eQuator.co.id – Jepang masih tergolong negara cash. Tidak terlihat ada orang membayar dengan klik HP. Jarang juga terlihat orang membayar dengan kartu.
Bahkan di stasiun kereta Nikko tertulis pengumuman: hanya menerima uang cash. Untuk membeli karcis.
Naik bus kota pun masih dengan cara lama: harus cash. Kecuali yang langganan.
Bus kotanya selalu dilengkapi satu mesin. Saya sebut mesin kernet. Di sebelah sopir. Dengan dua lubang. Satu lubang untuk menerima uang koin. Satu lubang lagi untuk menukar uang kertas: menjadi koin. Siapa tahu ada penumpang tidak punya uang receh.
Saya bisa memasukkan uang lembaran 1000 yen. Menggerojoklah uang-uang koin senilai 1000 yen. Dari mesin kernet itu. Lalu saya bayar ongkos bus kotanya. Senilai tarifnya.
Dari mana tahu berapa tarifnya?
Tidak perlu tanya sopir. Toh sopir tidak mengerti bahasa lain kecuali Jepang.
Waktu naik tadi kita cukup ambil karcis. Ukurannya selebar ibu jari. Yang otomatis keluar dari boks kecil. Di dekat pintu masuk.
Turun dari bus nanti karcis itu kita masukkan ke mesin kernet. Akan terlihat di layar digital: berapa harus bayar. Sesuai dengan jaraknya. Lalu kita masukkan koin sejumlah yang diminta.
Sopir tidak pernah menerima uang pembayaran. Atau menyerahkan uang kembalian. Sopir sudah punya kernet: yang punya dua lubang tadi.
Di kota Otsunomiya, dekat Nikko, saya selalu naik bus kota. Murah. Nyaman.
Di Jepang tarif taxi mahal sekali. Sekali jalan bisa Rp 500.000. Dari Shinjuku ke Ginza.
Kalau di Tokyo saya pilih naik subway. Kereta bawah tanah. Jarak 500.000 tadi hanya perlu bayar Rp 27 ribu (200 yen).
Untuk makan malam di Yotshuya pun saya pilih naik subway. Berdesakan. Meski bayar makannya nanti bisa Rp 2 juta. Itulah restoran yang amat populer: Kirakutei. Di Shinmichi Doori. Di satu gang yang semuanya restoran enak. Teman Jepang saya bilang: salah masuk pun akan enak. Bintang-bintang film banyak makan di situ. Makanannya: yakiniku. Jangan bayangkan lezatnya. Dan lumer dagingnya.
Saya memerlukan ke situ. Setiap ke Tokyo. Kangen. Yang sebenarnya.
Memang angkutan umum di kota-kota di Jepang tidak membuat orang asing terasa asing. Tidak pula perlu bertanya-tanya. Yang entah bagaimana cara bisa bertanya.
Kembali ke Nikko. Kota kecil sekali itu. Yang indah sekali itu.
Di dekat stasiun Nikko ada antrean panjang. Saya mengintip. Untuk tahu. Lagi antre apa itu. Saya ikut antre: beli kue. Seperti ketan goreng. Dalamnya isi kacang merah. Yang dilembutkan. Bukan main larisnya. Semua bayar cash: 200 yen sebutir. Tidak satu pun yang pakai uang elektronik.
Saya ingat saat ke Tiongkok terakhir: di kaki lima pun sudah tidak pakai uang cash lagi. Sudah pakai sejenis Paytren.
Sampai Tokyo saya makan siang di Shinjuku. Di meja sebelah saya duduk dua wanita setengah umur. Asyik ngobrol dalam bahasa Jepang. Waktunya membayar saya lirik sesapuan: masing-masing mengeluarkan dompet. Bayar dengan uang cash. Bayar sendiri-sendiri.
