Mudiknya Pahlawan Devisa Indonesia, Disambut Macet Satu Kilometer di Tebedu

Rupiah Sempat ‘Langka’

SEMRAWUT. Aktivitas bongkar muat barang di zona bebas yang merembet ke area border Entikong, Sanggau, Sabtu (2/7). Akibatnya mengganggu lalu lintas pemudik yang menggunakan kendaraan pribadi maupun angkutan umum dalam satu lajur berlawanan arah. OCSYA ADE CP

eQuator.co.id – Entikong-RK. Pada hari-hari menjelang lebaran 2016, arus mudik di perbatasan Indonesia-Malaysia, tepatnya Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Entikong, Sanggau, luar biasa padat. Seperti terjadi Sabtu (2/7) dan Minggu (3/7), antrean kendaraan mengular hampir sepanjang satu kilometer dari arah Tebedu, Malaysia, menuju Border Entikong.

Deretan panjang pemudik, yang notabene tenaga kerja Indonesia (TKI), maupun warga setempat menunggu pemeriksaan pun terjadi di Pos Imigrasi yang melayani cap paspor para pelintas batas dari arah Malaysia ke Indonesia. Berbeda dengan arah sebaliknya yang lengang. Lepas dari border, arus lalu lintas barulah lancar.

Setidaknya, dalam sepekan terakhir ini, Imigrasi Entikong mencatat hampir 9.000 orang yang masuk ke wilayah Indonesia melalui PLBN Entikong. Dari catatan Imigrasi Entikong, jumlah tertinggi orang yang melintasi perbatasan terjadi pada Sabtu (2/7) sebanyak 1.948 orang. 90 persen-nya merupakan warga negara Indonesia (WNI). Data ini diamini Kepolisian Sektor Entikong.

“Pembaharuan data tersebut dikirim setiap hari oleh pihak Imigrasi kepada kami sebagai wujud sinergitas lintas sektoral di wilayah perbatasan,” ujar AKP Kartyana, Kapolsek Entikong, di kantornya, Minggu (3/7).

Aktivitas bongkar muat barang di zona bebas yang merembet ke area Border Entikong juga menjadi salah satu penyebab lumpuhnya lalu lintas. Barang yang dibongkar muat ini sedianya merupakan barang belanjaan warga yang memegang Kartu Identitas Lintas Batas (KILB). Pemegang KILB memang berkesempatan untuk belanja di Malaysia dengan batasan maksimum RM600 perorang setiap bulannya. Bea masuk juga dibebaskan.

Meski begitu, terindikasi KILB disalahgunakan dengan modus titipan dari pengusaha dan Si Pemegang KILB mendapat fee untuk setiap barangnya. Sehingga, terjadilah penumpukan barang-barang bawaan mereka di area Border.

Kepadatan ini diperparah kondisi PLBN yang masih proses pengerjaan. Lajur lalu lintas memang terpaksa direkayasa dua arah.

Meski demikian, aparat berwenang di sana terlihat ketat mengawasi dan memeriksa para pelintas batas. Petugas Bea dan Cukai dibantu kepolisian memeriksa barang bawaan melalui alat pemindai maupun secara manual, untuk mengantisipasi masuknya barang berbahaya seperti Narkoba dan lainnya.

“Khusus wilayah Border itu kewenangan dari kepabeanan, karantina, dan imigrasi. Kita sifatnya hanya menjalankan fungsi Kamtibmas dengan mem-back up pengawasan dan pengamanan di wilayah Perbatasan,” ujar Kartyana.

Salah satu bantuan itu dengan mendirikan pos komando di Border yang diikuti pemeriksaan terhadap seluruh kendaraan roda empat yang melintas dari arah perbatasan menuju Indonesia. Pemeriksaan tersebut dilakukan di pos yang terletak di depan Markas Polsek Entikong. Setiap kendaraan yang melintas dari perbatasan diperiksa satu persatu kelengkapan administrasinya. Selain itu, setiap barang bawaan penumpang di bagian bagasi juga diteliti.

Untuk diketahui, Kartyana melanjutkan, aturan dalam Border Trade Agreement (BTA) mengizinkan perdagangan tradisional hanya untuk dua kecamatan, Entikong dan Sekayam. Hal itu juga diatur dalam perjanjian Sosek Malindo.

“Jadi, jika kita temukan barang-barang asal Malaysia yang diduga melanggar aturan tidak bisa kita amankan. Kita kembalikan ke pihak berwenang di perbatasan. Kecuali kalau melewati dua kecamatan itu, maka kepolisian di sana yang berhak mengamankan,” ungkapnya.

