Usianya terbilang muda, namun langkahnya sungguh terentang jauh. Di usianya yang baru 21 tahun, Nordianto sudah berkesempatan menjadi pembicara dalam diskusi berlevel internasional.
Iman Santosa, Pontianak
eQuator.co.id – Pada 28-31 Januari 2017 silam, Nordianto bertandang ke Markas besar Perserikatan Bangsa-bangsa di New York. Ia menjadi pembicara dalam Economic and Social Council (ECOSOC) Youth Forum.
“Saya didampingi oleh pak Surya Candra Surapati ketua BKKBN,” cerita Nordianto kepada Rakyat Kalbar, Senin (20/2).
Kesempatan hadir di forum Internasional tersebut tidak lepas dari perannya sebagai Presiden Generasi Rencana Nasional (Genre). Dalam forum tersebut, pria yang biasa disapa Anto ini menyampaikan tentang bagaimana melihat akar dari kemiskinan tidak hanya semata persoalan ekonomi.
Hebatnya, pria dengan sapaan karib Anto ini terpilih tanpa mengikuti seleksi. Ia mendapat undangan langsung dari Presiden ECOSOC.
“Jadi saya nggak ada daftar, tapi tiba-tiba dihubungi sama Pulin (Pusat Pelatihan BKBBN), mas Anto ayo kamu terpilih untuk jadi partisipan ke New York,” jelasnya.
Semuanya tanpa proses mendaftar atau seleksi. “Lebih karena memang mendapat rekomendasi dari BKKBN yang melihat aktivitas saya di Genre,” tambahnya.
Hanya saja, kesempatannya bicara di forum ECOSOC itu bukan kali pertama kehadirannya di forum Internasional. “Dengan yang di New York ada tujuh kali, tiga kali mendapat kesempatan jadi pembicara,” kisahnya. “Nanti sekitar bulan Juni 2017, juga akan ke Rio di Brazil, sama untuk forum Internasional juga,” imbuh Anto.
Namun, jago berbicara tak didapatnya secara instan. Ia sudah aktif berorganisasi semenjak duduk di bangku SMP.
“Waktu itu, saya Ketua OSIS, jadi sering mendapat undangan kegiatan, termasuk ikut di PIK Remaja di BKKBN,” jelas jebolan SMP Negeri 1 Sungai Raya, Kubu Raya, ini.
Aktivitas keorganisasian Anto terus berlanjut ketika melanjutkan ke SMA Kemala Bhayangkari, Kubu Raya. Selain ikut berbagai ekskul dan organisasi di sekolah, ia juga aktif dalam organisasi luar sekolah.
“Saya menjadi ketua Forum Anak yang saya sinergiskan dengan agenda Genre ini,” tambahnya. Anto sendiri mulai aktif jadi pengurus Genre sejak tahun 2009.
Kesibukannya terbilang tinggi, namun nilai akademiknya terbilang memuaskan. Saat SMA, minimal rangking dua di kelas selalu digapainya. Waktu kuliah di jurusan Sastra Inggris STBA Pontianak, IPK 4 pun di tangan.
Anto punya cara sendiri mengakali agar nilai akademiknya tetap baik sembari aktif di berbagai kegiatan. Ia ikut sesi perkuliahan paling banyak hanya enam kali dalam setiap semesternya.
“Karena saya percaya bahwa esensi pendidikan bukanlah soal kehadiran,” tegasnya.
Bagaimana caranya? Ketika pertama kuliah dulu, ia mendapat nilai E untuk hampir semua mata kuliah.
“Jadi saya datangi dosen saya, saya tanya apakah hanya karena absensi saya buruk, akhirnya saya harus mengulang semua mata kuliah, padahal ujian dan nilai saya yang lain sebenarnya bagus,” cerita Anto.
Akhirnya kesepakatan dibuat dengan dosennya itu. Bahwa, ia boleh hanya masuk enam kali dalam satu semester asalkan nilai-nilainya untuk ujian atau tugas tetap baik.
“Jadi enam pertemuan itu saya benar-benar sungguh-sungguh, bila ada yang saya tidak mengerti akan saya tanyakan sampai benar-benar mengerti,” bebernya.
Dosennya setuju dan nilai Anto hingga sekarang tetap baik. “Cuma akibatnya kecemburuan sosial di kelas itu tinggi sekali,” kelakarnya sembari tertawa. “Tapi saya nggak pelit, kalau ada yang mau nyontek atau minta contekan, ya silahkan saja,” imbuhnya.
