eQuator.co.id – Banyak yang punya anak autis. Tapi tidak seperti Nana. Yang habis-habisan. Mencarikan jalan keluar. Agar autis anaknya hilang selamanya.
Nana tinggalkan pekerjaannya. Dia lakukan penelitian. Dia temui banyak ahli. Dia baca banyak buku. Banyak artikel.
Berhasil. Dia temukan ramuan yang cocok untuk menyembuhkan anak laki-lakinya itu.
Ramuan itu dirahasiakannya: hasil kombinasi biji-bijian. Yang dia olah menjadi susu bubuk. Dia minumkan ke anaknya itu tiap hari. Sebagai makanan utama sang anak.
Nana berharap banyak pada anaknya itu. Apalagi setelah Nana diceraikan oleh suaminya: seorang pengacara.
Setelah anaknya sembuh, Nana baru bisa tenang. Lantas berhasil kawin lagi. Dapat anak lagi. Perempuan. Normal. Lalu cerai lagi.
Saya bertemu Nana setelah itu. Setelah berstatus janda untuk yang kedua kalinya. Waktu itu umurnya masih 35 tahun. Kulitnya bersih terang. Wajahnya tampak cerdas. Kacamatanya agak tebal. Khas orang kebanyakan membaca. Model kacamatanya cocok dengan bentuk wajahnya yang agak bulat.
Dari nada bicaranya kelihatan jelas: Nana seorang yang antusias. Penuh semangat. Tapi juga sangat sopan.
Nana menemui saya untuk konsultasi. Mengenai usaha barunya: memproduksi susu bubuk untuk anak autis.
Saya mendengarkannya dengan tekun. Setengah kagum. Pada jalan hidupnya. Pada nasibnya sebagaiĀ wanita. Pada kegigihannya.
Tentu saya tidak perlu memberi saran apa-apa. Saya percaya Nana sudah punya segala-galanya: produk yang orisinal, tekad yang membara, dan usia yang masih muda.
Nana pun pulang dengan hati yang mantap: memproduksi susu bubuk biji-bijian. Untuk anak autis.
Saya sering menghubungi Nana. Menanyakan kemajuan usaha kecilnya.
Lalu hubungan itu putus. Saya disibukkan dengan urusan-urusan yang tidak masuk akal itu. Usaha sosiopreneur saya lainnya juga langsung terhenti.
Sampai datanglah tahun 2018. Awal tahun tadi Nana menemui saya lagi. Sudah begitu lama tidak ada berita. Rasanya Nana tidak bertambah umurnya. Tatapan matanya tetap tajam cendekia. Jilbabnya kian bagus modelnya.
Masih tetap menjanda. Dengan dua anak yang sudah mulai beranjak dewasa. Saya belum pernah melihat anaknya itu. Baik yang autis maupun adiknya.
Tentu saya langsung menanyakan ini: bagaimana perkembangan susu bubuk autisnya. Nana tidak segera menjawab. Wajahnya menunduk. Matanya sembab.
Saya tahu apa yang terjadi di balik kesedihannya itu. Nana menghentikan usahanya.
Mengapa? Beberapa usaha makanan temannya digerebek. Tidak punya izin. Ilegal. Jadi perkara. Jadi pemberitaan media.
Nana tidak mau usahanya digerebek seperti itu. Nana pilih menghentikannya. Kepada pelanggannya Nana beralasan: lagi melakukan perbaikan alat-alat produksi.
Nana tahu itu bohong. Tapi dia ingin menyelamatkan resep rahasianya. Untuk masa depannya.
Tapi Nana juga tidak tahu: kapan bisa produksi lagi. Dengan izin yang resmi. Agar tidak digerebek.
Untuk dapat izin, alat-alat produksinya harus baik. Harus standar untuk peralatan produksi makanan dan minuman. Yang lebih ketat dibanding produksi apa pun.
Berarti perlu modal besar. Perlu lokasi dan bangunan yang memenuhi syarat pula.
Nana hampir saja menyerah: menjual resepnya itu. Ke perusahaan asing. Perusahaan susu dari Kanada.
Nana sudah sering dihubungi. Rupanya perusahaan Kanada itu sempat memonitor pemasaran susu bubuk milik Nana. Yang menjadi pesaing di kelasnya.
Itulah sebabnya Nana menemui saya. Minta pendapat saya.
Saya tidak sampai hati kalau Nana harus menyerah ke perusahaan asing. Itu melawan hati nuraninya.
Maka saya pun mencarikan jalan keluar. Saya ajak dia meninjau lokasi yang saya incar.
Tiba-tiba saya mendengar ini: Nana meninggal dunia. Terkena kanker pankreas. Yang tidak pernah dia rasakan. Kalah dengan antusiasmenya.
Saya pun melayat ke rumahnya. Setelah saya menjadi pembicara di seminar internasional Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia.
Tiba di rumahnya saya disambut seorang lelaki tua di kursi roda. ”Saya ayah Nana,” katanya lirih. ”Nama kita sama, Dahlan,” tambahnya.
Oh makanya nama lengkap Nana adalah Nana Dahlan. Ia seorang pensiunan jaksa.
Tapi jenazah Nana lagi dibawa ke masjid. Siap-siap dimakamkan setelah salat dzuhur.
Saya pun ke masjid. Berdoa di dekat kerandanya.
Lalu ada anak muda yang memperkenalkan diri. ”Nama saya Rangga,” katanya.
Itulah anak Nana yang dulunya autis. Sekarang smester pertama di fakultas hukum sebuah perguruan tinggi swasta.
Dari gaya bicaranya masih terlihat sisa-sisa autisnya. ”Mengapa memilih fakuktas hukum?,” tanya saya.
”Saya mau jadi jaksa. Saya akan hadapi bapak saya di sidang-sidang,” jawabnya.
Terasa pahit kata-katanya. Begitu tinggi pembelaan pada ibunya.
”Senang di fakultas hukum?” tanya saya lagi.
”Tidak,” jawabnya.
”Kesenangan Anda apa?,” tanya saya.
”Menciptakan permainan game di komputer,” jawabnya.
”Pakai sofware apa?,” tanya saya lagi.
”Yang gratisan. Seperti Opentoonz, Krita, Shotcut dan Blender 3D,” jawabnya.
Ia pun sangat antusias membicarakan software apa saja. Di penciptaan game itu. Yang saya tidak sepenuhnya mengerti.
Begitu cerdas anak ini. Saya menjadi was-was: jangan-jangan lingkungannya tidak memahami kecerdasannya. (dis)