-ads-
Home Rakyat Kalbar Pontianak Merdeka! Kalbar Dijajah Asap

Merdeka! Kalbar Dijajah Asap

Media Malaysia Ramai-ramai memberitakan, Jerebu Sudah Sampai Negeri Jiran

EKS KARHUTLA. MASKERAN memperingati HUT ke 73 RI dengan menggelar pengibaran bendera merah putih di lahan eks kebakaran lahan Jalan Sepakat II Ujung, Jumat (17/8). Maulidi Murni-RK
EKS KARHUTLA. MASKERAN memperingati HUT ke 73 RI dengan menggelar pengibaran bendera merah putih di lahan eks kebakaran lahan Jalan Sepakat II Ujung, Jumat (17/8). Maulidi Murni-RK

eQuator.co.id – PONTIANAK-RK. Peringatan HUT ke 73 Kemerdekaan Republik Indonesia di Kalbar ditimpa keprihatinan. Bagaimana tidak, kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) mengakibatkan kabut asap semakin tebal. Bahkan kabut asap asal Kalbar disinyalir sudah sampai ke Malaysia.

Bernama.com pada Kamis (16/8) dengan berita  Jerebu: Rakyat Kedah Dinasihat Kurangkan Aktiviti Luar. Warga di negara bagian Kedah disarankan untuk mengurangi aktivitas  di luar rumah dan menjaga keselamatan selama kabut asap melanda negeri tersebut setelah kebakaran hutan dan lahan di beberapa daerah di Kalbar, Indonesia.

Indeks Pencemar Udara yang dikeluarkan Departemen Lingkungan setempat menunjukkan pembacaan udara tidak sehat di Alor Setar, ibu kota negara bagian Kedah.

-ads-

“Orang ramai di negeri ini dinasihat mengurangkan aktiviti fizikal di luar rumah serta menjaga keselamatan masing-masing sepanjang menghadapi  jerebu  berikutan  kebakaran  hutan  dan ladang di beberapa kawasan di Kalimantan Barat, Indonesia,” diberita Kantor berita resmi milik pemerintah Malaysia tersebut.

Belum diketahui, apakah Kalbar benar-benar mengekspor asap sampai ke Semenanjung Malaya. Mengingat Provinsi Kalbar terletak di barat pulau Kalimantan. Sementara negara bagian Kedah begitu jauh.

Kedah terlatak di utara semenanjung Malaysia berbatasan dengan Thailand. Atau tepatnya negara bagian ini berhadapan dengan Selat Malaka, di seberangnya adalah pulau Sumatera.

Jiran terdekat Kalbar adalah negara bagian Sarawak, sama-sama terletak di pulau Kalimantan.

Diberitakan Astro Awani.com Rabu (15/8) menyebutkan, beberapa kawasan di Sarawak mula dicemari kabut asap. Dipercayai asap diterbangkan angin dari negara jiran, Indonesia.

“Ini bukan satu kejutan, sejak semalam lebih 300 titik panas dikesan (dideteksi) di Kalimantan Barat, manakala Kota Pontianak diancam bacaan indeks pencemaran udara (IPU) yang mencecah bacaan lebih 100,” diberitakan media tersebut.

Sementara diberitakan hmetro.com.my, kabut asap terdeteksi di beberapa kawasan khususnya Kuching, Serian, Sibu, Mukah dan Bintulu.

“Keadaan itu berlaku berikutan cuaca panas berlarutan sejak lebih seminggu lalu diburukkan lagi dengan kebakaran belukar tanah gambut yang berlarutan di kawasan Daro, di tengah negeri ini (negara bagian Sarawak),” tulis media tersebut, Rabu (15/8).

Selain itu, kabut lintas perbatasan dari Kalbar juga mempengaruhi kualitas udara negara bagian itu.

“Ratusan titik panas dikesan (terdeteksi) di Kalimantan Barat terutama di kawasan berdekatan sempadan Malaysia-Indonesia antaranya di Singkawang dan Sambas,” diberitakan media tersebut.

Kapolda Kalbar, Irjen Pol Didi Haryono mengatakan, tanah di Kalbar memiliki dua jenis, yaitu gambut dan mineral. Pada saat memasuki musim kemarau, lahan gambut berpotensi mudah terbakar.

“Satelit sangat sensitif saat menangkap titik panas, hal ini yang harus kita antisipasi karena memang Kalbar didominasi lahan gambut,” dalam keterangan persnya, Kamis (16/8).

