eQuator.co.id – PASIEN kanker biasanya mengikuti sejumlah rangkaian pengobatan. Di antaranya kemoterapi, radioterapi, dan operasi. Kini yang semakin populer adalah terapi dengan metode imunoterapi.
Imunoterapi merupakan terobosan terbaru dalam pengobatan kanker. Terapi ini menggunakan sistem kekebalan tubuh sendiri untuk melawan sel-sel kanker.
“Dalam tiga tahun terakhir, euforia terhadap imunoterapi memang besar sekali. Terutama ketika mantan presiden Amerika Serikat sembuh dari melanoma setelah mendapat PD-1 inhibitor. Sejak itu, obat ini mulai dicobakan ke berbagai jenis kanker,” tutur Spesialis Onkologi Medik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Ciptomangunkusumo Dr. dr. Andhika Rachman, Sp.PD-KHOM dalam keterangan tertulis, Sabtu (6/4).
Konsultan Hematologi dan Onkologi Medik dari MRCCC Siloam Hospitals dr. Jeffry B. Tenggara, Sp.PD, KHOM menjelaskan, tubuh memiliki sel T yang merupakan bagian dari darah putih. Darah putih ini tugasnya melawan musuh. “Inilah tentara dalam tubuh, tentara yang kita miliki,” ujarnya.
Sel darah putih punya banyak komponen seperti limfosit, basofil, fagosit, dan lainnya. Komponen yang berperan dalam melawan kanker adalah sel limfosit T dan NK cell. Tetapi, terkadang kekebalan manusia itu sendiri tidak cukup kuat untuk melawan kanker.
Kanker tumbuh secara perlahan, dan pada awalnya kekebalan tubuh manusia dapat membasmi sel kanker sebelum berkembang lebih lanjut. Seiring waktu, sel kanker bertumbuh makin cepat hingga kekebalan tubuh tidak dapat lagi mengimbangi pertumbuhan kanker. Beberapa jenis kanker juga memiliki mekanisme untuk menghancurkan sel limfosit T.
“Jadi, prinsip imunoterapi ini memanfaatkan mekanisme kekebalan sel-sel tubuh kita sendiri untuk melawan kankernya,” tegas dr. Jeffry.
Sebagai praktisi, ia berharap kehadiran imunoterapi dapat memberi kesintasan yang lebih baik. Harus dipahami bahwa imunoterapi bukan tanpa efek samping. Salah satunya, membuat sistem imun terlalu aktif. Padahal sistem kekebalan tubuh harus tetap seimbang.
“Jika terlalu berlebihan, bisa muncul efek samping seperti sesak napas pada saat diberikan imunoterapi, dermatitis, kulitnya bisa meradang. Hal ini berdasarkan pengalaman saya di MRCCC ini,” jelasnya.
Ada beberapa macam metoda imunoterapi, yaitu Checkpoint Inhibitors, Cytokine Induced Killer Cell (CIK), dan Vaksin. Saat ini immunoterapi yang sudah banyak dipakai adalah check point inhibitor yang salah satunya adalah anti PD-1. Mekanisme kerja dari anti-PD1 ini adalah mencegah kematian sel limfosit T akibat proses pengrusakan oleh kanker.
PD-1 adalah bagian dari sel T limfosit, yang bertugas menginduksi program pematian sel; dalam hal ini sel kanker. Secara alamiah, tubuh memiliki mekanisme untuk meredakan PD-1 karena bila aktivitasnya berlebihan, justru bisa menimbulkan dampak buruk bagi tubuh. Itu sebabnya, beberapa sel tubuh dirancang memiliki PD-L1 dan PD-L2. Bila PD-1 berikatan dengan ligan PD-L1 atau PD-L2, sel T menjadi tidak aktif, sehingga tidak muncul reaksi berlebihan yang tidak diperlukan.
Sayangnya, mekanisme ini berhasil ditiru oleh sel kanker tertentu. Beberapa jenis kanker juga mengembangkan ligan PD-L1 dan/atau PD-L2 pada permukaannya, sehingga mampu meredam aktivitas sel T. Sel kanker memang sangat pintar; ini adalah salah satu caranya menyembunyikan diri dari kejaran sistem imun.
Dalam beberapa kasus lain seperti kanker ginjal dan melanoma maligna, imunoterapi bisa digunakan tanpa tes PDL-1 lagi karena berdasarkan penelitian terbukti hasilnya baik. Ditengarai, hampir 100 persen melanoma mengekspresikan PD-L1.
Di Indonesia, anti PD-1 disetujui oleh BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) untuk pengobatan kanker paru dan kanker kulit jenis melanoma maligna.
Kini penggunaannya tidak sebatas pada kedua kanker tersebut. Di penelitian maupun di tempat praktik, imunoterapi anti PD-1 juga digunakan untuk berbagai kanker lain, yang telah dibuktikan mengekspresikan PD-L1.
Dr. dr. Andhika telah menggunakan obat ini untuk pasien kanker pankreas, kanker payudara, kanker empedu, hingga kanker kepala dan leher. Anti PD-1 biasa diberikannya pada pasien dengan status performa fisik yang kurang baik.
Pasien tertua yang diberikan imunoterapi anti PD-1 oleh dr. Andhika berusia 82 tahun, yang menderita kanker pankreas. Pasien tersebut mendapat anti PD-1 sebanyak 12 kali. Pasien ini masih hidup sampai sekarang, setahun lebih setelah pengobatan dengan anti PD-1.
“Selama pengobatan pun kualitas hidupnya bagus. Dia bisa beraktivitas sehari-hari seperti biasa,” katanya.
Saat ini kendala utama pemberian immunoterapi adalah biaya yang sangat mahal hingga mencapai ratusan juta rupiah. Dengan demikian, pemberiannya terbatas pada pasien dengan tingkat ekonomi menengah ke atas. Tanpa imunoterapi saja, pengobatan kanker sudah sangat mahal.
“Kanker membuat individu menjadi tidak produktif, dan biaya pengobatannya akan menguras keuangan,” kata dr. Andhika.
Selain itu belum banyak jenis kanker yang dapat dibuktikan akan baik dengan pemberian immunoterapi. Saat ini imunoterapi merupakan metode pengobatan kanker yang masih tergolong baru, dan berbagai pusat penelitian di seluruh dunia sedang mengumpulkan data angka keberhasilan untuk digunakan pada berbagai macam kanker. (Jawa Pos/JPG)