eQuator.co.id – Hari itu saya sahur nasi porang. Habis sahur saya baca WA dari nomor tanpa nama. Bunyinya begini:
Alhamdulillah Ananda Hapsa yang dulu Abah bantu sebagai perwalian untuk student loan, kini telah lulus dari jurusan Entrepreneurship Surya University dengan predikat Cum Laude (IPK 3.55). Berikut terlampir CV Ananda, barangkali dapat membantu pihak yang mencari SDM yang komunikasinya bahasa Inggris, Arab (Jerman: Pasif).
Salam Hormat Ananda
Romadhon Hapsa Nurrohman.
***
Agak lama saya mengingat siapa ia. Soal perwalian? Perwalian seperti apa?
Tapi saya merasa tidak sopan. Kalau saya mengaku tidak ingat siapa ia. Tapi saya juga penasaran: kok hebat banget anak ini. Cumlaude. Dengan IPK 3,55. Sungguh ingin tahu siapa ia. Dari daerah mana.
Saya carilah ia lewat pertanyaan yang umum dulu. Saya balas WA itu dengan satu pertanyaan pendek: Sekarang Hapsa tinggal di mana?
Jawaban pertanyaan itu mungkin akan bisa membantu saya mengenal siapa ia.
Tapi jawabannya terlalu singkat. “Di Duren Sawit, Jaktim, Abah”.
Duren Sawit? Rasanya saya tidak punya jejak apa-apa di Duren Sawit. Kecuali ada kantor PLN di sana. Yang dulu sering saya datangi.
Saya harus pancing lagi dengan pertanyaan berikutnya: “Di Duren Sawit bersama orang tua?“
Itu untuk mengetahui apakah ia anak jalanan dulunya. Memang beberapa anak jalanan saya temukan di Monas dulu. Saat saya masih tiap hari senam di sana. Beberapa berhasil sekolah. Beberapa kabur lagi dari sekolah.
Tapi kalau jawabnya ‘bersama orang tua’ barulah saya bingung. Hapsa itu yang mana ya? Yang orang tuanya kena PHK itu?
Dan jawab Hapsa ternyata yang kedua itu. Hanya saja ada tambahan keterangan yang lebih mengaburkan ingatan saya. “Adik saya kuliah di informatika ITS. Kos di Gebang Kidul.”
Tambahan info itu mungkin ia anggap relevan karena saya orang Surabaya. Tapi justru bikin ingatan saya lebih kabur.
Saya belum mau mengaku ‘lupa semuanya’. Saya pancing dengan satu pertanyaan lagi.
Yang seperti itu sering saya lakukan pada siapa pun yang kirim WA. Yang tidak menyebut jati diri. Yang namanya di HP saya mungkin terhapus. Akibat saya ganti HP.
Begitu banyak mantan anak buah di PLN atau di BUMN yang kirim WA. Mereka tentu mengira saya masih menyimpan nama dan nomor HP mereka. Saya juga merasa tidak sopan kalau langsung bertanya: siapa ya Anda?
Untuk mengetahui jejak mereka biasanya WA itu saya jawab dengan pertanyaan pancingan: sekarang sibuk apa? Atau sekarang lagi di mana?
Rupanya Hapsa pun bisa menebak kalau saya lagi cari-cari identitasnya.
Hapsa pun bercerita:
“Waktu itu Ananda siswa SMAN 12 Jakarta. Ananda ketemu Abah di lapangan Monas sedang senam. Ananda minta pengajuan perwalian di Surya University. Sebentar Ananda kirim fotonya bersama Abah”.
Nah, ini baru ingat. Sedikit.
Zaman itu kalau saya lagi senam selalu saja ada yang menunggui. Di kejauhan. Tapi dari body language mereka saya tahu: menunggu saya selesai senam.
Biasanya ada seribu urusan yang mereka ajukan.
Di antara mereka itu ada juga yang remaja. Saya lupa nama-nama mereka. Sering ada remaja seperti itu.
Yang Hapsa itu minta dibantu. Ia memenuhi syarat masuk Universitas Surya. Tapi tidak punya uang. Orang tuanya sudah lama bangkrut. Kontraktor bangunan. Ludes. Semua rumahnya sudah dijual. Demikian juga tanah-tanahnya. Habis. Tinggal di rumah kontrakan.
