Sejak lulus Universitas Gadjah Mada jurusan hubungan internasional, Joko Susilo (JS) sangat terobsesi bisa menjelajah mancanegara. Secara nyata. Tidak hanya melalui media.
Obsesi itu saya ketahui agak terlambat. Justru ketika JS sudah satu tahun menjadi wartawan Jawa Pos. Ternyata JS berstatus pegawai negeri: dosen di Universitas Airlangga. Diam-diam dia mem-poligami-kan status kepegawaian. Ini melanggar aturan di Jawa Pos (JP). Saya tidak tahu apakah juga melanggar peraturan pegawai negeri.
Saya gamang. Mau diapakan dia ini? Diberhentikan? Mestinya begitu. Tapi, prestasi JS luar biasa. Tulisannya memiliki ciri khas yang memikat. Agak provokatif. Tapi cerdas. Dan mengalir. Pengetahuannya luas sekali. Yang terluas di antara kami. Dia hafal seluruh jenis persenjataan. Hafal kekuatan militer semua negara. Piawai dalam menganalisis geopolitik. Kalau berbicara sangat memikat.
Singkat kata: pembaca Jawa Pos fanatik pada tulisan-tulisannya. Mahasiswa sering mengundangnya ceramah di kampus. Dan dia satu-satunya aktivis Muhammadiyah di tengah wartawan Jawa Pos yang umumnya NU. Dia Muhammadiyah tulen: IPM, IMM, Pemuda Muhammadiyah, dan Muhammadiyah. Rasanya, contoh kerukunan Muhammadiyah-NU terbaik adalah di redaksi Jawa Pos saat itu.
Akankah dia harus dipecat?
Saya betul-betul bingung. Saat itu JS adalah lambang intelektualitas di Jawa Pos. Saat JS masuk Jawa Pos, dia adalah rekrutmen angkatan kedua yang harus sarjana. Sebelum itu, Jawa Pos tidak mampu merekrut sarjana. Masih miskin. Tepatnya: sangat miskin.
Akhirnya saya panggil dia:
’’Mengapa merangkap jadi PNS?’’ tanya saya.
’’Saya belum yakin JP bisa menjamin masa depan saya,’’ jawabnya.
’’Masa depan seperti apa?’’
’’Membuat saya bisa ke luar negeri.’’
Nah, I got the point. Ke luar negeri. JS ingin bisa ke luar negeri. Anak Boyolali ini ingin bisa ke luar negeri. Dengan menjadi dosen, dia berharap bisa mendapat beasiswa sekolah di luar negeri.
’’Saya jamin, kalau tetap di JP, Anda akan bisa ke luar negeri,’’ kata saya.
’’Bener ya?’’ tanya dia ragu.
’’Saya jamin,’’ tegas saya.
Entah dari mana saya dapat mantra itu. Melihat kemampuan Jawa Pos saat itu, rasanya mustahil. Tapi, saya memang sangat yakin suatu saat Jawa Pos akan besar. Besar. Suatu saat.
JS ternyata termakan mantra itu. Dia mundur dari PNS. Lebih produktif lagi di jurnalistik. Mejanya penuh dengan buku. Juga majalah-majalah. Khususnya tentang strategi perang dan persenjataan. Semua berbahasa Inggris. Terasa demonstratif di tengah kami-kami yang tidak bisa berbahasa Inggris.
Enam bulan kemudian, mantra itu bertuah. Seiring dengan kemajuan Jawa Pos, banyak kedutaan negara asing yang mengundang Jawa Pos. Agar mengirim wartawan ke negara mereka. Pastilah JS yang ditugaskan. Bukan karena janji saya tadi. Memang baru dialah yang mahir bahasa Inggris saat itu.
’’Akhirnya ke luar negeri, bos!’’ teriaknya saat pamit.
Matanya begitu berbinar saat itu. Wajahnya memerah. Sosok yang kalem itu seperti menguji tubuhnya: berjingkrak.
Dia begitu exited. Ini bukan sekadar ke luar negeri. Ini ke Libya. Ke negara yang sangat menarik bagi wartawan. Apalagi dijanjikan bisa bertemu pemimpin Libya yang legendaris itu: Muammar Qadhafi. Ini bukan hanya menarik secara jurnalistik. Tapi juga secara kemasyarakatan. Sebagai tokoh muda Islam, dia perlu tahu Libya. Qadhafi. Timur Tengah. Untuk bahan-bahan ceramahnya.
Setelah itu, JS bertubi-tubi ke luar negeri. Bahkan akhirnya kami memutuskan untuk membuka kantor Jawa Pos di berbagai negara penting. Termasuk di Amerika Serikat. JS-lah wartawan Jawa Pos pertama yang bertugas di Washington DC.
Tiga tahun JS tinggal di Washington. Rasanya dia baru bisa nyetir mobil justru setelah tinggal di sana. Lalu memboyong istrinya ke Washington. Anak-anaknya lahir di sana.
’’Anak saya ini memenuhi syarat menjadi presiden Amerika,’’ ujarnya. Waktu saya menengoknya di Washington itu, anaknya masih bayi. Salah satu syarat menjadi presiden AS adalah harus lahir di sana. Sehebat-hebat tokoh AS seperti Henry Kissinger tidak akan bisa menjadi presiden karena dia lahir di Austria.
JS sangat fenomenal di Jawa Pos. Merekrut wartawan sarjana telah meningkatkan mutu Jawa Pos. Maka rekrutmen berikutnya, persyaratan sarjana itu ditingkatkan: harus mampu berbahasa asing dan IP-nya harus tinggi. Sampai sekarang.
Maka kalau baru sekarang saya melamar masuk Jawa Pos, saya tidak akan diterima.
Setelah melihat begitu banyak generasi baru di Jawa Pos yang hebat-hebat, JS berpikir untuk mengakhiri karir wartawan. Masuk politik. Ikut membidani PAN yang didirikan Prof Dr Amien Rais. Bagi JS, Pak Amien Rais bukan hanya dosennya. Tapi juga panutannya. Dia sangat mengidolakan Amien Rais. Nyaris membabi buta.
Jadilah JS anggota DPR. Tentu masuk komisi I. Yang membidangi luar negeri dan pertahanan. Sesuai banget dengan obsesinya. Bahkan setelah tidak di DPR, dia mendapat tugas sebagai duta besar. Di negara yang penting pula: Swiss. Lagi-lagi sangat sesuai dengan obsesinya.
Hubungan kami dengan JS tidak pernah putus. Dia tetap menulis di Jawa Pos. Juga tetap mampir ketika lagi ke Surabaya.
Kalau toh ada perubahan, itu adalah badannya. Juga sikapnya kepada Amien Rais. Rupanya, JS menderita diabetes. Badannya digerogoti gula. Dan digerogoti politik. Dia kelihatan kurang puas dengan perkembangan PAN.
Saat saya melayat ke rumah duka di Sentul kemarin petang, jenazah Bung Joko Susilo dibaringkan di lantai atas. Menunggu diberangkatkan ke kampungnya di Boyolali. Upacara selamat jalan dilakukan sahabat-sahabatnya. Istrinya masih dalam perjalanan dari Surabaya. Satu di antara tiga anaknya masih di Belanda. Kuliah di sana.
Bung Joko, Anda orang yang berprestasi. Hidup Anda penuh arti. Penuh sekali.