Momentum Tinggalkan Cara Kuno Mengajar Matematika

Menjadikan Siswa Seperti Mesin

ilustrasi : pixabay.com

eQuator.co.idJAKARTA – RK. Anjloknya nilai ujian nasional (unas) matematika di jenjang SMP maupun SMA tahun ini, menjadi warning. Para guru matematika dituntut untuk memperbaiki metodologi pembelajaran di kelas. Pembelajaran matematika yang membuat siswa seperti mesin, sudah kuno dan harus ditinggalkan.

Gru Besar Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Unesa Prof Siti Maghfirotun Amin menuturkan sejak 2000 lalu di kampusnya sudah dikenalkan pendidikan matematika realistik Indonesia (PMRI). Melalui konsep PMRI itu, anak-anak diminta menyelesaikan soal berbentuk cerita dan dekat dengan kehidupan mereka sehari-hari.

Dalam mengerjakan soal tersebut, anak-anak dibebaskan menggunakan caranya sendiri-sendiri. Setelah itu baru sang guru membimbing dan mengarahkan ke konsep matematika formal. ’’Jadi ada ruang menumbuhkan kreativitas pada anak-anak. Selama ini anak-anak dilatih seperti jadi mesin,’’ katanya kemarin (29/5).

Pada pembelajaran matematika yang umum berlaku saat ini, Siti mengatakan soalnya seperti ini maka mengerjakannya seperti ini. Guru tidak pernah memberikan penjelasan sehingga siswa ikut bernalar dalam menghadapi sebuah soal matematika. ’’Belajar matematika itu tidak seperti membaca resep,’’ katanya.

Menurut Siti yang menjadi persoalan selama ini soal ujian pada umumnya adalah pilihan ganda. Pada soal jenis ini, bagaimana cara menalar dalam mengerjakan soal tidak diperlukan. Yang penting jawabannya tepat. Sehingga dalam pembelajaran sehari-hari, guru menerapkan cara singkat atau sering disebut smart solution. Padahal cara ini tidak menumbuhkan nalar peserta didik.

Menjadi persoalan ketika tahun ini Kemendikbud memasukkan soal matematika yang menuntut siswa untuk bernalar. Siswa menjadi kebingungan untuk menjawab soal yang karib disebut higher order thinking skill (HOTS) itu. Ke depan Siti berharap guru harus paham cara mengaplikasikan konsep matematika sehingga dekat dengan persoalan sehari-hari siswa.

’’Matematika tidak disukai karena siswa tidak mengerti fungsinya. Opo… iki (apa ini, Red),’’ jelasnya. Sebaliknya ketika anak-anak disuguhkan dengan aplikasi matematika yang dekat dengan kehidupan sehari-hari, maka anak-anak bisa menjadi senang terhadap pelajaran matematika.

Guru matematika sekaligus peserta guru garis depan (GGD) di SMPN 3 Kendawangan, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat Neni Restiana mengakui bahwa soal matematika di unas SMP tahun ini berbeda dengan tahun sebelumnya. Pada unas tahun ini, banyak soal yang untuk menemukan jawabannya, siswa butuh beberapa langkah pengerjaan. ’’Siswa tidak langsung tahu maksud dari soal. Sehingga siswa kesulitan dalam menentukan maksud soal tersebut,’’ jelasnya.

Ke depan dia mengatakan guru butuh pembimbingan ekstra dalam pengerjaan soal tipe seperti itu. Setelah itu dalam pembelajaran sehari-hari, siswa juga dibiasakan latihan soal-soal matematika yang menuntu penalaran lebih itu. Untuk menyiapkan siswa menghadapi unas tahun depan, Neni mengatakan guru bisa menyiapkan jam tambahan. Jam tambahan ini khusus untuk membedah soal-soal yang membutuhkan nalar tingkat tinggi.

