eQuator.co.id – Setiap pekerjaan apapun, tak selamanya gampang dilakukan. Tapi Maria dengan ketulusannya ‘berdialog’ dengan jenazah, agar bisa dikenakan pakaian “……..nanti akan dijemput,” tuturnya lembut.
Ambrosius Junius, Pontianak
Masih banyak orang takut mendekati jenazah yang tak dikenalnya, apalagi mengurusnya dengan memegang dan membersihkannya. Tapi bagi Maria Elmiana dengan kasih yang diajarkan Kristus ada kewajiban untuk membantu saudara dalam duka. Hatinya terpanggul untuk membantu sesama. Keberanian pun muncul begitu saja sehingga merias jenazah tak sulit dikerjakannya.
Berawal dari kebingungan orang sedaerahnya yang ditimpa kemalangan saat mengurus jenazah anggota keluarga yang meninggal setelah berobat di Pontianak, hati Maria tersentuh untuk membantu, dan berbuat sesuatu.
“Waktu itu masih takut-takut, mendekat pun tak berani. Tapi yang namanya melihat orang yang lagi susah ditinggalkan anggota keluarganya pastilah kebingungan. Akhirnya saya terpanggil untuk membantu,” ungkap Maria Elmiana kepada Rakyat Kalbar di rumahnya Jalan Karna Sosial no. 28B Pontianak, Rabu (23/11).
Itulah kali pertama, tahun 1990 ia menghadapi jenazah untuk diurus sebelum prosesi keagamaan dan pemakaman dilaksanakan. Setelah itu Maria pun sering dipanggil baik orang sedaerahnya maupun kenalan, untuk melaksanakan pelayanan duka. Pelayanan yang diberikan meliputi memandikan jenazah, mngenakan pakaiannya hingga merias wajah serta pelayanan doa dan penghiburan keluarga yang berduka.
Tahun tahun itu memang tak gampang mencari kain kafan, peti jenazah termasuk pakaian. Dari awalnya takut, Maria berfikir keras karena membantu orang dalam duka tidak bisa setengah-setengah. Akhirnya dengan sendirinya ia menjadi terbiasa dan berani menghadapi jenazah. “Entah saya lupa kapan menjadi berani mngurusi jenazah,” tutur ibu tiga anak itu.
Maria tak ingat lagi sudah berapa jenazah yang diriasnya hingga ia berusia 52 tahun kini. Nenek seorang cucu ini memang punya banyak pengalaman dan tak selamanya pekerjaan lancar begitu saja.
“Waktu baru-baru mulai berurusan dengan kematian ini, pernah sampai satu minggu merasa bau jenazah melekat di tubuhnya. Waktu itu makan pun tak enak, bahkan ke kamar mandi pun takut seakan ada mayat di kamar mandi,” ungkap Maria.
Kenangan itu pun dengan sendirinya terhapus pupus oleh niatnya membantu orang dalam duka. Kini Maria Elmiana diberikan tugas melayani umat Katolik di Paroki Keluarga Kudus, Kota Baru.
Ditanya, mengapa jenazah perlu dihias atau di make up? Orang meninggal karena faktor apa pun sebisa mungkin tetap terlihat sebagus mungkin. Jika jenazah itu laki-laki ada kumisnya dirapikan, jadi intinya tidak tampak menakutkan. Jika meninggal karena kecelakaan biasanya sudah dibersihkan oleh pihak rumah sakit sehingga sesampainya di rumah duka hanya meriasnya.
“Orang yang sudah meninggal itu ibarat mempelai, jadi walau pun sudah tak bernyawa setidaknya dirapikan,” tutur wanita 52 tahun ini.
Kata Maria, tak selamanya mengurus jenazah itu gampang sebagaimana setelah dirias menjadi rapi. Kebiasaannya, ketika merapikan mengalami kendala, jenazah diajaknya berbicara agar dijemput harus rapi-rapi karena akan bertemu Tuhan.