Meski begitu, bukan berarti ia selalu berhasil di bidang akademik. Memulai kuliah di Sastra Inggris sebenarnya tidak pernah masuk dalam rencananya. Awalnya Ia justru berencana hendak kuliah di Universitas Atmajaya Jakarta.
“Jadi waktu itu saya ikut sebuah kompetisi dan mendapat beasiswa untuk kuliah di sana jurusan Bio Tekhnologi Forensik,” kisahnya.
Namun ternyata beasiswa tersebut tidak ia ambil. “Ibu saya ingin saya ikut di IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri), ikut tes kemudian ternyata gagal,” ucap Anto.
Gagal masuk IPDN, Anto juga kehilangan peluang masuk ke universitas lainnya karena telah lewat masa pendaftaran masuk kuliah. “Jadi hanya STBA lah kampus yang mau menerima saya apa adanya kala itu,” kata Anto sembari tertawa menceritakan bagaimana ia memulai kuliahnya. “Bicara kecewa, tetap kecewa lah, tapi itu juga membuktikan bahwa gagal itu harus kita hadapi,” terangnya.
Berkuliah di D-3 Sastra Inggris telah ia tuntaskan tepat waktu. Tak cukup di situ, ia kemudian melanjutkan untuk mendapat gelar sarjana di Fakultas Pertanian Untan jurusan Teknologi Pertanian. Belum juga selesai pendidikan sarjananya, ia berencana mengambil tawaran berkuliah ke Amerika Serikat jurusan Public Health.
“Jadi kemungkinan nanti yang di sini mau cuti dulu sekitar 2 tahun, ke sana (Amerika Serikat). Nanti setelah itu, balik ke sini lanjut lagi,” tukasnya.
Pendidikannya yang tidak linear ini tidak menjadi masalah buat Anto. “Bagi saya one is not enough, kalau cuma sastra tidak cukuplah, jadi memang harus tambah yang lain,” kata dia.
Anto bercerita, ketika mengajukan visa ke Amerika Serikat untuk pertama kali, ia sempat ditolak US Embassy. “Alasannya pertama karena saya waktu itu berjenggot, kemudian karena nama saya cuma satu kata, jadi tidak ada nama keluarganya,” kenangnya. “Dan itu hangus uang pengajuan visanya Rp2 juta-an,” sesalnya.
Setelah mengajukan kembali untuk kedua kalinya, barulah akhirnya ia mendapatkan visa untuk masuk ke negeri Paman Sam tersebut. “Itu setelah saya lengkapi dengan surat rekomendasi langsung dari Menteri luar negeri dan Presiden ECOSOC-nya, dia emailkan dari US,” jelasnya.
Hasilnya, tidak tanggung-tanggung mendapat visa masuk ke Amerika Serikat yang berlaku hingga sampai lima tahun. “Padahal biasanya visa cuma sampai tiga bulan aja,” ungkapnya.
Lalu apa yang menarik dalam diskusi di New York kemarin? “Mereka tertarik dengan Islam di Indonesia, mereka bertanya juga soal demonstrasi kemarin, apa benar Islam di Indonesia anarksi ya, seperti itulah,” jelas Anto.
Ia juga menyebut banyak negara luar sangat kagum dengan Indonesia. Salah satunya dengan program mencegah perilaku seks sebelum pernikahan.
“Jadi mereka tertarik kok bisa kita bikin kayak gitu, karena di negara-negara itu seks itu lebih bebas asal aman, asal pake kondom, bahkan negara-negara seperti Iran atau Turki,” paparnya.
Tapi sebaliknya, menurut Anto, negara-negara lain justru punya kesadaran terkait pernikahan dini yang lebih baik. “Sebebas-bebasnya mereka tapi pernikahan dini mereka rendah, karena kesadaran mereka terhadap alat kontrasepsi tinggi,” tambahnya.
Namun, metode serupa tidak tepat diterapkan di Indonesia. Sebab, lanjut dia, negara-negara di sana liberal, beda dengan Indonesia yang masih kuat dengan nilai dan norma ketimuran.
“Saya percaya bahwa kampanye menolak seks sebelum menikah adalah metode yang paling tepat untuk menekan pernikahan dini di Indonesia,” pungkas Anto. (*)