eQuator.co.id – Akhirnya saya dapat sambungan telepon ke Palu. Ke pemilik hotel Roa Roa. Yang hancur akibat gempa. Pak Denny Lim.
Pukul 11.50 kemarin pak Denny sibuk. Cari alat berat. Tapi masih bisa melayani telepon saya.
Ada info baru. Beberapa menit sebelum menerima telepon dari saya itu: ditemukan ada penghuni hotel yang hidup. Tapi masih di bawah reruntuhan hotel.
Tahunya dari SMS. Yang dikirim penghuni hotel itu. Mengaku dari kamar 317. Bersama istrinya. Pejabat PLN dari Makassar.
Berarti 2,5 hari orang itu berada di bawah reruntuhan. Entah mengapa baru kirim SMS pukul 10 an pagi hari Senin kemarin. Kepada anaknya. Lalu anaknya info ke Kompas TV. Pingsan? Baru sadar? HP-nya masih belum lowbatt?
Itu tidak penting. Yang penting segeralah bertindak. Tapi alat berat amat sedikit di Palu. Mobilisasinya juga tidak mudah. Banyak jalan hancur akibat gempa.
Hotel Roa Roa tergolong baru. Sekitar tiga tahun. Salah satu yang terbaik di Palu. Bintang tiga. Delapan lantai. Roa Roa adalah bahasa Kaili. Artinya: teman-teman.
Dari hotel ini terlihat jembatan Palu yang baru. Yang jaraknya hanya sekitar lima kilometer. Jembatan terpanjang di sana. Baru tujuh tahunan umurnya. Jadi ikon kota Palu. Banyak yang berfoto dengan background jembatan itu.
”Saya lihat dari jauh jembatan itu hancur,” ujar Adi, fotografer Fajar, Makassar. Yang saat saya hubungi lagi di atas reruntuhan hotel Roa Roa. Adi baru tiba di Palu Minggu siang. Naik Hercules-nya tentara.
Sebagai pemilik hotel, fokus Danny mengerahkan alat berat. Ia sendiri sedang di Surabaya saat gempa terjadi. Meski lahir di Palu, Danny sudah tinggal di Surabaya. Sesekali saja ke Palu mengecek bisnisnya. Kemarin ia mendadak ke Palu untuk ikut mengatasi akibat gempa ini.
Saat membangun hotel itu Danny sadar sepenuhnya: ini daerah gempa. Kontraktornya sudah membangun sesuai dengan daerah gempa.
Tapi gempa Jumat petang lalu itu memang luar biasa: 7,7 Scala Richter. “Masih sekitar 40 orang yang tertimbun di bawah reruntuhan hotel,” katanya.
Kebetulan, sambungnya, lagi banyak tamu. Lagi ada kejuaraan paralayang. Beberapa atlet nasional bermalam di situ. Ada juga atlet dari Korea. Yang akan bertanding keesokan harinya.
Di dekat hotel itu, di water front city, juga lagi ada gladi resik. Untuk acara pembukaan festifal Nomoni. Festifal budaya. Untuk ulang tahun kota. Nomoni artinya bunyi. Atau nada. Atau tetabuhan.
Akan ada juga marathon. Dan banyak lagi.
Gempa itu terjadi tepat di senjakala. Bertepatan dengan surupnya matahari senja. Hampir menginjak waktu magrib.
Banyak warga sudah sadar gempa. Berkat rentetan bencana serupa di Lombok belum lama. Warga desa Marowola misalnya. Warga Perumnas itu segera berlarian ke lapangan terbuka. Mereka berkumpul di situ. Tidak jauh dari jembatan ikon. Dengan penuh ketakutan.
Setelah warga berkumpul, tanah di situ ternyata membelah. Lenyap masuk bumi. Di lapangan Perumnas itu salah satu korban terbanyak.
Danny menceritakan semua itu. Dengan sedihnya.
Saya sendiri tidak menyangka. Gempa Palu separah itu. Informasi awal begitu lambat. Tentang keadaan pascagempa.
Saya sendiri mengalami kesulitan. Untuk cepat menulis. Bahan yang tersedia sangat terbatas. Bagi saya tidak ada artinya kalau hanya menulis sama dengan yang sudah ada.
Saya coba hubungi teman-teman wartawan di sana. Di hari pertama. Tidak bisa. Saya coba lagi di hari kedua. Tidak bisa juga. Saya ulangi di hari Senin pagi. Hari ketiga. Juga belum bisa. Semua saluran telepon masih terputus.
Saya hubungi jaringan saya di barongsai. Juga tidak bisa. Saya hubungi seorang doktor universitas di sana. Yang saya ikut mengujinya saat meraih gelar doktor. Sama saja.
Saya coba lewat jaringan keluarga. Adik menantu saya kawin dengan orang Palu. Ia sendiri tidak berhasil menghubungi sang istri. Dan anaknya. Padahal ia lagi kerja di Banjarmasin.