Efek Karhutla sangat banyak. Pertama, bagi pernapasan. Terutama anak-anak yang rentan dan berakibat jangka panjang. Kedua, transportasi dapat terganggu. Jika transportasi terganggung misalnya transportasi udara maka juga akan berdampak pada perkenomian. “Jika ingin membuka lahan dapat digunakan dengan cara lain tidak harus dengan dibakar,” kata Kapolda.

Panglima Kodam XII/Tanjungpura Mayor Jenderal TNI Achmad Supriyadi menegaskan, perusahaan perkebunan kelapa sawit harus segera memadamkan api di sekitar wilayah izin usahanya.

“Kemarin saya naik heli dan hopspot itu ada seputaran perkebunan kelapa sawit. Saya minta mulai hari ini tidak ada lagi hotspot itu di sekitar perkebunan sawit,” pintanya, Jumat (17/8).

Dikatakan dia, titik api itu berada dekat dengan lahan perkebunan sawit. Dan itu terjadi pada lahan kosong yang bersebelahan dengan kebun sawit. Salah satunya perusahaan perkebunan di Kabupaten Kubu Raya. “Saya minta tidak ada asap lagi, jika masih ada, berarti perusahaan itu yang membakar,” tegasnya.

Ia menyatakan aktivitas pembakaran hutan dan lahan masuk kategori berbahaya. Ia menyebutkan sudah dua korban meninggal dunia akibat kasus Karhutla. “Satu korban di Sambas karena menghirup asap. Begitu juga di Melawi satu korban,” kata Pangdam.

Pandam menyebutkan, sudah 2.300 prajurit yang diterjunkan. Diakuinya, jumlah itu masih kecil jika dibandingkan dengan luas Kalbar. “Jumlah itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan luas Kalbar. Solusinya jangan ada yang membakar,” tukasnya.

Pandam juga mengakui keterbatasan alat membuat prajurit yang diterjunkan ke lapangan sulit memadamkan api. Begitu juga dengan alat transportasi yang dibutuhkan. Bahkan butuh waktu enam jam untuk sampai ke lokasi Karhutla.

“Kami juga tak punya alat. Alat transportasi kesana berapa jam. Ada yang butuh waktu enam jam baru sampai ke satu titik,” akui Achmad.

Sementara Penjabat (Pj) Gubernur Kalbar Dodi Riyadmadji tak menampik keterbatasan anggaran menjadi satu persoalan dalam penanganan Karhutla ini. Keadaan ini sudah dilaporkan dia, dalam pertemuan dengan Menkopolhukam. Kendati begitu hingga saat ini pemerintah pusat belum memberikan bantuan anggaran. Bantuan anggaran itu bisa diterima jika memang sudah ada peningkatan status Karhutla.

“Menkopolhukam janji akan membicarakan dengan Kemenkeu. Ini sama seperti sebelumnya. Semoga tahun ini bisa direalisasikan,” harapnya.

Melihat kondisi seperti ini. Ia pun merasa ke depan nanti perlu dibuat alokasi anggaran khusus. Hal itu, sebagai upaya untuk menangani Karhutla. “Anggaran itu dimasukkan dalam pos khusus dan bisa dilakukan baik oleh pemerintah pusat dan daerah,” jelasnya.

Dodi menegaskan penyiapan anggaran memang harus dilakukan.  Karena bertujuan untuk mencegah semakin meluasnya Karhutla. Anggaran itu tidak hanya penanganan pada kasus yang telah terjadi, tapi juga pencegahannya. Ia pun mengaku selama ini tidak tersedianya anggaran adalah alasan dalam lambatnya penanganan bencana Karhutla.

“Anggaran tidak ada, karena memang tidak ada anggaran resmi pada pos yang memang disiapkan. Dan itu bisa dimanfaatkan oleh tentara, polisi dan pihak yang terlibat dalam penanganan karhutla. Jadi tidak harus menunggu perubahan status lagi baru bisa dicairkan. Seharusnya sudah anggaran resmi,” katanya.

Jika bencana ini dibiarkan kemudian tidak ada langkah serta terobosan untuk menerapkan kebijakan, ia merasa khawatir hal ini bisa menjadi masalah berkepanjangan. Sehingga baik pusat maupun daerah bisa membuat pos anggaran resmi untuk dianggarkan dalam kasus penanganan Karhutla.

Selanjutnya, Dodi juga menilai perlu diberikan shock terapi kepada perusahaan perkebunan yang terlibat dalam kasus Karhutla. Shock terapi itu harus diberikan karena dari laporan yang diterima Dodi dari Pangdam XII Tanjungpura, kebakaran lahan itu terjadi di pinggiran areal perkebunan sawit.

“Jika yang membakar itu para pengusaha perkebunan bagaimana? Sementara penanganan itu dilakukan pemerintah dan aparat. Kami minta pengusaha menghentikan kasus kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di sekitar areal perkebunannya,” tegasnya.

