Menyesal Gwadar

Oleh Dahlan Iskan

eQuator.co.id Saya menyesal gagal ke Gwadar. Meski polisi Pakistan benar: nyawa saya terancam di perjalanan. Minggu lalu kekhawatiran polisi itu terbukti. 14 orang asing disekap. Di tengah jalan. Dan ditembak mati. Semua.

Dua minggu sebelum itu juga. Sebelumnya lagi sama. Terjadi penembakan-penembakan.

Hari itu, saya akan nekat ke Gwadar. Waktu saya di Pakistan bulan lalu. Saya akan berangkat dari Lahore. Ke Quetta dulu. Ibukota negara bagian Baluchistan. Ke arah barat. Kira-kira 14 jam. Dengan jalan yang parah. Melewati pegunungan kering. Berbatu. Berpadang pasir.

Rencana saya dari Quetta baru ke arah selatan. Selama 14 jam lagi. Ke Gwadar. Ke pantai selatan. Pantai Samudera Hindia.

Di Gwadar lah proyek terbesar Tiongkok lagi dikerjakan. Senilai hampir Rp 1000 triliun. Berupa pelabuhan samudera. Dilengkapi Industrial estate. Terutama industri minyak dan kimia turunannya.

Proyek itu terletak di kawasan terisolasi. Dekat perbatasan Iran. Dikelilingi pegunungan tandus. Ribuan kilometer.

Untuk menghidupkan proyek Gwadar akan dibangun jalan tol. Menuju bagian lain Pakistan yang ‘hidup’. Misalnya Punjab. Yang terletak di ujung timur laut Pakistan. Dekat perbatasan India.

Dari Punjab itu dibangun jalan tol lagi ke Xinjiang. Propinsi di paling barat Tiongkok. Yang mayoritas penduduknya Islam. Dan tandusnya mirip dengan sekitar Quetta-Gwadar.

Tidak hanya jalan tol. Akan dibangun juga pipa minyak. Dan pipa hasil industri kimia. Puluhan ribu kilometer. Sampai Tiongkok. Yang tingkat kesulitan pembangunannya luar biasa.

Bagaimana bisa membayangkan betapa jauhnya jarak antara Gwadar ke Xinjiang? Google Maps saja kesulitan mengkalkulasi jaraknya

Ada jalan lain menuju Gwadar. Naik pesawat dulu ke Karachi. Dua jam. Dari Karachi bisa naik mobil 9 jam ke Gwadar. Menyusuri pantai selatan Pakistan.

Ada juga penerbangan ke Gwadar. Hanya dari Karachi. Hanya sekali sehari. Jam 6 pagi.

Saya pilih terbang ke Karachi. Menginap satu malam. Sekalian ingin tahu ruwetnya kota terbesar di Pakistan ini. Yang lalu-lintasnya unik: banyak Mercy tapi lebih banyak lagi bajaj, gerobak sepeda, gerobak keledai dan truk yang reot.

Di Karachi itulah saya pesan mobil. Saya tidak mau pakai pesawat, meski tiketnya lebih murah dari sewa sedan. Saya ingin tahu tandusnya alam menuju Gwadar.

Soal sembilan jam jalan darat tidak ada masalah. Di Amerika saya terbiasa naik mobil lebih jauh dari itu. Berhari-hari. Naik bus Greyhound maupun setir sendiri.

Saya bangun lebih pagi di Karachi. Ingin segera berangkat ke Gwadar. Ternyata macetnya bukan main. Ruwet pula. Sudah satu jam belum sampai batas kota. Padahal sudah lewat tol.

Perbatasan Karachi dengan wilayah paling timur Baluchistan. Ruwet kan?

Yang tidak saya bayangkan: kota Karachi ternyata berbatasan langsung dengan propinsi Baluchistan bagian selatan. Berarti luas sekali wilayah Baluchistan ini. Sembilan jam dari timur ke barat. 16 jam dari utara ke selatan.