“Misalnya susah saat memasang baju, jenazah itu kan kaku, jadi saya ajak ngomong. Pak, Ibu, lemaskan tangannya ya, nanti akan dijemput,” tuturnya dengan tersenyum.
Menurut Maria, seseram apa pun melihat wajah orang yang sudah meninggal jika sudah didandani akan tampak tersenyum. Pernah ada seorang nenek meninggal, dilihatnya memang agak seram. Bahkan cucunya pun takut melihatnya. Dan menangani jenazah sang nenek dilakukan sendirian oleh Maria.
“Saya bilang anggota keluarganya suruh tunggu di luar, saya rapikan sisir rambut dan dirias. Setelah selesai keluarganya masuk dan bilang jenazah neneknya cantik dan rapi,” ceritanya.
Suka duka mengurus jenazah merutnya ketika melihat jenazah itu cantik dan tersenyum ada kepuasan tersendiri. Senang bisa membantu keluarga yang ditinggalkan yang dilanda kesusahan dan kesedihan.
Dukanya, saat bersama timnya pernah dimarahi oleh anggota keluarga yang meninggal ketika memegang jenazah mereka memakai sarung tangan dan masker. Karena mengenakan pengamanan dianggap pihak keluarga timnya jijik seperti memegang hewan.
“Itu memang standar kami saat mengurus jenazah, namun kami turuti saja permintaannya. Yang namanya pelayanan itu kita harus rendah hati, biarlah kita mengalah yang penting jenazah bagus dan rapi keluarga pun senang,” jelasnya.
Nama Menyeramkan
Kini sudah 37 tahun Maria Elmiana menetap di Kota Pontianak dan menjadi perias jenazah terus dilakukannya. Ia pernah bergabung dengan sebuah yayasan pelayanan duka pada 2014 ketika pembentukan Dewan Pastoral baru di Paroki Keluaga Kudus, Kota Baru.
Dalam susunan kepengurusan baru di dalamnya terdapat bidang/seksi kematian. Tidak mudah juga membentuk tim itu, karena mendengar namanya saja sudah menakutkan. Menjabat sebagai koordinator bidang itu dia pun membuat program, diajukan dan konsultasi ke Pastor Paroki hingga mencari donatur.
“Karena seksi kematian itu seram, maka dibuatlah dengan mengganti nama menjadi Tim Pelayanan Duka Paroki Keluarga Kudus. Tim ini khusus untuk pelayanan kepada umat Katolik di Paroki kami saja,” jelasnya.
Dalam Tim ada ada 36 anggota berbagai latar belakang perkerjaan. Ada yang berprofesi sebagai perawat bahkan ada karyawan sebuah perusahaan swasta dengan jabatan sebagai manejer dan ibu rumah tangga.
“Anggota tim harus selalu siap setiap saat. Handphone saya aktif 24 jam jika ada umat paroki yang meninggal. Salah satu anggota langsung mendatangi rumah duka, dan jika tengah malam biasanya yang mendatangi anggota yang laki-laki,” ktanya.
Tiba di rumah duka pelayanan dilaksanakan bahwa jenazah harus dimandikan, disiapkan pakaian. Kalau keluarga siap mereka yang memandikan, kalau tidak tim yang melaksanakan. Jika tidak ada pakaian dibantu mencari, begitu juga dengan peti jenazah jika belum ada dibantu pesan peti. Kalau tidak mampu ada juga umat yang menyumbangkan peti, karena di Paroki ada yang peti sosial serta menghubungi pastor paroki untuk pelaksanaan ibadah duka.
“Jadi semua anggota yang bergabung semuanya harus bisa menangani jenazah seperti memandikan, memasang pakaian, dan merias jenazah,” terangnya.
Mengakhiri perbincangan, Maria Elmiana berharap agar orang yang meninggal jangan ada perasaan menakutkan dan jangan menyeramkan. Selama ini belum pernah diganggu atau takut. “Semuanya baik-baik saja, karena dalam pelayanan kami selalu ditanamkan untuk membantu dengan setulus hati. Ini murni pelayanan bukan profesi,” pungkasnya (*)