Sebelumnya Dodi sudah melaporkan kasus Karhutla yang terjadi di Kalbar. Termasuk juga upaya yang sudah dilakukan agar kasus ini tidak meluas.

“Saya laporkan, kalau seandainya mau tidak terjadinya kebakaran hutan dan lahan lagi maka perlu langkah-langkah strategis dalam pencegahan dan penanganannya,” ungkap Dodi.

Kepala Dinas Perkebunan (Disbun) Kalbar, Florentinus Anum mengatakan, soal shock terapi untuk para perusahaan perkebunan, pihaknya akan lakukan pengecekan terhadap Karhutla yang terjadi di areal konsesi perusahaan perkebunan sawit. Apalagi karhutla terjadi pada areal lahan kosong yang berdampingan dengan areal perkebunan sawit pada satu diantara perusahaan di Kabupaten Kubu Raya.

“Kita kan ada tim dari provinsi untuk mengecek. Kalau sekarang, kita tidak bisa menyatakan itu masuk dalam kawasan kebun atau bukan. Mau dicek dulu,” ungkapnya.

Dikatannya, berdasarkan pemantauan Disbun di lapangan, perusahaan-perusahaan terbilang mengindahkan ketentuan pemerintah sebagai langkah antisipasi Karhutla. Seperti pembuatan embung, menara, sumur bor, penyiapan sarana-prasarana, bahkan membentuk kelompok petani peduli api.

Hal tersebut merupakan kewajiban perusahaan. Untuk siap siaga untuk dalam mengantisipasi karhutla. “Saya lihat sebenarnya perusahaan perkebunan juga takut ketika Karhutla terjadi. Apalagi jika dilahan konsesi mereka,” katanya.

Namun, Anum menimpali jika ternyata Karhutla itu terbukti dalam kawasan perkebunan, maka pihaknya akan mencari siapa pelaku pembakaran. “Apakah pelakunya individu perorangan atau perusahaan, tentu akan dicari,” terangnya.

Jika tetap melanggar pihaknya menegaskan akan ada sanksi sesuai dengan aturan Undang-Undang Lingkungan Hidup, Kehutanan maupun Perkebunan. “Siapapun yang melakukan pembakaran lahan bisa terkena hukuman sesuai aturan-aturan yang mengikat,” tegasnya.

Untuk itu, Anum terus mengimbau kepada seluruh perusahaan melalui surat-surat untuk tidak membakar lahan konsesi. Selain itu, korporasi juga punya tanggung jawab membina masyarakat di sekitar kawasan hutan.

“Ketika ada masyarakat yang aktivitasnya mengacu pada aktivitas pembakaran lahan maka wajib dibina dan dikawal. Kami sesuai tugas pokok dan fungsi hanya bisa mengimbau dan meminta kepada perusahaan agar bekerja sesuai aturan,” jelasnya.

Anum menambahkan konsep dalam hal penanggulangan Karhutla adalah preventif. Ia meminta semua perusahaan maupun masyarakat yang bergerak di bidang perkebunan agar selalu waspada.

“Kita harap perusahaan menggiatkan patroli 1×24 jam. Ketika ada api kecil padamkan. Itu lebih efisien, efektif dan murah daripada menunggu api sudah besar. Semua unsur pemerintah terkait seperti BPBD, Manggala Agni, TNI, Polri, Polhut dan lainnya juga terus berkoordinasi serta bersinergi,” tandasnya.

Sementara itu, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kalbar TTA Nyarong menuturkan, jika tidak ada dana dari APBD maka status siaga pun cukup.

“Kita ngebom terus. Kalau dananya tidak ada dari APBD, maka siaga pun cukup. Tapi kalau mau cepat tanggap, maka harus siap APBD-nya,” tuturnya.

Nyarong menjelaskan, untuk menetapkan status tanggap darurat dibutuhkan waktu 14 hari helikopter tidak beroperasi. Maka dari itu, status siaga merupakan status yang paling penting.

“Kalau 14 hari heli tidak beroperasi bagaimana. Dan kalau tanggap status diperpendek, operasi tidak diperpenjang terus,” tuturnya.

Ia pun menyatakan saat ini Kalbar belum memiliki alokasi dana khusus dalam penanganan Karhutla. “Sekarang untuk penanganan Karhutla berdasarkan dana masing-masing sendiri. Teknis sendiri BPBD sendiri, BPBD justru tidak ada dana. Itu karena tupoksi saja maka dijalankan,” bebernya.

