Minta Pemerintah Menaungi Kreator-kreator Pontianak

Minimnya Penghargaan terhadap Pelaku Industri Kreatif di Kota Khatulistiwa

KARYA. Andika Patrya saat menggarap videoclip milik band Las! di Canopy Center, Pontianak, Senin (20/2). IGK Yudha Dharma

Industri kreatif terus berkembang di Indonesia. Di Pontianak pun, para kreator bertalenta dengan ragam inovasinya mulai menjamur. Salah satunya Andika Patrya.

IGK Yudha Dharma, Pontianak

eQuator.co.id – Andika jebolan jurusan Desain Komunikasi Visual di Institut Teknologi Nasional (ITENAS) Bandung pada 2012. Saat ini, ia menjalankan studio desain X&Y yang memiliki klien hingga mancanegara. Cowok kelahiran Pontianak, 26 November 1990, itu memang dikenal sebagai artworker (pekerja seni) atau jamak disebut ilustrator.

“Seorang produser di New York, Amerika, selalu memesan artwork (berbentuk logo atau gambar,red) untuk album atau artwork single ke saya,” tutur Andika, ditemui Rakyat Kalbar di kediamannya, Pontianak, Jumat (24/2).

Desainnya pernah dipakai sebagai logo Instapics pada 2013. Selain itu, Andika mendesain logo yang hingga kini masih digunakan Entera, sebuah perusahaan komunikasi di Turki.

Di Pontianak, karyanya pun dipakai sejumlah vendor lokal. Contohnya logo coffee shop Koffie Stelsel dan Seija Footwear. “Ape lagi ye kalau yang di Pontianak, aku miskin klien kalau di Pontianak,” aku dia.

O ya, lanjut dia, untuk pemerintahan ia pernah membuat animasi atau motion graphic. Kliennya dari DPRD Kubu Raya dan Bappeda Provinsi Kalbar. Untuk DPRD Kubu Raya, Andika membuat semacam video animasi tentang apa itu DPRD. Sedangkan untuk Bappeda Kalbar, ia menciptakan video animasi tentang pendapatan dari Bappeda tahun 2012-2016.
Lantas kenapa ia merasa kliennya di tanah kelahiran sendiri sangat minim? Menurut Andika, karena tingkat apresiasi masyarakat Kalbar yang masih sangat rendah terhadap desain.

“Banyak yang berpikiran desain itu gratis, cetak itu bayar. Misalnya kau punya laundry, terus datang ke percetakan. Terus bilang, saya mau cetak banner nih. Percetakan pun nanya, desainnya gimana? Engkau menjawab, ah saya ndak ade desainnya, tolong desainkan. Itu cetaknya bayar man, desainnya gratis,” paparnya.

Karena cetak yang mahal itulah, sebuah desain kurang dihargai masyarakat. Maka dari itu, Andika memutuskan untuk pulang ke Pontianak.

“Aku merasa ada panggilan, bukan karena ditarik agen, tapi aku memang niat pulang. Aku merasa aku nih orang Pontianak, dan aku harus melakukan suatu perubahan di sini. Borneo Is Calling,” tuturnya.

Untuk bisa membangun kesadaran dan merubah pola pikir masyarakat tak hanya terkait desain tapi juga mengenai isu-isu sosial, budaya, bahkan politik, maka peran pemerintah dalam mendorong hal itu terwujud dirasanya sangatlah vital. Cowok yang bermukim di jalan Parit Haji Husein 2, Pemda jalur 3 No. 20 Pontianak ini menyebut masyarakat pasti mendengarkan pemerintah.

Kata dia, kebanyakan yang melakukan edukasi adalah komunitas-komunitas kecil yang tidak memiliki biaya dan dukungan atau bisa dibilang termarjinalkan. Bagaimana caranya untuk menguatkan itu sehingga bisa semakin besar, maka balik lagi ke peran pemerintah untuk merangkul dan bekerja sama dengan mereka.

