eQuator.co.id – Lebih dari seabad lalu, ada kisah cukup populer berkembang di masyarakat Kota Pontianak: riwayat keberadaan sebuah meriam bertuah yang berada di Komplek Makam Sultan Syarif Abdurrahman, Batu Layang, di utara Kota Pontianak. Meriam ini biasa disebut masyarakat sebagai meriam keramat, atau meriam timbul.
Meriam terbuat dari besi tersebut memang peninggalan Sultan Syarif Abdurrahman. Terletak di atas bukit kecil tepi sungai, persis 10 meter di depan makam. Posisi moncong meriam lurus ke arah muara pintu masuk Sungai Kapuas.
Informasi dari juru kunci komplek makam, Syarif Mochdar Alkadrie bin Syarif Ismail Alkadrie, sebenarnya terdapat terdapat 40 buah meriam milik sultan. Penjajah Jepang berusaha keras merampasnya.
Namun, keberadaan 40 meriam itu terpisah. Tersebar di berbagai lokasi. Tentara Jepang pun sempat kesulitan. Tapi intelijen mereka berhasil memetakan titik-titik meriam ini. Walhasil, satu persatu meriam diangkut ke kapal Jepang.
Total 39 meriam saja yang berhasil dirampas. Sebuah meriam berada salah satu pendopo tempat sultan beristirahat. Letaknya di tepian Sungai Kapuas—saat ini daerah tersebut diperkirakan masuk dalam wilayah Sungai Rengas, Kabupaten Kubu Raya.
Singkat cerita, dikirimlah satu peleton tentara khusus Jepang untuk mengambilnya. Anehnya, saat mereka datang ke lokasi pendopo, meriam tidak ditemukan. Informan Jepang kemudian mengatakan bahwa meriam tersebut telah berpindah ke Batu Layang atau di seberang sungai. Ketika dikejar, tentara Jepang tetap saja tak menemukannya. Meriam tersebut sudah berpindah lagi ke lokasi lainnya. Dikejar lagi, hasilnya sama, meriam berpindah secara misterius.
Berbulan-bulan tak ada hasil, Jepang sempat stres. Kehabisan akal. Sampai akhirnya komandan pasukan Jepang menyerah dan memerintahkan agar 39 meriam yang berhasil mereka kumpulkan saja yang dibawa ke negaranya. Ajaibnya, baru sampai di pertigaan pintu keluar mulut Sungai Kapuas, tiba-tiba kapal tersebut karam. Seluruh awak kapal dan para tentara tenggelam ke dalam sungai bersama 39 meriam yang dibawanya.
Setelah insiden tersebut, saksi hidup mendapati bahwa satu meriam yang tersisa, yang gagal diangkut ke kapal, berada di tempatnya semula. Di pendopo peristirahatan sultan di tepian Sungai Kapuas. Hingga kini, meriam tersebut masih di sana. Tak bergeser dari tempatnya.
“Sampai Sultan Syarif Abdurrahman wafat, beberapa orang berinisiatif mencoba memindahkan meriam tersebut ke lokasi makam di seberang sungai, namun tidak berhasil,” ujar Mochdar kepada Rakyat Kalbar, Selasa (5/7).
Menurut dia, bukan karena meriam itu berpindah lagi, tapi karena sangat berat. Tidak bisa diangkat. Seolah-olah meriam itu begitu setia, menunggu tuannya. Sempat dipilih 20 orang dewasa berbadan kekar dari berbagai tempat untuk mengangkatnya. Tetap saja gagal. Berbagai cara yang dilakukan tidak juga menemukan hasil. Meriam tak bergeser sedikitpun.
Hingga pada suatu hari, ada seorang masyarakat setempat tiba-tiba ‘kerasukan’ roh kadim atau orang sakti. Melalui mulutnya, Sang Kadim memberitahukan petunjuk atau cara mengangkat meriam tersebut. Setelah itu, barulah meriam dapat digeser. Dengan sekitar 10 orang saja meriam dapat dibawa ke lokasi makam.
