eQuator.co.id – JAKARTA-RK. Drama pencalonan Oesman Sapta Odang (OSO) sebagai anggota DPD belum juga usai. Kuasa hukum ketua umum Partai Hanura itu masih yakin ada upaya hukum lain yang bisa dilakukan untuk memaksa KPU memasukkan nama OSO dalam daftar calon tetap (DCT) senator. Upaya tersebut adalah mengadu ke presiden.
Herman Kadir, kuasa hukum OSO, menjelaskan bahwa surat eksekusi putusan PTUN sudah dikirim ke Bawaslu dan KPU pada 21 Januari lalu. Pihaknya menunggu selama tiga hari untuk memberikan kesempatan kepada KPU melaksanakan putusan. Bila tidak diindahkan, ada tindakan lain. ’’Ketua pengadilan akan mengirimkan surat kepada presiden, meminta presiden dan DPR melaksanakan eksekusi itu atas perintah presiden,” terangnya saat ditemui di Bawaslu kemarin (23/1).
Dia yakin, bila presiden turun tangan, KPU akan patuh dan mau melaksanakan putusan PTUN. ”Berani KPU melawan presiden dan DPR? Hebat betul. Yang angkat dia siapa,” lanjutnya.
Pihaknya juga masih berupaya agar Bawaslu melaporkan KPU ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Dasarnya adalah ketidakpatuhan KPU dalam melaksanakan putusan Bawaslu. Lembaga pengawas itu memang pernah memerintah KPU untuk memasukkan nama OSO ke dalam DCT dengan syarat. Yakni, bila OSO terpilih dan belum mundur dari parpol, KPU tidak boleh menetapkannya sebagai anggota terpilih DPD.
Kemarin Herman kembali mengadukan KPU ke Bawaslu karena tidak mau mematuhi putusan tersebut. Namun, Bawaslu menolak pengaduan itu. ”Karena nebis in idem (substansinya sama) dengan gugatan sebelumnya,’’ terang anggota Bawaslu Mochammad Afifuddin.
Sementara itu, Komisioner KPU Wahyu Setiawan mengatakan belum pernah mendengar ada ketentuan bahwa presiden bisa mengintervensi KPU. Menurut dia, UUD 1945 sudah mengatur bahwa KPU bersifat nasional, tetap, dan mandiri. ”Memang benar bahwa KPU harus dikontrol dan patuh pada hukum yang berlaku. Tetapi, KPU tidak bisa diintervensi siapa pun,’’ tegasnya.
Sejauh ini, dia juga belum pernah mengetahui presiden meminta hal semacam itu. Dalam arti, meminta sebuah lembaga independen untuk melaksanakan putusan PTUN. ’’Ada saluran-saluran yang bisa ditempuh apabila keputusan-keputusan KPU dianggap tidak sesuai dengan undang-undang,’’ lanjut mantan Komisioner KPU Jawa Tengah itu.
Ketua KPU Arief Budiman angkat bicara terkait polemik SK 1130 tentang DCT anggota DPD yang dibatalkan PTUN. ”Kalau kami tidak melakukan perubahan apa pun, tidak menerbitkan SK baru, ya SK itu masih berlaku,’’ terangnya kemarin.
Arief menjelaskan, SK tersebut dibatalkan PTUN karena ada perintah untuk memasukkan nama OSO ke dalam DCT. KPU kemudian membuat ketentuan bahwa untuk bisa masuk DCT, OSO harus mundur dari kepengurusan parpol. ’’Kalau kemudian ada surat pengunduran diri, itu (SK) kami batalkan, lalu membuat yang baru,’’ lanjut mantan komisioner KPU Jawa Timur itu.
Putusan PTUN, lanjut Arief, merupakan satu kesatuan. Membatalkan SK 1130 dan kemudian membuat SK baru dengan memasukkan nama OSO. Artinya, selama syarat pengunduran diri dari kepengurusan itu belum diterima KPU, SK tersebut masih berlaku. Tenggatnya adalah 22 Januari lalu sehingga tertutup sudah pintu bagi OSO berkompetisi pada Pemilu 2019.
Sebagaimana diberitakan, KPU memberikan deadline bagi OSO untuk mundur dari jabatan Ketum Hanura hingga 22 Januari lalu. Itu merupakan syarat agar dia bisa masuk DCT anggota DPD. Namun, hingga tengah malam, OSO tidak juga menyerahkan bukti pengunduran diri sehingga dia tidak bisa melanjutkan pencalonan. (Jawa Pos/JPG)