“Bagaimana masyarakat bisa mengapresiasi desain atau hal lainnya, sedangkan pemerintah belum melakukan hal itu, dimulainya dari pemerintah dulu. Ketika pemerintah sudah bisa mengapresiasi SDM kreatif di Pontianak, maka masyarakat pun juga akan menghargai itu,” jelas Andika.

Lagipula, saat ini mata masyarakat masih dimanjakan dengan desain-desain yang hanya sebatas nama dan foto pejabat berukuran besar. Visual ini disebutnya sebagai poster narsis.

“Tidak ada message (pesan)-nya, tidak indah di mata kita. Kalau seandainya pemerintah sudah bisa meng-hire atau mengapresiasi kreator-kreator di Pontianak sendiri, yang bisa membuat visual yang baik, maka mata masyarakat akan tahu tanpa harus diedukasi,” terangnya.

Meski begitu, menurut dia, dunia desain di Pontianak sedang menanjak perlahan. Sayang, masih ada problem di balik kemajuan tersebut. Misalnya, sesama kreator tidak saling mengapresiasi.

“Paradigma suka ngomongin orang, itu poinnya. Ketika ada yang berbeda dari kau (artworker lain), kau tidak terima, lalu mulai menyepelekan, dan bilang ah itu sih aku juga bisa,” beber Andika.

Ia mencontohkan logo Nike yang hanya bergambar centang. Sebenarnya, siapapun bisa merancangnya.

“Tapi apakah kita bisa berpikir kreatif untuk bikin logo centang kayak gitu? Nah, kreator di Pontianak masih tidak mengerti bagaimana prosesnya sampai logo itu dijadikan logo perusahaan sepatu raksasa. Itulah kenapa aku sebut sebagai kurangnya bentuk apresiasi,” tukasnya.

Memang terasa agak sulit jika harus menilai mana desain bagus dan mana yang tidak, imbuh dia, karena sesuatu yang menurut seseorang oke belum tentu bagus di mata yang lain. Di dalam desain terdapat rules komposisi yang mirip dengan rules of third di dunia fotografi.

“Kalau desainer itu tahu komposisi, misalkan tata letaknya betul, maka kita akan bilang itu desain yang baik,” ujar Andika.

Bagi dirinya, semua karya itu bagus. Hanya saja, apakah tersampaikan atau tidaknya pesan di balik sebuah desain. Artinya, jika berbicara tentang desain komunikasi visual, maka bermakna desain yang mampu berkomunikasi lewat pandangan mata.

“Bagaimana cara kita menyampaikan pesan itu, kecuali kau seniman. Seniman itu, kita masturbasi. Graphic designer itu, kita pelacur. Jadi harus ada tektok (kecocokan) antara graphic designer dengan klien. Kalau seni yah, mau-mau kite jak yang ngelakuinnya,” jelasnya.

Intinya, sambung dia, dapat dikatakan bahwa desain itu berkualitas baik bila mampu memadukan komposisi warna, font (huruf), tata letak, serta objek gambar dengan pas. Dan yang pasti mampu menyampaikan pesan lewat tampilan visual.

Itu sebabnya, ia menuturkan, sebuah desain yang bagus pasti mengeluarkan biaya tak sedikit. Karena ide dari pemikiran seseorang itu mahal.

“Hmmm.. Di Pontianak aku anggap masih kurang, yah karena yang kita bahas tadi. Orang cuman taunya desain gratis, cetak bayar. Jadi mereka lebih bagus cari desain yang murah karena cetak tuh mahal,” Andika menyimpulkan.

Namun demikian, industri kreatif seperti artworker bukan berarti harus bayar mahal. “Tapi, bayar dengan sewajarnya,” tegas dia.

Kenapa begitu? Andika menyebut kebanyakan orang tidak mengetahui apa itu branding. Padahal, branding itu tidak hanya menyangkut tentang logo atau desain tertentu, melainkan tentang bagaimana mencitrakan sebuah produk atau membangun image.