Hatinya terus gundah. Ia putuskan ke Palu. Lewat Makassar. Kini masih dalan perjalanan darat. Bisa 12 jam.
Ketika pertama disebut: tsunami terjadi di Donggala. Saya tidak khawatir. Donggala itu dataran tinggi. Paling hanya bagian-bagian kecil pantai yang terkena.
Tapi begitu disebut Palu saya ingat: wilayah padat penduduknya berupa dataran rendah. Dekat pantai. Terutama di sekitar muara sungai Mutiara.
Tapi saya juga belum terlalu khawatir. Kawasan muara sungai itu jauh dari laut lepas. Pantainya berada di ujung paling jauh sebuah teluk. Teluk Palu. Teluk yang sangat panjang. Bagian padat penduduk itu benar-benar jauh dari laut terbuka. Terlindung gunung Donggala.
Teluk ini begitu panjangnya. Sering jadi petunjuk arah pendaratan pesawat. Landasan bandara Palu memang searah dengan teluk Palu.
Saya tidak menyangka yang meninggal begitu banyaknya: lebih seribu orang. Data Senin pagi mencapai 1.100 orang. Innalillahi wainnailaihi rajiun.
Mungkinkah itu karena tsunami terjadi di senja hari? Ketika pantai di teluk itu lagi ramai?
Teluk itu memang kian cantik belakangan ini. Dipercantik. Dengan jalan baru di sepanjang pantai. Taman Ria. Water front city.
Kian banyak juga hotel. Di pantai sini. Maupun di seberang sana. Ada Mercure. Ada Swissbel. Diperkirakan juga masih banyak korban di bawah reruntuhannya. Seperti di Roa Roa.
Saya pernah di satu hotel bersama istri. Hotel baru. Yang kamarnya sangat menarik. Menyentuh air laut. Saya ingin tahu nasib hotel itu. Pascagempa ini.
Kawasan teluk ini kian populer sejak ada jembatan. Di muara sungai. Jembatan terpanjang di Palu. Orang sana menyebutnya Golden Gate-nya Palu. Begitu banyak orang berfoto dengan background jembatan ini.
Saya sedih lihat di media sosial: jembatan ini roboh. Bangkainya masih berada di tempat asalnya. Tapi sudah dalam keadaan membujur seperti mayat.
Lalu saya perhatikan. Titik gempa itu di daratan. Searah dengan bentuk teluk. Berarti tsunami itu datang dari teluk. Bukan dari arah laut lepas.
Sampai tulisan ini saya edit jam 18.00 kemarin belum ada kabar baru. Tentang penghuni 317 itu. Berarti sudah tiga hari tiga malam suami-istri ini berada di bawah reruntuhan.
Dua alat berat lagi bekerja di situ. Tapi terlalu sedikit untuk mengejar waktu.
Korban-korban lainnya berarti juga punya nasib serupa. Puluhan. Ratusan.
Akhirnya saya bisa menghubungi putri kamar 317 itu. Namanya Erika. Alumni elektro Universitas Hasanuddin.
“Bukan saya menerima SMS bapak saya,” ujar Erika. ”Tapi menerima SMS dari kakak saya,” kata Erika lagi.
Kakaknya itu juga lagi ke Palu. Bersama bapak dan ibunya. Akan menghadiri kawinan sepupunya. Sehari setelah gempa. Rencananya.
Ayah-ibunya di kamar 317. Sang kakak di kamar sebelahnya. Selamat. Berhasil keluar dari reruntuhan. Lalu kirim SMS ke Erika. Adiknya. Yang kini bekerja di PLN itu.
Erika ingin nekat ke Palu. Mencari bapak-ibunya. Tapi semua keluarga melarangnya. Dan pernikahan itu sendiri diurungkan.
Melihat kacaunya keadaan di Palu, ada baiknya disediakan kapal Pelni yang besar. Di pelabuhan. Kalau masih bisa disandari. Kapal itu bisa jadi tempat pengungsian yang aman. Untuk 3 ribu orang. Perkapal.
Air bisa cukup di kapal itu. Kalau perlu dilayarkan ke Balikpapan. Hanya perlu waktu satu malam.
Saya sedih mendengar penjarahan di mana-mana. Pun rebutan mau naik Hercules. Rebutan ingin selamat. Akibat gempa susulan. Yang terus terjadi.
Juga akibat fenomena baru: rumah berjalan, jalan bergeser, tanah tiba-tiba membelah…
Kita tidak tahu jenis apa tanah di bawah Palu. Yang ketika diguncang gempa di bagian bawahnya, terkibas bagian atasnya. Seperti tikar yang mengambang di atas tanah bergoyang. Yang bisa pindah-pindah posisi. (dis)