Saat ini, meriam tersebut diletakkan di sebuah pendopo kecil, dipagari besi keliling berukuran sekitar 3×3 meter bercat warna kuning. Di sebelah kanannya terdapat pintu masuk selebar kurang lebih semeter untuk para peziarah.
Sulit memang melepaskan meriam dari bagian sejarah Kota Pontianak, cerita tentang ‘kesetiaan’ meriam sebagai saksi bisu sejarah pun masih dikenang hingga kini. “Makanya meriam tidak bisa dilarang sampai hari ini, (warisan budaya) turun temurun,” tutur Mochdar.
Di sisi lain, berbagai cerita tentang tuah meriam ini berkembang. Dipercaya oleh masyarakat dapat memberikan banyak karomah, bahkan bisa mengabulkan segala keinginan. Mulai dari peningkatan ekonomi, mempermudah berbagai macam urusan, mendapatkan pekerjaan, karir maupun jabatan, jodoh, lulus ujian, memiliki keturunan, dan sebagainya.
“Kalau di sini berbagai macam orang datang dari mana-mana (melakukan permintaan). Mereka biasa mengikat batang meriam dengan tali atau benang, kemudian membaca doa, selawat. Dan, rata-rata dari pengakuan mereka, banyak yang berhasil. Tapi itu sebenarnya kembali lagi kepada niatnya, harus baik, harus yakin kepada Allah. Kalau yakin pada besi, bisa syirik,” ucap Mochdar.
Pria berusia 52 tahun ini juga mengungkapkan, masyarakat percaya kalau meriam tersebut dapat membantu anak-anak lancar mengaji. “Caranya, ambil satu batang lidi atau rumput, diukur sekitar sejengkal jari, masukkan ke dalam mulut meriam. Setelah itu, baca selawat. Pas pulangnya, ukuran itu dipakai untuk penunjuk mengaji. Insya Allah, banyak yang mengaku manjur,” tukasnya.
Bak dua sisi mata uang, tak hanya dapat memberikan hal-hal baik, meriam itu juga dipercaya bisa membawa hal-hal buruk kepada orang yang meminta hal-hal tidak baik. “Ada juga yang kadang-kadang mintanya aneh-aneh, untuk niat jahat. Misalnya minta biar kena nomor (judi), malah tambah sakit hidupnya. Atau, misalnya minta mau ‘narik’ barang gaib (untuk kekayaan,red), justru malah sengsara hidupnya,” papar dia.
Kendati tak bisa melarang para peziarah yang datang, Syarif Mochdar bertanggung jawab dengan keamanan sekitar komplek makam. Hal itu telah diembannya sejak 20 tahun lalu. Turun temurun dari ayahnya, Syarif Ismail Alkadrie, dan kakeknya, Syarif Usman Alkadrie.
“Saya sudah generasi yang ketujuh. Dari keluarga saya laki-laki dua bersaudara, abang saya Syarif Umar,” jelas Mochdar.
Tanggung jawab ini pula yang akan ia wariskan kepada anak cucunya kelak. Saat ini, Mochdar beranak lima. Dua laki-laki dan tiga perempuan.
“Sebenarnya ada tujuh orang, yang dua meninggal. Dua anak laki saya sekarang, Syarif Gunawan anak nomor dua, dan Syarif Novi anak nomor empat,” terangnya.
Hanya saja, dia melanjutkan, tidak semua anak laki-laki bisa memegang tanggung jawab ini. Seorang juru kunci harus punya sifat tidak tercela.
“Karena orang yang datang ke sini minta dibantu, didoakan (juru kunci). Kalau kita tidak jujur dan amanah, khawatir doa tidak dikabulkan. Jangankan dikabulkan, takut doa itu malah (berbalik) ditimpakan ke kita. Maka dari itu, manfaatkan betul raga dan hati kita jangan sampai terpengaruh dari hal-hal yang tidak baik,” tutup Mochdar. (*)
Fikri Akbar, Pontianak