Ternyata Baluchistan memang negara bagian terluas di Pakistan. Tapi juga yang termiskin. Dan yang paling tidak aman.

Baluchistan sudah lama ingin merdeka. Sejak tahun 1953. Tidak lama setelah Pakistan dan India memisahkan diri. Gerakan separatis tidak pernah surut.

Awalnya sasaran kemarahan orang Baluch adalah siapa saja. Yang berasal dari negara bagian lain. Terutama yang dari Punjab. Yakni negara bagian terkaya untuk ukuran Pakistan. Juga yang paling maju ekonominya.

Punjab adalah pusat ekonomi dan politik Pakistan. Kota-kota seperti Lahore, Islamabad, Rawalpindi, Faisalabad berada di negara bagian Punjab.

Sedang Baluchistan adalah lambang kemiskinan. Keterbelakangan. Terisolasi. Mereka merasa tidak diperhatikan oleh pemerintah pusat. Yang mereka anggap  lebih sibuk memikirkan Punjab. Karena itu mereka memilih ingin merdeka.

Pakistan terus menumpas  gerakan separatis itu. Tapi mereka memiliki tempat persembunyian istimewa: Afganistan. Perbatasan bagian utaranya.

Pakistan selalu menuding India di belakang mereka. Termasuk rapatnya yang di Afganistan. Dan pembiayaannya. Tapi India selalu menepis tudingan itu. India justru menuding Pakistan. Yang berada di balik gerakan separatis di Kashmir. Yang ingin memisahkan diri dari India.

Saya sudah siap memasuki negara bagian yang tidak aman ini. Saya sudah melewati jembatan perbatasan kota Karachi. Mulai memasuki wilayah paling timur Baluchistan. Tidak jauh dari jembatan itu mata saya menangkap sesuatu. Ada satu papan kecil yang ditancapkan di pinggir jalan. Saya memang jarang tidur di perjalanan. Ingin terus mengamati pemandangan sekitar.

Papan itu sudah kumuh. Tulisannya sudah kurang jelas. Tapi begitu nyata di mata saya. Bunyinya: Chinese Security Desk. Polisi Distrik Lasbela. Lihatlah fotonya.

Saya mendadak minta mobil minggir.

“Ada apa?” tanya sopir.

“Pokoknya berhenti dulu,” jawab saya.

Mobil berhenti di bahu jalan. Di sisi jalan yang tidak berasal. Saya pun turun dari mobil. Lari ke belakang. Di bawah sinar  matahari yang amat terik. Menyusuri pinggir jalan yang berdebu. Ke arah papan tadi. Untuk memotretnya. Tulisan di papan itu menggoda sisa-sisa kewartawanan saya.

Saya pun mencari posisi. Dari mana harus memotret papan itu. Untuk menghasilkan sudut pemotretan yang tepat. Yang ada news value-nya.

Sesuatu pun terjadi.

Seorang polisi lari ke arah saya.  Menghentikan kegiatan saya memotret.

Saya bermasalah.

Tidak boleh meneruskan perjalanan. Paspor saya diminta. Diperiksa. Lalu dibawa ke pos polisi.

Saya kembali masuk mobil. Tidak tahan panasnya. Dan lagi saya harus ingat dokter: tidak boleh terlalu terkena terik matahari. Terkait dengan obat yang saya minum seumur hidup: obat setelah transplantasi hati itu.

Sopir saya mengikuti polisi. Menjaga paspor saya. Intinya: saya tidak boleh meneruskan perjalanan.

Saya datangi polisi di posnya.

“Saya bukan Chinese. Saya dari Indonesia,” kilah saya.

Pokoknya tidak boleh.

“Bunyi papan itu Chinese Security Desk. Saya Indonesia. Saya Islam,” kata saya.

Pokoknya tidak boleh.

“Saya punya visa Pakistan. Berarti saya boleh ke mana saja di wilayah Pakistan ini,” kata saya.