Hapsa tidak minta uang.
Ia ‘hanya’ minta saya sebagai penjamin. Ada pinjaman mahasiswa. Disebut Kredit Tanpa Agunan (KTA). Yang tidak perlu mengembalikan. Asal: nilainya tinggi terus. Tidak pernah menurun.
Saya tandatangani saja pernyataan penjaminan itu.
Beres. Tidak pernah ada kontak lagi. Saya pun sudah lupa. Tertindih ribuan persoalan yang silih berganti.
Suatu saat bagian keuangan saya, Rina, ditelepon Bank Mandiri. Menagih pelunasan KTA. Rina bingung. Ini pasti penipuan. Tidak mungkin bosnya punya kredit KTA. Untuk apa? Anak-anaknya sudah berumah tangga. Tidak mungkin juga ada anak yang abu-abu.
Waktu ditanya Rina, saya juga sangat tegas: tidak pernah punya pinjaman bank seperti itu. Rina pun ngotot ke bank. Tidak mau bayar.
Bank akhirnya berhasil menemukan dokumen. Yang ada tanda tangan saya. Bahwa saya menjamin KTA seseorang.
Rina kalah bukti. Nilai mahasiswa itu menurun. Sesuai dengan akad kredit, penjamin harus bayar kreditnya.
Ya… bayar saja, kata saya pada Rina. Meski jumlahnya membuat Rina mencak-mencak.
Saya pikir persoalan selesai. Maksud saya anak itu akhirnya selesai –dikeluarkan dari universitas.
Habis itu lupa lagi. Apalagi begitu banyak ‘masalah’ yang kemudian harus saya urus siang-malam.
Kalau saja Hapsa tidak kirim WA habis sahur kemarin saya tidak akan pernah ingat lagi semua itu.
Tentu saya bersyukur Hapsa ternyata tidak dikeluarkan dari universitas. Bahkan bisa lulus dengan cumlaude. Dengan IPK 3,55.
Tapi saat saya sudah hampir selesai menulis naskah ini, muncul penasaran saya: mengapa waktu itu nilainya turun? Sehingga penjamin harus melunasi kreditnya?
Saya pun menghentikan tulisan ini. Untuk mengirim WA ke Hapsa berikut ini:
“Waktu kuliah dulu nilai Anda sempat turun. Kenapa ya?”
Jawabnya:
“Iya Abah, waktu itu manajemen waktu Ananda mungkin kurang baik antara kegiatan akademik, non akademik, dan kegiatan di masjid. Namun dari situ jadi pelajaran dan alhamdulillah setelah itu bisa dijaga kembali nilainya.”
Saya tidak bertanya lebih lanjut. Saya juga tidak menjelaskan konsekuensi atas penurunan nilai itu. Rupanya ia tidak tahu konsekuensi tersebut.
Tapi saya diberi tahu: selama kuliah itu ia memang tinggal di masjid. Untuk menghemat. Ayahnya kian sulit: terkena stroke. Jarak masjid itu 10 menit naik motor dari kampus. Ia masak sendiri di masjid itu. Dengan beras sumbangan dari jamaah masjid.
Selama di masjid itu ia berhasil menghafal 15 juz (separo) Al Quran. Padahal waktu tamat SD Al Azhar 13 Rawamangun dulu baru hafal 1 juz.
Kini Hapsa kembali jualan nasi kotak. Yang dimasak oleh ibunya. Yang resepnya dari neneknya. Sejak ayahnya bangkrut ibunya memang jualan nasi. Itu terjadi saat Hapsa masih kelas 2 SMA. “Sambil sekolah saya jualan nasi yang saya bawa dari rumah,” kata Hapsa.
Setelah tamat jurusan kewirausahaan dengan nilai cumlaude ini Hapsah kembali jualan nasi. Tapi caranya sudah ia permodern. Sudah punya aplikasi internet: makanmentes.com.
Jualan nasi tentu satu jalur dengan mata kuliahnya. Meski begitu banyak juga orang sukses di luar ilmu yang dipelajarinya. (Dahlan Iskan)