Ketua Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Ali Mahmudi menuturkan kebijakan Kemendikbud menyisipkan soal HOTS atau penalaran patut diapresiasi. Apalagi hanya sepuluh persen atau empat butir dari 40 total soal.

Sebab soal seperti itu mampu mengukur kemampuan berfikir secara menyeluruh. Seperti menganalisis, evaluasi, sampai mengkreasi. ’’Kemampuan ini harus dimiliki siswa untuk survive menghadapi tantangan masa depan,’’ jelasnya. Ali berharap soal HOTS atau penalarangan seperti itu diharapkan terus ditingkatkan setiap tahunnya.

Tujuannya adalah untuk merangsang guru supaya mengajarkan kemampuan bernalar kepada siswa dalam mata pelajaran apapun, termasuk matematika. Dia menjelaskan guru sudah seharusnya mengedepankan aktivitas siswa dalam mengeksplorasi suatu konsep. Kemudian pembelajaran yang bersifat terbuka dengan aktivitas pemecahan masalah dengan jawaban atau strategi tidak tunggal.

Ali menjelaskan mulai tahun ini Pusat Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk) Kemendikbud menginisiasi penyusunan buku mata pelajaran yang lebih mengakomodasi pengembangan kemampuan bernalar siswa. ’’Kemendikbud menyebutnya sebagai buku mata pelajaran masa depan,’’ jelasnya. Dia menjelaskan tahun ini buku-buku mata pelajaran masa depan mulai disusun.

Kepala Pusat Penilaian Pendidikan Kemendikbud Moch. Abduh menuturkan terkoerasiknya nilai unas SMP maupun SMA tahun ini tak lepas dari perubahan moda ujian tahunan itu. Dari semua ujian berbasis kertas, kini menjadi ujian berbasis komputer. ’’Penyebab lainnya karena ada peningkatan tingkat kesulitan soal,’’ jelasnya.

Menurut dia baik siswa maupun guru, ada kemungkinan belum terbiasa menghadapi soal penalaran. Menurut dia yang terpenting dilakukan saat ini adalah segera dilakukan peningkatan kemampuan dan komeptensi guru. Khususnya terkait mengajarkan soal-soal penalaran kepada siswa dalam pembalajaran sehari-hari.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia Heru Purnomo menuturkan jebloknya hasil UN SMP untuk bidang study matematika dan IPA disebabkan oleh beberapa faktor. Diantaranya diterapkannya soal-soal C 4 atau analisis yang bagian dari pembelajaran berkonten nalar tinggi (HOTS).

”Satu sisi adalah upaya pemerintah untuk memperbaiki tingkat pemahaman siswa agar menjadi lebih baik. Tapi sayangnya pembelajaran HOTS belum dilakukan oleh mayoritas guru Indonesia didalam kelas, dan baru di sekolah sekolah yang favorit,” kata Heru pada Jawa Pos, kemarin (29/5).

Dia menuturkan mayoritas siswa kelas IX yang mengikuti unas itu masih menggunakan kurikulum 2006 yang menggunakan pendekatan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Sedangkan pendekatan HOTS diterapkan untuk kurikulum 2013.

”Sebagian besar kelas IX SMP mayoritas belum gunakan kurikulum 2013. Masih pakai KTSP masih mengunakan pendekatan LOTS, low order thinking skill,” ungkap Heru. Jadi para siswa tentu saja mengalami kesulitan saat mengerjakan soal unas. Karena mereka tidak mendapatkan pelajaran yang diujikan saat unas.

Dia menuturkan perlu ada pelatihan massif kepada para guru terkait dengan materi HOTS. Berkaitan dengan itu, pendanaan di Kemendikbud tentu juga harus diperkuat. Meskipun alokasi dana pendidikan 20 persen dari APBN tapi dana it tersebar di kementeria atau lembaga lain. ”Harus berikan pelatihan pada gurunya pada soal HOTS. Agar guru bisa imbaskan kepada siswanya dengan pembelajarn di kelas,” tegas dia. (Jawa Pos/JPG)