Di Rumah Panjai (betang/panjang) Dusun Sungai Pelaik, Desa Melemba, Kecamatan Batang Lupar, kami menyaksikan langsung keharmonisan hidup beda agama, saling menghargai dan menghormati sesama. Di balik itu, meski tinggal di daerah terisolir, anak-anak di sana mengenal lagu-lagu wajib nasional dan bercita-cita tinggi.
Ocsya Ade CP, Sungai Pelaik
eQuator.co.id – “Garuda Pancasila, akulah pendukungmu. Patriot proklamasi, setia berkorban untukmu. Pancasila dasar Negara. Rakyat adil makmur sentosa. Pribadi bangsaku, ayo maju maju. Ayo maju maju. Ayo maju maju”. Ini satu dari sekian banyak suara berirama yang meluncur dari bibir dua bocah di Rumah Panjai Dusun Sungai Pelaik, Kamis (25/5) menjelang petang.
Mereka Jesi Baroski dan Dawing, masing-masing baru berusia 9 dan 11 tahun. Selain ‘Garuda Pancasila’, ‘Indonesia Raya’ dan hymne guru pun mereka lantunkan sambil duduk di tingkap dan mengarahkan bekas gulungan benang (berbentuk corong) ke mulutnya. Anggap saja mikrofon.
Jesi dan Dawing tak begitu memperdulikan kedatangan tim Jurnalis Trip kala itu. Mereka fokus dengan dunianya sendiri. Saat kami berbincang dengan orang-orang dewasa di ujung Ruai Rumah Panjai (ruang kumpul penduduk) depan bilik nomor 10, nyanyian mereka terhenti. Jesi dan Dawing berlari menuju perpustakaan mini yang terletak di depan bilik nomor satu.
Di rak empat tingkat itu, terdapat ratusan buku. Mulai dari buku pelajaran, kisah nyata, pahlawan, dan motivasi. Jesi duduk di kelas 3 SDN 12, Dusun Semala, Desa Melemba. Ia aktif membaca buku kisah-kisah pahlawan, juga doyan melahap bacaan-bacaan inspirasi.
Ketika saya hampiri, Jesi tengah membaca La Tahzan, salah satu buku petunjuk cara hidup dan motivasi, yang berjudul ‘Tersenyumlah’. “Saya baca biasa pagi sebelum berangkat sekolah dan menjelang malam,” ucap dia.
Buku-buku bantuan dari pemerintah dan LSM-LSM di perpustakaan mini itu sangat disukainya. “Untuk menenangkan hati,” gumam Jesi. “Senang kalau sudah baca buku,” sambungnya.
Jesi sendiri bocah laki-laki kedua dari pasangan Rajes dan Rafiana. Saat itu, kedua orangtuanya tengah mengikuti kegiatan pelatihan di luar kota. Alhasil, Jesi diasuh neneknya. Ke sekolah menggunakan perahu pun diantar sang nenek. “Jam enam pagi dari rumah. Kalau hujan, kami tidak sekolah, takut basahkan buku,” tuturnya.
Kisah Jesi ini merupakan potret anak bangsa yang patut dicontoh dan terus didukung. Meski hidup di daerah terisolir, jauh dari kemajuan, Jesi mampu mendongkrak juara dua di sekolahnya. Ia juga pecinta Matematika.
“Saya paling suka pelajaran MM (Matik-matik) dan bercita-cita ingin menjadi profesor agar bisa bantu teman-teman,” ungkap dia.
Di samping Jesi, ada adiknya, Fabian Hamilton. Bocah tujuh tahun itu juga menuntut ilmu-ilmu dasar di sekolah yang sama dengan Jesi. Masih duduk di kelas satu, dia bercita-cita pilot. “Agar bisa antar Mamak,” cetus Fabian.
Sedangkan Dawing terlihat tak banyak cakap. Bocah sekelas Jesi inipun punya kehendak mulia. “Saya pernah melihat hutan terbakar, jadi ingin menjadi pemadam kebakaran,” singkatnya.
Setelah itu, bocah-bocah ini tak banyak bersuara. Mereka terlihat lebih fokus membaca buku-buku yang digenggamnya. Sementara itu, di sekitaran perpustakaan mini tersebut, beberapa anak usia di bawah lima tahun bergabung.
Kaya, tokoh masyarakat di Rumah Panjai Dusun Sungai Pelaik mengatakan, 12 dari dari 63 jiwa yang tinggal di Rumah Panjai bekerja di Malaysia. Orang dewasa lainnya mencari nafkah sebagai nelayan, peladang, dan penenun. “Kami hidup dalam kekurangan, tapi anak-anak kami di sini harus bersekolah,” tegasnya.
Setelah puas bercengkerama dengan masyarakat Dayak Iban di Dusun Sungai Pelaik, kami pun melepas lelah di sana bersama alam dan keharmonisan masyarakatnya. Jumat (26/5), kami menelusuri pesona Danau Sentarum di sekitar Dusun Sungai Pelaik menuju dermaga di Desa Lanjak, Batang Lupar. Lalu, beranjak ke Bandara Pangsuma di Putussibau untuk kembali ke Kota Pontianak.
Catatan kecil akan bocah-bocah pedalaman ini merupakan penutup catatan perjalanan saya dalam Jurnalis Trip Kompakh, selama tiga hari sejak 23 Mei 2017 di dua desa dampingan Kompakh (Desa Menua Sadap dan Melemba). (*/selesai)