Sementara itu, salah seorang penyedia jasa angkutan barang di Entikong, Beni mengatakan, dalam sehari 160 jenis kendaraan roda empat yang melakukan aktivitas bongkar muat di area zona bebas dan border. Kendaraan-kendaraan itu, selain milik pemegang KILB, juga termasuk kepunyaan penyedia jasa angkutan barang yang dikontrak oleh pengusaha.

“Kami hanya pengeret (penyedia jasa angkutan dan bongkar muat, red). Mobil-mobil pengeret ini ada dua shift. Hari ini ship A besok B. Satu shift-nya ada 160 mobil yang boleh bongkar muat di sini dengan kondisi seperti ini,” tutur pria berusia 38 tahun asal Balai Karangan itu.

Beni dan kawan-kawannya mengais rupiah dengan jasa yang disediakannya. Setiap barang yang dimuat, diangkut lalu dibongkar, dinilai dengan harga Rp5-10 ribu peritem.

“Seharian kerja kami bisa dapat sekitar Rp400 ribu,” ujarnya. Beni berharap pembangunan PLBN segera kelar. Dengan demikian, aktivitas perekonomian masyarakat perbatasan dapat maju dan berkembang. “Kita menunggu saja. Mudah-mudahan pembangunan perbatasan cepat jadinya, karena lihatlah kondisi di sini becek-becek dan berlumpur,” paparnya.

Menilik penghasilan Beni, wajar saja perbatasan disebut sebagai beranda terdepan Negara dan menjadi idaman para pengais rupiah. Nilai perekonomian kawasan tersebut sangat berpotensi jika segala hal dilakukan sesuai peraturan setempat.

Suasana terminal bis Entikong juga tak kalah ramai menjelang lebaran. Para pemudik, pekerja migran di Malaysia, yang berasal dari berbagai kabupaten di Kalbar masih menggunakan jasa angkutan umum ini. Petugas Dinas Perhubungan Kabupaten Sanggau pun turun langsung melakukan pemeriksaan terhadap kelayakan kendaraan maupun kelengkapan surat menyurat lainnya. Tentu, agar para pemudik sampai dengan selamat ke tempat tujuan.

MONEY CHANGER KEHABISAN RUPIAH

Di sisi lain, tingginya pemudik dari Malaysia asal Kalbar juga dapat diperkirakan dari pantauan penukaran uang di setiap Money Changer di Kota Pontianak. Pekan lalu, harga jual ringgit Malaysia (RM) mencapai Rp3.300-Rp3.400. Namun, Senin (4/7) siang, harga jual RM merosot hingga di harga Rp3.180. Jatuhnya mata uang jiran itu tentu dipicu melonjaknya permintaan penukaran RM ke rupiah.

Meski harga jual merosot, tak membuat warga enggan menukarkan semua RM-nya. Bahkan, salah satu Money Changer di kawasan Pontianak Kota mengaku kehabisan stok rupiah.

“Tadi waktu saya jual di Money Changer Jalan Diponegoro, kata penjaga di sana rupiah habis. Masih nunggu ngantri di Bank. Padahal, itu masih awal,” tutur Kurnia Irawan, warga Pontianak Barat.

Irawan merupakan pekerja migran di Sarawak. Baru sehari tiba di Pontianak dengan membawa cukup banyak RM. Rencananya, ia mau menjual semua RM-nya untuk diberikan kepada keluarga. Karena di Money Changer langganannya kehabisan rupiah, Irawan akhirnya menjual di Money Changer bilangan Jalan Tanjung Pura dengan harga yang berbeda dari sepekan lalu.

“Lumayan turunnya sekarang. Padahal belum lama ini saya kirim ke keluarga kemudian mereka jual. Tapi mau tak mau lah, lebaran orang butuh uang semua,” tukasnya.

Asep, pekerja migran asal Bandung mengatakan, pekan lalu ia menjual semua RM yang dibawanya. Harga jualnya sekitar Rp3.300 per RM.

“Saya sudah 10 tahun bekerja di Sibu Malaysia, makanya paham kalau dekat-dekat nak lebaran pasti harga RM turun, makanya saya tukar jauh-jauh hari,” tuturnya singkat saat ditemui di Bandara Internasional Supadio Pontianak, hendak terbang ke Bandung transit Jakarta bersama anak dan istrinya.

 

Laporan: Ocsya Ade CP

Editor: Mohamad iQbaL