Misteri ‘Hujan Panas’

ilustrasi.net

eQuator.co.id – Di berbagai belahan dunia, lumrah kisah-kisah berbau mistis membayangi obrolan dari mulut ke mulut atas sejumlah peristiwa, termasuk lah kecelakaan lalu lintas di Jalan Trans Kalimantan. Kemudian, juga ada aturan adat tersendiri di kawasan tersebut.

Warga di KM 19 Desa Jawa Tengah, Ambawang, Kubu Raya, punya pertanda tersendiri akan kecelakaan lalu lintas yang bakal terjadi di dekat kawasan pemukiman mereka. “Cuaca bagus, kemudian hujan gerimis. Setelah itu, terang lagi panas menyengat, pasti ada kecelakaan. Warga di sini tinggal menunggu saja untuk menyiapkan pertolongan,” tutur pemilik bengkel las setempat, Juhri, Minggu (24/7).

Imbuh dia, “Kalau tidak percaya, coba tanyakan saja dengan warga di sini. Pasti demikian”.

Apa yang dikatakan Juhri juga diyakini warga di Jalan Trans Kalimantan lainnya. Rakyat Kalbar yang meneruskan penelusuran singgah di Dusun Sangku, Desa Pancaroba. Sempat ngobrol-ngobrol dengan Kepala Dusun setempat, Adrianus.

Istrinya membenarkan mitos ‘hujan panas’ yang diceritakan Juhri.

“Itu benar tu. Kalau sudah seperti itu, pasti kecelakaan. Apalagi hari Jumat,” ungkap Mamak Riska, karib dia disapa.

Tambah dia, “Sudah sering seperti ini. Orang-orang juga mempercayai hal itu. Kita juga bingung kenapa bisa”.

MINTA ZONA SEKOLAH

Sementara, Adrianus bercerita tentang peristiwa kecelakaan beberapa bulan lalu. “Korbannya dua orang anak Sekolah Menengah Umum, yang satu meninggal di tempat. Yang satu lagi masuk rumah sakit, lalu meninggal juga,” terangnya.

Namun, menurut dia, kecelakaan lalu lintas tahun ini lebih sedikit pada tahun-tahun pertama mulusnya Jalan Trans Kalimantan. “Bahkan waktu warga keluar gang pun pernah terjadi kecelakaan. Maklumlah, masyarakat baru ngerasakan jalan mulus. Kadang-kadang ndak noleh kiri kanan, sopir kurang hati-hati,” ujar Adrianus.

Ia beranggapan kecelakaan yang terjadi merupakan takdir. “Kalau dah namanya musibah, ini orang gak bisa ngelak lagilah,” tegasnya.

Tapi memang kelalaian dari pengendara sering dipantaunya. Dari yang bawa kendaraan roda dua sampai roda enam. Yang paling mengkhawatirkan baginya adalah anak-anak di bawah umur yang diperbolehkan orangtuanya mengendarai sepeda motor seorang diri.

“Pada laju lagi kalau dah bawa motor. Kadang standing (berkendara sambil bergaya mengangkat ban depan,red) kaya’ di sinetron geng motor,” tukasnya sambil geleng-geleng kepala.

Walhasil, kata dia, sekolah di Desa Pancaroba yang terletak di pinggir Jalan Trans Kalimantan sebaiknya dibuatkan zona khusus. “50 meter lah sebelum sampai sekolah, supaya sopir-sopir bisa agak pelan,” harap Adrianus.

Ia juga ingin di sekolah itu ada Satpam. “Yang kalau jam masuk dan pulang sekolah bisa menjaga dan ngatur anak-anak di jalan depan sekolah,” pintanya. Desa Pancaroba sendiri memiliki satu SD, satu SMP, dan satu SMA.

Terkait kecelakaan, Adrianus menyatakan, kepolisian sering patroli di Jalan Trans Kalimantan. “Ada kerja sama masyarakat dengan polisi. Mereka juga cepat datang kok kalau ada kecelakaan,” tambah dia.

Untuk aturan adat, masyarakat Dusun Sangku memiliki sanksi atas kecelakaan lalu lintas yang terjadi di kawasan tempat tinggal mereka. “Yang kemarin, anak SMU yang mati di tempat dibayarkan sama penabrak Rp62 juta. Yang sempat dibawa kerumah sakit sekitar Rp40 juta lebih karena ada biaya rumah sakit yang cukup besar juga,” terang Adrianus.

Jika orang luar dusun atau orang jauh, paling bayar dan melakukan adat bersih tanah atau yang dikenal dengan istilah Nyasahi Tanah. Biaya untuk penyelenggaraan upacara adat ini kurang lebih tiga juta rupiah.

“Jika meninggal, diurus di daerah asal masing-masing sesuai aturan adat setempat,” jelasnya.

Adat Nyasahi Tanah sendiri berkenaan dengan hewan kurban untuk persembahan. Jika ada korban jiwa, biasanya potong babi.

“Jika hanya luka-luka, cukup menggunakan ayam,” ungkapnya. (*)

Ocsya Ade CP dan Marselina Evy, Ambawang