Saya lihat uang yen mereka rapi-rapi. Lurus-lurus. Dompetnya memanjang. Seukuran uang. Tidak mungkin membuat uangnya lusuh. Rasanya baru di Jepang ini saya lihat: tidak ada uang kumuh. Semua uang seperti baru.
Membawa uang yen memang tidak repot. Pecahannya besar. Ada pecahan 10.000 yen. Yang nilainya Rp 1.350.000. Untuk membawa uang Rp 13 juta cukup 10 lembar.
Bandingkan dengan pecahan terbesar rupiah: Rp 100.000. Untuk membawa Rp 13 juta tidak bisa lagi masuk dompet.
Rapi sekali orang Jepang menata uang. Di dompetnya.
Beda dengan pengalaman lama saya. Di desa dulu. Uang selalu disimpan dalam bentuk lungsetan.
Waktu kecil saya hampir tidak pernah melihat ada uang kertas yang masih lurus. Setiap menerima uang lusuhnya bukan main. Gambarnya sudah kabur. Sering juga uangnya tambalan: pernah tersobek ditengahnya. Lalu disambung lagi.
Saya juga sering menyambung uang. Saat sambungan lamanya terlepas. Dilem dengan butiran nasi putih.
Di desa, uang pasti lusuh. Bagaimana tidak.
Saya hafal: ibu saya selalu menyimpan uang di balik kutangnya. Campur keringat dari susunya.
Kalau mau membayar ibu merogoh dulu balik kutangnya. Saat menerima uang memasukkannya ke balik kutang. Kutang adalah BH zaman dulu.
Waktu memasukkan ke balik kutang itu uangnya dilipat empat. Sering juga dalam bentuk gumpalan.
Itu tempat menyimpan uang paling aman. Bagi wanita. Bukan karena tidak punya dompet. Memang orang desa tidak ada yang punya dompet. Dompet tidak penting. Yang penting isinya.
Saya juga hafal tempat aman lainnya: diselempitkan di lempitan-lempitan stagen. Yang dililitkan di pinggang. Agar kain batiknya tidak melorot. Tapi menyimpan uang di stagen mudah jatuh. Saat stagennya longgar.
Waktu kecil saya sering merogoh-rogoh kutang ibu. Untuk mencari uang. Untuk beli permen. Ibu lebih sering mengatakan tidak punya uang. Makanya ibu membiarkan saja kutangnya dirogoh-rogoh. Toh tidak akan menemukan apa-apa.
Kalau ayah punya cara sendiri: menyimpan uang di lipatan kopiahnya. Itu tempat paling aman. Tidak pernah kopiah itu lepas dari kepalanya. Kalau tidur pun kopiah di taruh di atas bantal. Begitu bangun yang dicari kopiah dulu. Seperti kita sekarang: begitu bangun cari HP.
Sekarang tidak mungkin lagi menyimpan uang di lipatan kopiah. Atau di balik BH. Dulu bisa. Yang disimpan hanya satu dua lembar. Sekarang orang punya uang berlembar-lembar.
Kopiahnya bisa tidak berbentuk lagi. Atau dadanya bisa besar sebelah.
Saya tidak tahu mengapa orang Jepang masih suka bawa uang cash. Dalam jumlah banyak. Padahal wanitanya tidak punya kutang. Dan laki-lakinya tidak punya kopiah.
Adakah akar budaya uang cash itu amat dalam. Misalnya, untuk apa menaruh uang di bank. Toh bank tidak memberi bunga. Sumber dana terbesar bank, di Jepang, bukan dari deposito. Melainkan dari dana asuransi. Atau dana pensiun.
Orang Jepang pilih taruh uang di saham. Atau obligasi. Untuk keperluan sehari-hari lebih baik bawa cash.
Toh tidak ada copet. Atau tidak perlu takut uang istri diambil suami. Atau uang suami diambil istri. Tidak perlu juga khawatir ada anaknya yang merogoh-rogohkan tangannya di balik kutang ibunya. (dis)