Pabrik Es Tanpa PLN

Oleh: Joko Intarto

PANAS YANG BISA MENDINGINKAN. Solar panel yang digunakan untuk menghidupkan pabrik es di Labuan Bajo, NTT. Joko Intarto
PANAS YANG BISA MENDINGINKAN. Solar panel yang digunakan untuk menghidupkan pabrik es di Labuan Bajo, NTT. Joko Intarto

eQuator.co.id – Inilah paradoks negara maritim. Kaya ikan. Tapi banyak nelayan yang hidup di bawah garis kemiskinan.

Salah satu penyebabnya: minimnya infrastruktur dasar, khususnya listrik. PLN belum bisa menjangkau mereka. Pada usia kemerdekaan yang sudah memasuki tahun ke-73.

Padahal, listrik sangat diperlukan. Tidak hanya untuk penerangan dan komunikasi. Tapi juga untuk menggerakkan sektor perekonomian. Terutama: untuk membuat es batu. Untuk menjaga kualitas ikan hasil tangkapan di tengah laut. Agar tidak cepat busuk. Agar nilai ekonominya bisa dipertahankan.

Nusa Tenggara Timur merupakan daerah kepulauan yang sangat kaya ikan, tetapi tingkat elektrifikasinya masih rendah di Indonesia. Di beberapa kawasan, tingkat elektrifikasinya hanya 20 persen.

Jangankan listrik untuk membuat es batu. Untuk menerangi rumah pada malam hari saja tidak ada. Sedih.

Kawan saya, CEO Aruna, terpaksa menunda rencana membeli ikan segar dari NTT untuk diekspor ke Jepang dan Timur Tengah. Karena tidak ada listrik untuk membuat es batu.

Tapi sebentar lagi, para nelayan di Labuan Bajo, NTT, bisa tersenyum. Sebab di  salah satu desa nelayan di kawasan wisata yang belum dilayani PLN itu akan berdiri sebuah pabrik es batu. Kapasitas produksinya lumayan: 1 ton per hari.

Pabrik es batu tersebut lahir dari kepedulian. Sejak informasi potensi pariwisata Labuan Bajo menjadi terbuka. Lewat pemberitaan media maya. Yang bergaung sampai di Eropa.

Labuan Bajo dengan berbagai cerita indah dan dukanya, menginspirasi GIZ untuk menginisiasi program pemberdayaan sosial lintas negara: pembangunan pabrik es batu dengan mesin produksi bertenaga listrik dari sinar matahari.

GIZ adalah organisasi swadaya masyarakat yang berpusat di Jerman.  Organisasi nirlaba itu fokus pada pemberdayaan ekonomi masyarakat di negara dunia ketiga melalui pemanfaatan sumber daya yang ramah lingkungan. Dananya berasal dari berbagai perusahaan yang tertarik pada program penerapan energi listrik ramah lingkungan.

Untuk mewujudkan rencananya, GIZ menggandeng sebuah lembaga penelitian di DresdenUniversity yang terkenal dalam teknologi mesin pendingin.

Konsep yang digagas GIZ mendapat dukungan dari Kementerian Teknologi Jerman. Kerjasama G to G antara pemerintah Jerman dan pemerintah Indonesia semakin memuluskan jalan. Kementerian ESDM dan Kementerian Kelautan dan Perikanan memberi dukungan rencana kehadiran pabrik es batu tanpa listrik PLN itu.

Pada tahap implementasi teknologi, program itu dilaksanakan GIZ perwakilan Indonesia dengan menggandeng PT Selaras Mandiri Teknik dan PT ATW Solar.

PT Selaras Mandiri Teknik adalah perusahaan pembuat mesin pendingin udara Aicool dan pembeku air Airef di Pasuruan, Jawa Timur. Iwan Chandra, CEO-nya, adalah alumni Jerman, seangkatan dengan Ilham Habibie, putra mantan presiden BJ Habibie itu. Mereka berdua berkongsi dalam bisnis.

PT ATW Solar adalah integrator teknologi pembangkit listrik tenaga sinar matahari di Indonesia. ATW Solar sudah berpengalaman dalam pembangunan pembangkit listrik tenaga surya berskala besar, untuk dunia industri dan residensial.

Kolaborasi kedua perusahaan itu menghasilkan mesin pembuat es batu bertenaga listrik yang sumbernya sinar matahari untuk dipasang di Labuan Bajo. Pembuatan model dilakukan di pabrik Airef, di kawasan industri Desa Beji, Pasuruan, Jawa Timur.

Rabu lalu, mesin pabrik es batu itu telah selesai dibangun. “Genset” tenaga sinar matahari yang dipasang menghasilkan daya listrik 25 kWp (kilo Watt peak). Mesin es batunya berkapasitas 1 ton per hari. Sesuai desain, daya listrik dan kapasitas produksinya cukup untuk memenuhi kebutuhan para nelayan di Labuan Bajo.

Saat ini mesin sedang diujicoba. Sampai beberapa hari ke depan. Untuk memastikan seluruh fungsinya berjalan. Berikut simulasi permasalahan yang mungkin timbul di lapangan serta belajar cara mengatasinya. Oktober mendatang, pabrik es batu di Labuan Bajo direncanakan mulai beroperasi.

Dengan kapasitas produksi 1 ton sehari, mesin es batu itu berpotensi menghasilkan pendapatan Rp 700 ribu per hari atau Rp 21 juta per bulan. Cukup untuk membiayai operasional pabrik, membayar gaji karyawan dan mengembalikan investasi selama 8 tahun.

Karena usia keekonomian pabrik es batu itu dirancang untuk masa 25 tahun, program pemberdayaan ekonomi nelayan itu bisa dipastikan tidak akan berhenti di tengah jalan. Kecuali: terjadi mismanagement. (jto)

*Admin www.disway.id