Hingga saat ini total helikopter yang digunakan untuk pengeboman sebanyak 7 unit. Untuk satu kali pengeboman dibutuhkan waktu sekitar 3 jam lebih. “Satu heli kalau yang tiga ton itu 18 drum avtur. Kalau lima ton mau 20 drum lebih,” ucap Nyarong.

Kepala Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman dan Lingkungan Hidup (Perkim dan LH) Kalbar, Adi Yani menuturkan, pihaknya memiliki program desa peduli gambut. Melalui restorasi gambut daerah Kalbar. “Karena di Kalbar ini, ada 2 juta hektar lahan gambut,” ujarnya.

Namun dari 2 juta hektar itu, tahun 2017 dalam program restorasi oleh pemerintah pusat dan daerah hanya sekitar 3 ribu hektar . Ditambah tahun ini sebanyak 38 ribu hektar. Sementara itu, 3 ribu hektar itu sudah membentuk desa peduli gambut.

“Dengan adanya desa peduli gambut ini kita harapkan, mereka inilah tulang punggung kita untuk mengawasi agar tidak terjadi Karhutla. Memang kemarin diviralkan ada seribu lebih titik api dan Alhamdulillah siang habis,” paparnya.

Pengurangan jumlah titik hotspot yang drastis itu merupakan adanya antisipasi bagaimana menanggulangi kebakaran yang terjadi di daerah lahan gambut. Kendati begitu pun, ia mengaku pihaknya tidak menutup mata bahwa lahan gambut memang rawan kebakaran. Sehingga dalam waktu dua minggu Pemkim dan LH akan mengumpulkan lagi desa peduli gambut. Untuk mencari solusi bersama bagaimana mengantisipasi kedepan penanganan soal hotspot ini.

“Saya sudah laporkan juga kepada gubernur dan Kapolda beliau akan memberikan penyegaran kepada teman-teman ini. Mudah-mudahan bisa efektif,” harapnya.

Diakui dia, sebagian daerah yang terbakar itu adalah wilayah restorasi gambut. Namun karena pihaknya sudah membentuk kelompok desa itu, maka desa inilah yang akan ikut serta memadamkan api yang ada di daerah mereka.

“Jadi di area 3 ribu ada sekitar 200 sekat kanal dan 100 sumur bor. Dari 200 sekat kanal. Area yang masih terbakar adalah yang wilayahnya jauh dari kanal dan sumur,” terang Adi.

Dugaan awal terjadinya Karhutla ini dari aktifitas masyarakat. Seperti di Jalan Parit H Husin 2, pelaku pembakar lahan langsung ditangkap. Yang melalukan pembakaran itu ternyata adalah masyarakat.

“Dan ternyata pada saat mereka membakar ternyata ditinggal datang ke sana lagi api sudah menjalar ke area yang sudah lebih luas lagi,” pungkas Adi.

Menanggapi tidak ada dana memadai untuk melakukan penanggulangan Karhutla, Akademisi Tata Negara Untan Pontianak, Turiman Faturrahman, menyatakan bahwa hal itu tidak masuk akal. Bagaimana mungkin tidak ada dana? Sedangkan masalah Karhutla adalah fenomena yang selalu terjadi setiap tahun. “Bila alasan ketiadaan dana menjadi alasan lambatnya penanganan, maka ini tidak akan menyelesaikan masalah,” kata Turiman saat diwawancarai Rakyat Kalbar, Jumat (17/8).

Turiman menjelaskan, mengenai perbedaan pembakaran hutan dan kebakaran hutan. Menurutnya, pembakaran hutan adalah sebuah kegiatan yang yang disengaja pada satu lokasi tertentu secara terkendali. Gunanya adalah untuk membuka lahan, meremajakan hutan atau mengendalikan hama. Sedangkan kebakaran hutan lebih kepada kejadian tidak disengaja atau terjadi secara alamiah.

“Namun pada prakteknya, proses pembakaran ini bisa berubah menjadi kebakaran yang tak terkendali. Banyak kebakaran dipicu oleh aktivitas pembakaran. Hal ini juga menjadi penyumbang terbesar deforestasi di Indonesia, lebih besar dibanding konversi lahan dan illegal logging,” paparnya.

Turiman mengungkapkan bahwa secara teoritis kebakaran hutan terjadi karena adanya interaksi antara bahan bakar, oksigen dan panas pada kondisi tertentu. Bila ketiga unsur ini ada secara bersamaan maka kebakaran akan terjadi. “Oleh karena itu, prinsip penanggulangannya adalahdengan memutus salah satu unsur tersebut. Biasanya dengan menghilangkan bahan bakar atau panas,” kata Turiman.

 

Laporan: Ambrosius Junius, Rizka

Editor: Arman Hairiadi

Exit mobile version