Lantas, kalau publik Pontianak masih kurang memahami pentingnya graphic designer, kenapa Andika memilih pulang ke kampung halamannya ini? Sekali lagi, ia mengatakan Borneo is Calling.

“Aku pikir, kalau ndak ade yang melakukan perubahan, siapa lagi kalau bukan kite? Harus ada yang berani, biarpun aku harus balik dari titik nol di sini,” tukasnya.

Imbuh dia, “Memang banyak peluang-peluang aku di Jakarta, di luar negeri juga banyak yang minta aku kerja di sana, tapi aku harus lakukan sesuatu nih buat kota aku. Dan aku ndak pernah nyerah, i don’t give a f**k (masa bodo) lah. Pokoknya tetap konsisten jak”.

Ia dan timnya di X&Y pun kerap membuat desain produk yang menyelipkan subliminal message atau pesan tersembunyi yang mengangkat isu sosial. Dalam waktu dekat ini, Andika dan kawan-kawan sedang berusaha mengumpulkan kreator-kreator yang punya visi untuk membangun kota, bukan yang cuma cari duit saja.

Mereka mencari orang-orang yang berani independen dan mau menyuarakan kegelisahan dan keresahan sosial masyarakat Kota Pontianak. Salah satu karya Andika yang mampu mensubliminalkan message kepada orang-orang adalah ketika ia menggarap Bona Fortuna bersama band Las! di Pontianak. Target semula mereka ingin mendatangkan 150 orang pengunjung pada konser itu, namun ternyata yang hadir lebih dari 400 orang.

Ia menjelaskan, konsep acara tersebut adalah diversity atau keseragaman. Intinya, di Pontianak itu terdiri beragam macam suku dan budaya, di situ mereka ingin menyampaikan pesan bahwa semua itu satu: Borneo.

Mereka merangkum itu semua, membuat itu diversity, dengan mengundang semua orang dari berbagai elemen. Selain itu, juga ada konsep edukasi, diantaranya tentang orangutan, ada juga pembelajaran bagaimana manusia harus memanusiakan manusia, bagaimana berinteraksi dengan alam.

Dari segi desainnya, Andika membuat poster sebagai salah satu usaha menyampaikan pesan terkait promosi acara Bona Fortuna. Posternya itu menggunakan konsep font ala psychedelic Amerika, kemudian mencampurkan unsur ukiran Dayak yang di-mix secara modern. Juga menggunakan warna hijau dan kuning yang mewakili budaya Melayu.

Andika pun pernah membuat karya kontroversial yang diberinya nama Mr.P. Gambar tersebut adalah gambar wajah mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang diedit menyerupai badut. Akibat gambar itu, Andika pernah mendapat telepon serta ancaman dari orang tidak dikenal yang menyuruhnya untuk segera menghapus gambar tersebut dari situs.

“Gambar itu bentuk kekesalan saya terhadap pemerintahan SBY kala itu yang mirip seperti badut,” tuturnya.

Memang, pecinta seni surealism ala Salvador Dali ini sangat menyukai konsep-konsep yang aneh, baik itu untuk desain, foto, maupun video. “Bisa lihat di Instagram atau di galeri karya aku, aku selalu menonjolkan bahwasanya sisi beauty itu tidak harus dari muka, tapi dari gestur. Misalnya, foto cewek yang mukanya ditutup kardus atau kain merah. Itu keindahan dari mata aku yah, karena cantik itu ndak dari muka tapi otak,” ungkap dia.

Dikatakannya, perkembangan videografi di Pontianak sudah keren. Terlihat dengan banyaknya videoclip karya-karya anak Kota Khatulistiwa tersebut yang memiliki ciri khas masing-masing. Itu sebabnya, ia meminta pemerintah setempat mendukung industri kreatif di Pontianak.

“Bukan berarti hanya mengeluarkan biaya, buatkan kami tempat bernaung. Kumpulkan kami para kreator-kreator, percayakan kami untuk membuat sesuatu yang lebih baik bagi kota kita,” pinta Andika. (*)