Pakistan

Oleh Dahlan Iskan

Saya pun sadar. Ini kan Pakistan. Yang pengamanan untuk vasilitas vital harus ekstra.

Mobil pun diperiksa dengan teliti. Kap mesinnya dibuka. Apalagi bagasinya. Pun surat-surat diperiksa.

Tapi mana lobbynya?

Saya begitu sulit mengenali mana pintu depannya. Sekeliling bangunan seperti pintu belakang semua. Saya pun ditunjukkan pintu masuknya. Kusam. Tertutup.

Di balik pintu itu pemeriksaan berlapis lagi. Lalu saya diminta memasuki lorong berbelok. Terlihatlah dari jauh loby hotel itu.

Ups.

Beda sekali dengan penampakan luarnya.

Dalam hotel ini saya setuju: mewah sekali.

Tapi saya belum sempat booking. Belum punya internet untuk pesan lewat online. Saya lihat jam. Sudah lebih satu jam dari saat meninggalkan airport. Mestinya Ufone saya sudah berfungsi.

Saya cek HP. Ternyata Ufone saya belum ‘on’. Saya duduk di loby hotel mewah itu. Menunggu Ufone. Saya ingat kata-kata penjual kartu SIM tadi: maksimum dua jam.

Saya harus sedikit bersabar. Toh bisa sambil lihat-lihat seisi lobby. Ada mobil mewah kuno: Cadillac. Tahunnya 1932. Tamu yang lain juga melihat mobil itu.

“Ni hao,” sapa saya. Dijawab juga: ni hao.