Pokoknya tidak boleh.

“Kalau tidak boleh, mengapa pemerintah Anda memberi saya visa,” bantah saya lagi.

Pokoknya tidak boleh.

“Kalau tidak boleh kan lebih baik jangan beri saya visa,” kata saya lagi.

Saya pun ngambek. Tidak akan mau meninggalkan perbatasan itu. Bahkan akan bermalam di dekat pos polisi itu.

Sang polisi minta bicara pada sopir. Sopir pun menjelaskan: tidak berani mengantar saya. Ini soal keamanan.

“Kenapa perusahaan Anda tadi tidak memberi tahu saya kalau orang asing dilarang ke Gwadar?“ tegur saya pada sopir.

“Sayangnya tadi bapak turun motret-motret,” jawabnya. “Ini gara-gara motret-motret itu,” tambahnya.

Saya berhenti marah. Ingat pesan dokter: tidak boleh emosi.

Saya sudah terlalu banyak emosi. Tiga tahun terakhir. Untuk urusan yang sia-sia itu. Sampai pembuluh darah saya pecah setahun lalu. Saat saya di Madinah. Untuk umroh dengan seluruh keluarga.

Ternyata saya memang kurang teliti. Di visa saya ada tertulis catatan: tidak boleh ke daerah yang terlarang. Saya tidak meneliti visa itu. Saya pikir sama dengan visa-visa pada umumnya.

Saya salah. Saya kalah.

Ternyata polisi itu benar. Sangat tidak aman. Tidak peduli Chinese atau bukan. Pokoknya bukan orang Baluch. Pokoknya bisa menarik perhatian.

Kalau pun saya tadi tidak motret-motret. Pasti di pemeriksaan berikutnya akan ketahuan. Atau di pos yang lebih jauh lagi. Untung juga sudah ketahuan saat masih dekat dengan Karachi. Misalkan baru ketahuan setelah berjalan lima jam lebih sia-sia lagi.

Ternyata memang begitu tidak aman.

Lebih-lebih sekarang ini. Saat saya menulis naskah ini. Saat saya baru saja melintasi perbatasan Kambodia-Vietnam ini. Setelah menyeberangi jembatan sungai Mekong ini. Saya baca peristiwa itu: separatis Baluch melakukan sweeping. Mobil jurusan Karachi-Gwadar dirazia. Orang asing diturunkan. Orang asing di Pakistan hampir pasti Chinese. Mereka menemukan 14 orang. Dari beberapa mobil. Dibawa pergi. Dibunuh. Semuanya.

Sebenarnya saya tidak takut itu. Sisa-sisa kewartawanan saya masih agak tebal. Disekap pun sebenarnya menarik juga. Asal jangan dibunuh. Insyaallah   saya bisa mencari cara untuk tidak dibunuh.

Kapan-kapan saya harus tetap ke Gwadar. Apalagi setelah proyek itu terwujud. Yang sedikit banyak bisa mengatasi kemiskinan wilayah Baluchistan. Bahkan bisa saja modernitasnya akan mengejar Punjab.

Saya pun jadi tahu: mengapa Amerika mundur dari proyek Gwadar. Sekian puluh tahun lalu. Demikian juga Singapura. Siapa sih yang mau dagang dalam situasi keamanan seperti itu.

Alasan keamanan seperti itu pula yang membuat Eropa mundur dari Afrika. Lalu digantikan Tiongkok. Di mana-mana.

Kini Barat marah pada Tiongkok: dianggap sudah menguasai Afrika.

Ternyata sebenarnya saya tetap bisa ke Gwadar. Kapan saja. Asal saya mau mengurus ijin khusus. Lalu akan disediakan pengawalan.

Saya menyesal. Tahu itu belakangan. Setelah saya kembali ke Lahore. Dan terikat jadwal ke India, Thailand, Kambodia dan sekarang ini ke pedalaman Vietnam.

Lain kali lagi, Gwadar. (Dahlan Iskan)