eQuator.co.id – Kuching-RK. Kemegahan dan kemewahan bangunan di Pos Lintas Batas Negara (PLBN) di wilayah Kalimantan Barat, baru sebatas etalase. Sebagai hasil rajinnya Presiden Joko Widodo ke Kalbar, itu belum menyelesaikan banyak permasalahan. Salah satunya, normalisasi perdagangan terkait ekspor-impor melalui PLBN dihadapkan dengan maraknya penyeludupan yang sangat menguntungkan pihak Malaysia, dan oknum di Kalbar.
Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Kuching, menggelar rapat koordinasi (Rakor) internal membahas isu-isu perbatasan dengan wakil pemerintah Indonesia dari pusat dan daerah yang berbatasan dengan Sarawak, Malaysia, serta instansi pemerintah pusat terkait.
“Saya rasa pertemuan ini sangat penting. Karena Pemerintah Sarawak dalam berbagai pertemuan bilateral maupun internasional senantiasa menanyakan isu perdagangan lintas batas, atau tentang istilah normalisasi perlintasan perdagangan Tebedu-Entikong,” kata Jahar Gultom, Konsul Jenderal RI di Kuching, dalam pengantar pertemuan, Selasa (11/4).
Rakor yang diselenggarakan di Gedung KJRI Kuching, itu berupaya menyatukan pendapat dalam rangka menghadiri undangan dari Pemerintah Sarawak, melalui Kementerian Pembangunan lnfrastruktur yang membahas persoalan perbatasan dua negara, Rabu (12/4).
Belum lama ini Presiden Joko Widodo meresmikan tiga PLBN di Kalbar, yakni Entikong, Badau dan Aruk. Presiden, kata Jahar, memuji bangunan fisiknya sangat baik dan bagus dibanding border jiran. Sarawak berbatasan dengan enam kabupaten di Kalbar sepanjang kurang lebih 877 kilometer.
“Pembangunan besar-besaran ini diperhatikan Pemerintah Sarawak, dengan alasan inilah mereka selalu berharap soal istilah mereka, adanya normalisasi perdagangan di perbatasan,” ujar Jahar.
Bahkan istilah normalisasi itu menurut Jahar bolak-balik dipertanyakan pihak Malaysia, sejak didengungkan Mei 2014 silam. Tak disebutkan apakah barang-barang transit dari Malaysia terhadang sehingga pengusaha jiran “kepanasan” belumlah jelas.
Namun, sepertinya Jahar juga kebingungan apa yang harus dijelaskan ke pihak jiran itu. “Ini menjadi isu utama yang akan dibahas dengan Pemerintah Sarawak. Karena yang menarik selama ini, kita tidak pernah memberi jawaban yang jelas. Kami di sini juga selalu ditanya terus sama Pemerintah Sarawak,” ujarnya.
Karena itu Jahar sangat perlu kejelasan yang dibahas dalam Rakor perdana sejak KJRI Kuching berdiri (menurut Jahar), sebagai terobosan baru untuk perekonomian di perbatasan.
Namun sepertinya pihak Pemerintah Sarawak sangat berkepentingan dengan jalan keluar terbaik untuk kedua negara.
“Kami hanya ingin kepastian terkait soal perdagangan perbatasan ini. Posisi kami di sini hanya ingin kepastian. Kalau iya, iya. Kalau tidak ya tidak. Karena kami terus yang ditanya. Memang tak semudah membalikan telapak tangan, tapi saya yakin pertemuan dengan Pemerintah Sarawak ada suatu penyelesaian,” ujar Jahar.
Sejumlah persoalan yang juga dibahas di antaranya tentang pengaturan lalu-lintas kendaraan Aruk-Sajingan (Sambas) yang berbatasan langsung dengan Biawak, dan Badau (Kapuas Hulu) yang berbatasan dengan Lubok Antu, Sarawak.
Lebih penting lagi perihal pengawasan jalur tikus, yang dimanfaatkan pemain gula eks Malaysia serta barang illegal lainnya. Sedangkan peredaran atau pasok Narkoba yang lancer dan deras cukup mencurigakan adanya standar ganda di jiran utara.
Tak Ada Gunanya
Rakor dihadiri Gubernur Kalbar Cornelis, Kapolda Kalbar Irjen Musyafak, Danrem Sintang 121/Alambhana Wanawwai Brigjen TNI Widodo Iryansyah, para Bupati wilayah perbatasan dengan Sarawak, Assisten Deputi Pengelolaan Lintas Batas Negara Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) Robert Simbolon, perwakilan Kementerian Perdagangan, Kemenkum HAM, Imigrasi dan Bea Cukai.
Kepala Kanwil Dirjen Bea Cukai Kalimantan Bagian Barat, Saifullah Nasution, lebih jelas dan transparan karena normalisasi sangat terkait dengan status pelabuhan darat dan laut di Indonesia.
Kata Saifullah, jika terjadi kesepakatan normalisasi perdagangan di Perbatasan dengan salah satu alternatifnya membuka dry port (pelabuhan darat) dan inland port (kawasan berikat), namun tidak dilengkapi fasilitas goods in transit, maka pelabuhan darat tersebut dianggap tidak akan ada gunanya.
“Artinya kita tidak bisa gunakan pelabuhan mereka (Sarawak) untuk berdagang keluar dari Malaysia. Sehingga, tidak berdampak banyak bagi ekspor Kalimantan Barat. Menurut kami, isu goods in transit harus kita bahas,” tegas Saifullah.
