Numpang Komunikasi via Seluler Malaysia

Hidup Tanpa Listrik dan Sinyal di Ekor Kalimantan

KURANG BERGUNA. Akhmad menunjuk tower BTS yang berdiri kokoh di Desa Temajuk, yang sayangnya lebih banyak tidak berfungsi. Achmad For Rakyat Kalbar

Triliunan rupiah diguyurkan ke perbatasan Sambas, Kalbar dengan Malaysia, ternyata masih utopia dan masih beraroma mercusuar. Mau telepon dari Camar Bulan, Temajok, harus menyeberang ke Telok Melano-Sarawak.

Muhammad Ridho, Sambas

Perasaan dan pikiran Akhmad tiba-tiba berubah, apakah masih berada di Tanah Air atau sudah di luar negeri. Sebulan bertugas di Puskesmas Temajuk yang berlokasi di ekor burung Pulau Kalimantan, banyak yang terasa asing.

“Kalau tidak ke Melano, Malaysia, kita tidak bisa berkomunikasi dengan atasan maupun keluarga di Sambas. Karena tower yang dibangun di Temajuk sinyalnya lebih banyak tidak berfungsinya,” tunjuk Akhmad ke base transceiver station (BTS) yang dibangun bersama oleh Telkomsel dan Indosat di perbatasan itu, Senin (14/3).

Kalau soal pelayanan kesehatan di Sekura, Sambas, dengan Temajuk, sama saja tanpa perbedaan. Tapi jangan disamakan dengan jiran sebelah itu jelas kalah. “Yang jadi masalah bagi para petugas kita adalah komunikasi ke atasan atau keluarga di dalam negeri sendiri. Mau nelepon ke dalam negeri kita harus ke luar negeri dulu, ke Telok Melano,” tutur Akhmad kepada Rakyat Kalbar, sambil tersenyum.

Memang, ke LN dari Temajuk tak perlu naik pesawat. Cukup dengan sepeda motor sejauh 1 Km saja, bahkan di Pos Lintas Batas pun cukup melambaikan tangan tanpa paspor saking kenalnya. “Kita pun nelepon tidak bisa pakai kartu Telkomsel atau Indosat, harus pakai DIGI, krtu seluler keluaran Malaysia,” tambahnya.

Bagaimana seandainya ada serangan dari luar, atau ancaman lainnya yang harus segera dilaporkan ke ibukota Kabupaten Sambas atau ibu kecamatan Paloh misalnya?

Jelas kawasan perbatasan secepat kilat dikuasai musuh atau ancaman asing. Yang pasti, tanpa berandai-andai, sinyal seluler dari BTS gabungan yang dibangun sebagai kewajiban CSR (Corporate Social Responsibility) belaka. Akibat tidak komersial alias tak menguntungkan, begitu rusak atau baterai habis, selamat tinggal tanpa perawatan. “Jangankan sinyal, listrik pun tak ada di Temajuk ini,” tambahnya.

Tak berlebihan kalau warga perbatasan itu terisolir dari Tanah Air Indonesia sebagai bagian dari NKRI. “Kadang, sinyal seluler kita itu aktif sekitar pukul 01.30 dini hari. Entah apa penyebabnya. Kalau sudah jam segitu, siapa yang mau kita hubungi lagi lelap-lelapnya orang tidur,” ungkap Akhmadi.

Sejak mutasi dari Puskesmas Sekura ke Puskesmas Temajuk 9 Februari 2016, hingga saat ini baru tiga kali saja sinyal berfungsi. Itupun sekejap di kawasan tertentu. “Lokasi yang bisa dapat sinyal hanya di Tanjung Bendera, tapi sangat jauh dari pusat Desa Temajuk,” kata warga kelahiran Desa Matang Danau, Kecamatan Paloh ini.

Tak heran kalau mereka terisolir dari NKRI dan buta informasi dalam negeri lantaran yang ditonton televisi Malaysia dan mendengar siaran radio jiran itu. Warga Temajuk menyesalkan pembangunan tower BTS itu sekadar basa-basi. Belum lagi masalah listrik yang saat ini PLN Kalbar beli setrum dari Malaysia, sama sekali tak dinikmati warga perbatasan sendiri.

“Dari diskusi bersama warga Temajuk, untuk penerangan mereka menggunakan genes. Ada juga yang menggunakan PLTMH (pembangkit listrik tenaga mikro hidro), tapi tidak merata,” kata Akhmad.

Genset memang tidak murah mesinnya belum lagi bahan bakar. Dari sore hingga menjelang pukul 22.30, butuh sekitar 2 liter bensin. Artinya Rp18 ribu. Sebulan butuh dana bensin Rp540 ribu. “Itu tidak full penggunaannya, jadi kasian masyarakat perbatasan harus keluar dana besar demi mendapatkan penerangan,” jelasnya.

Warga berharap pemerintah kabupaten atau provinsi dan pusat melalui instansi terkait dapat mengakomodir aktifnya sarana informasi dan komunikasi warga perbatasan. Termasuk penerangan, sehingga warga perbatasan merasa diperhatikan.

“Kita hanya ingin akses seluler ini dapat diatasi, termasuk masalah listrik. Sebab kendala seluler ini juga karena tidak ada listrik, sehingga warga menggunakan genset yang biayanya sangat besar. Itulah harapan masyarakat perbatasan di Temajuk,” pungkas Akhmad.*