Pakistan

Oleh Dahlan Iskan

“Hotel ini baik sekali. Lihat dululah kamarnya,” katanya. Agak ngotot.

Tapi saya juga ngotot. Dari luar saja sudah kelihatan kelasnya. Akhirnya saya unjuk gigi.

“Bawa saya ke hotel yang terbaik di Lahore,” kata saya. “Kalau perlu yang bintang sembilan.”

Dia heran. Orang seperti ini minta hotel terbaik. Saya pun mogok bicara. Diam. Ia ngomong apa pun tidak saya jawab.

Mungkin ia ngambek juga. Saya benar-benar dibawa ke hotel yang paling mahal. “Itu nanti mahal sekali. Apakah Anda kuat bayar?” katanya.

Saya tetap diam.

Ternyata saya dibawa ke penjara. Ke sebuah bangunan yang temboknya tinggi. Kusam. Kaku. Di atas tembok itu ada lilitan kawat berduri. Di balik tembok itu tidak terlihat bangunan pencakar langit. Yang bisa saya tafsirkan sebagai hotel termahal. Di atas tembok itu juga ada pos penjagaan. Persis di pojok-pojok penjara. Dengan penjaga bersenjata.

Ia berhenti di situ.

“Ini kan penjara,” kata saya. Setelah lama memaku. Saya tidak mau turun dari mobil.

“Ini hotelnya,” jawabnya.

Saya celingukan.

Tidak lama kemudian pintu besi itu terbuka. Portalnya berlapis. Banyak seperti tentara bersiaga. Ada delapan orang. Sebagian bersenjata berat.

Ternyata benar. Ini hotelnya.