Negara Agraris yang Impor Sayur, 90 Persen Bawang Putih Diimpor dari China

Ilustrasi.NET

eQuator.co.id – Pontianak-RK. Kemandirian ekonomi Indonesia sebenarnya jauh panggang dari api. Pasalnya, tak hanya barang-barang berteknologi, rakyat dari Sabang sampai Merauke masih menggantungkan asupan komoditi pangan berbentuk sayur-mayur dari luar negeri.

“Ya, untuk beberapa jenis sayuran kita memang impor. Terutama bawang putih, 90 persen lebih kebutuhan bawang putih nasional kita diimpor dari China. Wortel juga banyak diimpor,” ujar Ketua Bidang Agribisnis, Agro Industri, dan Kemaritiman Badan Pengurus Cabang Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPC HIPMI) Kota Singkawang, Dwi Nugroho, kepada Rakyat Kalbar, Minggu (17/7).

Diketahui bersama, kondisi ini sungguh miris. Tanah subur Indonesia yang kerap disebut negara agraris tak bisa dimanfaatkan untuk berdikari, untuk menanam komoditi sayur-mayur. Namun memang, persoalan ketergantungan ini tidak bisa diurai secara sederhana. Menurut Dwi, banyak masalah dalam pertanian nasional, termasuk di Kalbar.

Selain pertanian kita terlalu bergantung iklim, harga sayur impor juga lebih murah dari lokal. Hal itu, salah satunya karena kebijakan subsidi negara pengimpor.

“Di negara kita, subsidi yang diberikan relatif lebih kecil, contoh harga pupuk subsidi yang masih tinggi dan juga tidak ada perlindungan dari pemerintah ke petani apabila petani gagal panen. Penyuluhan tentang pola tanam yang baik dari pemerintah ke petani juga masih kurang,” ungkap Dwi.

Untuk problem iklim, khusus Kalbar, kebutuhan sayur-mayur dataran tinggi tetap dipasok dari pulau-pulan lain atau impor. Sebab, lanjut dia, Kalbar terletak di dataran rendah. Sementara, sayur-mayur seperti kentang, kol, kembang kol, wortel, dan brokoli, tumbuh di dataran tinggi.

“Untuk kentang, Kalbar banyak dipasok dari Jawa Tengah (Dieng) dan Jawa Barat (Pengalengan). Untuk kol, kita dipasok dari Sumatera Utara, Medan (Brastagi). Untuk bawang merah dari Brebes, Nganjuk, dan Probolinggo,” jelasnya.

Untuk komoditas bawang putih dan wortel, Kalbar impor dari China dan Australia. Begitupun bawang bombai. Diimpor dari China, Selandia Baru, dan Australia.

Dwi menyampaikan, sektor pertanian sebenarnya sangat memiliki dampak yang besar pada Pendapatan Domestik Bruto (GNP), penyerapan tenaga kerja, dan pengurangan angka kemiskinan, terutama di pedesaan.

“Menurut saya, pemerintah harus meningkatkan subsidi pertanian yang sekarang sekitar 2 persen sampai 3 persen dari APBN menjadi minimal 8 persen dan 10 persen dari APBN. Yang sekarang ini sangat kecil,” tukas dia.

Parahnya, sudahlah kecil, subsidi yang diberikan pemerintah tidak jarang diselewengkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. “Saya menyaksikan langsung itu. Banyak contoh penyelewengan program oleh oknum-oknum. Hampir seluruh Indonesia. Petani yang harusnya dapat pupuk bersubsidi akhirnya tidak mendapatkannya, karena pupuk bersubsidi dijual ke perkebunan,” beber Dwi.

Di sisi lain, kata dia, tidak ada yang mustahil jika ingin sektor pertanian Indonesia kuat. Begitupun, tidak ada kata terlambat, jika ingin merubah kondisi perekonomian ke arah lebih baik.

Ia menyarankan pemerintah memulai dari lima berikut ini. “Saran saya, pertama, pemerintah wajib membeli hasil komoditas utama petani, seperti beras, bawang merah, kentang, dan lain sebagainya. Harga komoditas turun tajam saat panen raya. Perpendek rantai distribusi. Kedua, pemerintah harus memberikan asuransi kepada petani berupa ganti rugi jika terjadi gagal panen. Caranya, pemerintah bisa bekerja sama dengan perusahaan asuransi yang ditunjuk,” paparnya.

Kemudian, permudah kredit untuk petani. Karena kredit terhadap petani selama ini kurang optimal. Sebab, aturan Perbankan terlalu ketat. Keempat, pemerintah dapat menggandeng secara aktif perguruan-perguruan tinggi, yang kompeten dalam hal pembuatan bibit unggul secara mandiri untuk diajarkan kepada petani.

“Bikin penelitian-penelitian, pemerintah yang bayar. Kemudian, tambahkan lebih besar dana subsidi untuk infrastruktur, jalan, gudang, dan lainnya,” tutup Dwi.

Laporan: Fikri Akbar

Editor: Mohamad iQbaL