Ia mencontohkan sebuah perusahaan besar yang bergerak di bidang perkebunan sawit yang saat ini sudah menjalin kesepakatan dengan Pemerintah Sarawak untuk membangun pelabuhan di Tanjung Manis, yang akan digunakan sebagai goods in transit.
“Dimana barang dari perbatasan Nanga Badau, Kapuas Hulu, bisa dimuat di Tanjung Manis baru keluar apakah ke Jepang, China, India dan lain-lain,” jelasnya.
Bea dan Cukai juga mewaspadai masalah transnational crime (kejahatan internasional) juga penting dibahas dalam pertemuan dua negara ini. Karena, menurut Saifullah, Kalimantan Barat atau Indonesia umumnya sudah merasakan dampak dari kejahatan transnasional tersebut. Dan harus tidak ada standar ganda di pihak Malaysia soal Narkoba, otoritas mereka juga harus menangkap pihak pelaku warga negaranya dan di wilayahnya.
“Transnational crime khususnya Narkotika tidak ada bendungannya. Bahkan mengalir deras dari Malaysia. Sehingga isu ini juga harus menjadi pembahasan penting dengan Pemerintah Malaysia,” tegas Saifullah Nasution.
Dengan dibahasnya isu tersebut, kata Saifullah, paling tidak bisa meminimalisir volume dan pergerakan Narkotika yang selama ini amat deras mengalir ke Kalbar. “Kita harus bekerjasama dalam hal ini,” ujarnya.
Kapolda Kalbar Irjen Pol Musyafak menimpali, pada 2016 lalu Narkoba yang lolos dari Malaysia ke Kalbar mencapai 167 Kg dalam bentuk sabu dan ratusan ribu butir dalam bentuk happy five dan ekstasi. Sedangkan 2017, hanya kurun empat bulan ini sudah lolos 86 kilogram sabu.
“Itu yang ketangkap. Dua tersangka tewas ditembak dan satu ada yang divonis mati. Ini saya kira menjadi pemikiran kita. Karena kalau terus masuk, yang dirusak adalah manusianya. Ini perlu menjadi pemikiran untuk diangkat dengan Pemerintah Sarawak,” kata Musyafak.
Sejauh ini, lanjut Musyafak, ada kesan seakan-akan Narkoba ini sengaja dibiarkan dan diloloskan masuk ke Kalbar. Artinya pihak keamanan Malaysia berstandar ganda dalam pemberantasan Narkotika.
“Cuma yang lepaskan siapa, sulit untuk dibuktikan. Karena buktinya, Narkoba yang ditangkap Polda dan BNN serta Bea dan Cukai di Kalimantan Barat, semua dari (melalui) wilayah Perbatasan. Termasuk 20 kilogram terakhir, itu dari Perbatasan. Maka ini perlu dibahas,” tuturnya.
Bagaimanapun, ada aturan yang daerah hanya pelaksana dan pusat menentukan segalanya. Termasuk menggebunya pihak-pihak yang ingin normalisasi, laik untuk diperhatikan.
“Kita tunggu saja relugasi dari pusat. Pastinya dengan perkembangan di tiga border itu, personil kepolisian akan ditambah di sana. Polri harus mem-back up kebijakan pemerintah di setiap daerah,” tandasnya.
Normalisasi, Apa Itu?
Assisten Deputi Pengelolaan Lintas Batas Negara Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), Robert Simbolon, menilai kalau pengelolaan perbatasan terasa semakin penting.
Ia mengacu apa yang dikatakan Presiden Joko Widodo di tiga border yang diresmikan, bagaimana menjadikan PLBN sebagai pusat pengembangan ekonomi, kesejahteraan masyarakat kawasan, serta pintu ekspor impor yang bisa menguntungkan negara.
“Nah,persoalannya, apa sih masalah yang membuat kita tidak bisa membicarakan hal ini. Pihak Malaysia selalu menggunakan kata-kata normalisasi. Kita juga tak pernah bertanya dengan mereka apa yang dimaksud dengan normalisasi itu. Maka isu perdagangan umum ini harus diperluas dibahas,” tegasnya.
Sebenarnya, kata Robert, Pemerintah Indonesia sudah menyikapi hal ini dengan baik. Cuma, menyiapkan persyaratan-persyaratan itu tidak bisa secepat kebutuhan respon yang harus diberikan.
“Contohnya pembangunan pelabuhan atau terminal barang internasional di Entikong. Tiba-tiba ditunda karena ada pemotongan anggaran. Mudah-mudahan 2017 ini sudah selesai. Kami sudah mendapat komitmen itu dari Kementerian Perhubungan. Setelah itu lanjut ke Badau dan Aruk,” ujar Robert Simbolon.
Perihal lalu-lintas di perbatasan Aruk dan Badau, akan secepatnya diselesaikan. Karena akses keluar masuk kendaraan ini sebagai moda transportasi lintas batas.
“Ini harus clear. Jangan saja hanya kendaraan pribadi, tapi juga umum. Ini saya kira isu yang juga penting untuk dibahas dan diselesaikan. Termasuk isu Imigrasi yang masih banyak praktek tidak baik,” tegasnya.
Belum jelas apa hasil secara keseluruhan, terutama masalah-masalah krusial yang sangat merugikan Kalimantan Barat selama ini. Hasil Rakor tersebut akan dibahas secara tertutup dengan Pemerintah Sarawak, Rabu 12 April 2017.
Laporan: Ocsya Ade CP
Editor: Djunaini KS