa memberinya jabatan. Apalagi, Manafort pernah menjadi penasihat keamanan mantan Presiden George H.W. Bush dan Bob Dole. Namun, kini dia merasa terlalu banyak diatur Manafort yang belum dirinya kenal baik. Karena itu, saat Manafort terseret skandal korupsi pemerintah Ukraina, Trump tidak bisa berbuat apa-apa.
Pekan lalu, lembaga antikorupsi Ukraina menyebut nama Manafort sebagai salah seorang penerima dana ilegal dari mantan Presiden Viktor Yanukovych. Kabarnya, transaksi itu terjadi pada rentang waktu 2007 sampai 2012. Ukraina punya bukti tertulis penerimaan uang panas tersebut. Apalagi, waktu itu Manafort memang tercatat sebagai pelobi Yanukovych yang ketika itu terlibat sengketa politik dalam negeri.
Media Amerika Serikat (AS) menuliskan angka USD 12 juta (sekitar Rp 157,89 miliar) sebagai estimasi jumlah minimal yang masuk ke kantong Manafort. Tetapi, politikus 67 tahun itu jelas membantah tudingan tersebut. “Saya tidak pernah menerima pembayaran di bawah meja seperti yang mereka tuduhkan,” terangnya. Sejauh ini Trump memilih tidak mengomentari skandal Manafort.
DITINGGALKAN YANG MUDA
Sebelumnya, Konvensi Nasional Partai Republik (RNC) menjadi saksi pidato Ivanka Trump tentang generasi millennial yang tidak memilih Capres berdasar partai. Ucapan putri tertua Donald Trump tersebut terbukti. Minggu (14/8), media Amerika Serikat (AS) menyatakan bahwa generasi yang lahir setelah 1980 dan sebelum 2000 itu tidak berpihak kepada Trump.
Survei terbaru USA Today/Rock the Vote Poll menunjukkan bahwa Trump telah kehilangan pamornya di kalangan generasi muda. Khususnya, generasi millennial yang seangkatan dengan Ivanka.
”Dukungan responden yang berusia di bawah 35 tahun terhadap Hillary Clinton mencapai sekitar 56 persen. Sedangkan, dukungan golongan yang sama terhadap Donald Trump hanya sekitar 20 persen,” terang USA Today.
Dukungan minimal generasi muda terhadap Trump itu belum pernah dialami capres Republik mana pun. Gallup Organization menyebut dukungan kaum muda terhadap mendiang Richard Nixon yang diklaim terburuk pun masih lebih tinggi dari 20 persen. Pada 1972, saat masyarakat Negeri Paman Sam sedang getol-getolnya memprotes kebijakan Perang Vietnam, dukungan kaum muda untuk Nixon masih tercatat 32 persen.
Sejak Pemilihan Presiden (Pilpres) 2008, suara generasi muda menjadi hal penting. Bahkan, krusial. Sebab, pada Pilpres 2008 dan Pilpres 2012, presiden yang menang dalam pilpres adalah yang mendapat dukungan maksimal dari kaum muda. Oleh karena itu, kali ini media menjadikan keberpihakan generasi muda sebagai tolok ukur proyeksi pilpres 8 November nanti.
Di mata generasi millennial Republik, Trump bukanlah capres favorit. Jauh sebelum taipan 70 tahun itu rajin memantik kontroversi di panggung kampanye seperti akhir-akhir ini, mereka tidak berpihak pada ayah Ivanka tersebut. Bukan gara-gara pebisnis Manhattan tersebut sensasional, tapi lebih karena para pemilih muda itu punya pilihan lain. Misalnya, Ben Carson atau Ted Cruz.
”Awalnya, saya mendukung Ben Carson. Setelah dia mundur, saya mendukung Ted Cruz. Jadi, saat dia juga akhirnya mundur, saya tidak punya pilihan lain,” ujar Serena Potter.
Kini perempuan 19 tahun yang tercatat sebagai mahasiswi Purdue University itu memberikan suaranya untuk Trump. Sebab, dia belum ingin berpaling dari Republik. Apalagi ganti haluan dan mendukung Clinton dari partai lawan.
Senin (15/8), Politico menuliskan bahwa merosotnya dukungan terhadap Trump itu akan berujung pada kekalahannya di panggung pilpres. Sebab, sejarah telah membuktikan fenomena yang sama sebanyak 16 kali berturut-turut.
”Tidak pernah ada capres dalam posisi yang sama seperti Trump saat ini yang tiba-tiba menang di hari H,” terang Steven Shepard, analis senior jajak pendapat Politico.
Pendapat yang sama dipaparkan pengamat politik sekaligus dosen senior AS, Christopher Wlezian. ”Bicara tentang pencapresan pascakonvensi, kandidat yang unggul dalam jajak pendapat tidak pernah kalah dalam pilpres,” jelas dosen di University of Texas itu.
Meski demikian, segala kemungkinan masih bisa terjadi. Para pengamat politik AS juga tidak mau menghakimi Trump sebelum 8 November.
Waktu yang terus bergulir membuat para petinggi Republik mulai cemas. Mereka jelas tidak ingin partai berlambang gajah tersebut kembali kalah dalam pilpres. Sebab, mereka sudah dua kali berturut-turut kalah. Itulah yang membuat tokoh-tokoh senior Republik bermanuver. Termasuk mendesak Reince Priebus yang adalah chairman Komite Nasional Partai Republik untuk segera bertindak.
Tapi, menurut Wlezian, segala bentuk manuver dan strategi politik Republik tidak akan bisa membendung kemenangan Clinton. Lebih-lebih, masa kampanye hampir berakhir. Dan, hanya tersisa satu kali jajak pendapat lagi sebelum masyarakat AS menentukan pemimpin mereka.
”Dengan selisih dukungan seperti saat ini pun, Hillary Clinton sudah punya peluang 90 persen untuk memenangkan pilpres,” tegasnya. Berikut dinamika dukungan milenial terhadap Capres AS dinukil dari USA Today:
Survei terbaru Census Bureau: Hillary Clinton sekitar 72 persen, Donald Trump sekitar 11 persen. Survei terbaru One Nation Initiative: Hillary Clinton sekitar 56 persen, Donald Trump sekitar 20 persen. Dengan catatan: Generasi milenial adalah mereka yang lahir setelah 1980–sebelum 2000. Jumlah generasi milenial AS sekitar 75,4 juta dari total 324 juta penduduk. (Jawa Pos/JPG)