eQuator.co.id – PONTIANAK-RK. Harga kelapa dan kopra anjlok. Kondisi ini dikeluhkan petani kelapa dan kopra.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kalbar, Adreas Acui Simanjaya mengatakan, tahun 1970-an kelapa merupakan komoditas andalan sepanjang pesisir Kalbar. Banyak komponen masyarakat yang terlibat dalam usaha ini. Mulai petani kelapa, pekerjaan memetik dan mengantarkannya ke industri pengolahan. Termasuk pekerjaan di industri kelapa dan pemilik industri pengolahan kopra hampir di setiap desa.
“Dimasa kejayaan kelapa ini, berapa perusahaan skala besar berdiri di ibukota kabupaten/kota di Kalbar. Termasuk di Kota Pontianak, sebut saja Vitamo/PT. Cahaya Kalbar, perusahaan/industri minyak kelapa yang besar saat itu yang kini sudah jadi milik Wilmar Group, ” terangnya, Senin (17/12).
Dia menilai, industri minyak kelapa saat ini merupakan saingan dari produk minyak nabati dari negara lain. Negara lain mengandalkan minyak kacang kedelai, minyak jagung dan minyak biji bunga matahari. Sehingga dilakukan kampanye negatif untuk menyerang komoditas kelapa. Diisukan, minyak kelapa mengandung kolesterol yang berbahaya bagi kesehatan.
“Tidak ada bantahan dan perlawanan dari pemerintah kita, bahkan terkesan mengaminkan pendapat ini. Sejak saat itu industri pengolahan komoditas kelapa perlahan menurun hingga mencapai titik nadir seperti saat ini,” terangnya.
Padahal kata dia, sepanjang pesisir pantai di Kalbar yang terbentang dari Batu Ampar sampai ke ujung pesisir Sambas dahulunya merupakan penghasilan kopra. Namun kini produksi semakin menurun. Salah satu penyebabnya harga yang semakin anjlok.
“Terlebih saat ini semakin banyak komoditas pengganti seperti CPO misalnya, namun untuk beberapa industri tertentu komoditas kelapa tidak bisa digantikan,” tuturnya.
Dilanjutkannya, diperkuat dengan fakta dimana pada tahun 1990-an dinyatakan bahwa VCO (Virgin Coconut Oil) sebagai makanan kesehatan yang dapat mengobati berbagai penyakit. VCO merupakan minyak kelapa yang di produksi tanpa pemanasan. “Melainkan melalui proses fermentasi dari santan kental Kelapa Dalam, warnanya jernih, produk VCO masih terdapat di pasaran sampai saat ini, ” jelasnya
Kondisi terpuruknya harga komoditas ini juga sebagai dampak dari terbukanya peluang ekspor buah kelapa tua yang mengairahkan petani. Namun nyatanya ini hanya berlangsung sementara. Setelah permintaan buah kelapa tua segar terhenti petani kembali bertumpu dan berharap pada industri tradisional yang selama ini ada. Yaitu industri pengolahan kopra dan minyak kelapa.
“Padahal pada masa terbukanya pasar Tiongkok untuk membeli kelapa bulat, petani kelapa seolah-olah melupakan keberadaan industri pengolahan kelapa yang selama ini menjadi mitranya,” tuturnya.
Ia menjelaskan, beberapa tahun terakhir ini memang ada permintaan kelapa tua dalam keadaan berbentuk buah yang sudah dibuang sabutnya untuk diekspor ke Tiongkok. Saat itu, kelapa berikut tempurungnya langsung dimasukkan ke dalam kontainer dan diekspor ke Tiongkok. “Kondisi saat itu merupakan angin segar bagi petani dan pengusaha komoditas kelapa, ” katanya.
Namun di sisi lain, ini menjadi persoalan bagi industri pengolahan komoditas kelapa. Seperti penguasa pengasapan kopra di tingkat desa, pengumpul kopra hingga industri pengolahan minyak kelapa. Sehingga sempat terjadi unjuk rasa dan protes dari pelaku industri kelapa yang terancam tidak mendapatkan bahan baku berupa kopra. Kekurangan bahan baku beberapa tahun itu menyebabkan beberapa industri pengolahan kelapa gulung tikar alias bangkrut.
“Beberapa diantaranya mengalihkan fokus usaha pada komoditas lainnya, dan yang paling parah adalah para pelaku industri pengolahan komoditas kelapa kehilangan pembeli atau buyer,” demikian Acui. (riz)