eQuator.co.id – Saya ke Sumba lagi. Gara-gara perkawinan di Uluwatu, Bali, itu (lihat Disway edisi Minggu, 24 Juni 2018). Keesokan harinya saya tidak mendapat tiket ke Jakarta. Atau ke Surabaya. Semua penerbangan penuh. Pada hari terakhir liburan panjang itu.
Di bandara Ngurah Rai –yang keren itu— saya tidak tahu harus bagaimana. Atau ke mana. Lalu ingat sesuatu. Yang pernah membuat saya malu: tidak bisa menjawab pertanyaan orang Amerika ini.
Padahal saya sudah begitu sering ke Sumba. ”Saya ini jarang ke tempat rekreasi,” kilah saya.
“Setiap ke Sumba selalu ke pedesaannya. Untuk urusan sapi atau kaliandra atau penari langit atau solar cell. Bukan ke pantainya,” kata saya lagi.
Pertanyaan yang membuat saya malu itu adalah: benarkah hotel villa Nihi Sumba itu terbaik di dunia? Saya tidak bisa menjawab.
Terbaik di dunia? Di Sumba? Yang miskin itu? Yang gersang itu? Yang di NTT itu?
Ohh… ternyata memang ada buku yang terbit tahun lalu. Tentang daftar hotel-hotel terbaik di dunia.
Di situ, di halaman tengah, terpampang Nihi Sumba. Satu halaman penuh. Isinya foto-foto dan artikel.
Disebutkanlah: lembaga rating pariwisata Eropa, Travel+Leasure, memilih Nihi Sumba sebagai terbaik nomor 1 dunia. Untuk tahun 2016.
Uup… benarkah begitu? ”Saya harus ke sana,” kata saya dalam hati. Sekalian menemui teman-teman lama di Sumba. Untuk mendiskusikan lagi banyak hal di pulau ternak itu.
Saya pun mencari penerbangan ke Sumba. Ke kota yang mana pun ok: ke Tambulaka…yes. Di Sumba Barat Daya itu. Ke Waingapu pun nema problema. Di Sumba Timur itu.
Yang saya cari ketemu. Tiga jam lagi ada Wing Air ke Tambulaka. Go! Yes.
Hari itu saya akan mendarat di Tambulaka lagi: bandara yang duluuuu… terkenal. Gara-gara pesawat Adam Air (alm) kehilangan arah. Tidak tahu harus terbang ke arah mana. Akhirnya mendarat di Tambulaka.
Belum lagi sampai di Sumba saya sudah bertemu banyak teman. Di ruang tunggu bandara Ngurah Rai itu.
Ada wakil bupati Sumba Barat: Marten Ngoilu Toni. Lalu ada rombongan Abraham, anggota DPD dari NTT.
Ada anak muda bernama Bobby Lianto. Pemilik kebun coklat besar di Sumba Barat. Bersama ayahnya.
”Saya belum pernah berterima kasih pada pak Dahlan,” ujar Bobby.
Saya terpana. Berterima kasih untuk apa?
Ternyata ia punya real estate. Di Kupang. Sulit berkembang. Tidak ada listrik. Waktu itu. Untuk mendapatkannya harus beli trafo sendiri. Beli tiang sendiri. Beli meteran sendiri.
”Begitu pak Dahlan jadi dirut PLN langsung berubah. Kami bisa jualan rumah,” katanya.
Ayahnya diam saja. Memandang anaknya yang terus bercerita. ”Saya dulu pernah membenci ayah. Sampai saya lari ke Surabaya. Melanjutkan SMA di sana. Lalu masuk Universitas Petra Surabaya,” katanya.
Di saat Bobby remaja, sang ayah lebih banyak tidak di rumah. Urus kebun coklat di Sumba. Setiap pulang hanya marah-marah. Sering sampai menempelengnya.
”Pokoknya saya benci sekali pada ayah,” katanya.
Setelah tujuh tahun terpisah, Bobby kembali ke Kupang. Pendidikannya sudah tinggi. Sudah ditambah sekolah di Belgia.
Bobby sudah lebih dewasa. Ayahnya juga sudah lebih tua. Kebun coklatnya sudah jalan. Tidak harus lagi sering ke Sumba.
Tapi tiba di Kupang Bobby melihat ayahnya bertengkar dengan ibunya. Soal perusahaan yang merugi. Bobby membela ibunya. Sampai diitempeleng oleh ayahnya.
Kebencian pada sang ayah muncul lagi. Kali ini ia lawan ayahnya itu.
Lalu Bobby lari ke kamar: menangis. Sesenggukan. Di atas tempat tidurnya. ”Biar pun ayah salah tidak seharusnya saya tadi melawan ayah,” katanya dalam tangisnya.
Pintu kamarnya diketuk pelan. Ia mengira itu ibunya. Ketukan pintu ayahnya tidak begitu. Ketukan kasar. Disertai langsung buka pintu: untuk menghajar anaknya itu.
Bobby mengintip ke pintu. Dari balik jejari tangannya. Ternyata yang muncul sang ayah. Kali ini dengan raut menyesal. Bukan wajah yang garang.
Sang ayah lantas memeluknya. Sambil minta maaf. Bobby kian menangis. Kali ini tangis haru.
Kok seorang ayah yang garang kini minta maaf pada anaknya. Langsung muncul kebanggaan Bobby pada ayahnya. Hilanglah semua kebenciannya.
Ayahnya, yang ikut mendengarkan di depannya, tampak berlinang matanya. Ibunya juga. Ibunya, yang selalu berbahasa Mandarin dengan saya, ikut terharu.
Kisah itu sering jadi bahan kesaksiannya. Di forum-forum Full Gospel Business Fellowship International. Ayahnya ketua forum itu untuk NTT.
”Tiba di Sumba nanti pak Dahlan harus jadi tamu saya,” kata Bobby.
Ia mau terbang ke Kupang. Tapi aparatnya di Sumba Barat sudah ia hubungi semua.
Tentu saya tidak bisa jadi tamunya. Saya akan ke Nihi Sumba dulu. Yang tarif hotelnya ehm: Rp 25 juta satu malam. (dis)