Menjelaskan Indonesia dalam Paham Singapura

Saudara Saya Robert Lai (5) Oleh: Dahlan Iskan

Dahlan Iskan

eQuator.co.id – Robert Lai punya anak tiga. Wanita semua. Baru satu yang berumah tangga, memberinya dua cucu. Di Singapura dia tinggal di apartemen yang dibangun pemerintah.

Dia boleh membeli apartemen lima kamar. Itu karena tiga generasi tinggal di rumah yang sama: mertua perempuannya, dia sendiri suami-istri dan dua anaknya yang masih lajang. Dua anaknya ini seperti umumnya gadis Singapura masa kini: malas untuk berumah tangga. Mungkin sekolahnya terlalu tinggi.

Jojo lulusan Australia. Dan Muchelle lulusan Universitas Pensylvania USA.

Sebenarnya rumah itu bukan lima kamar. Itu dua apartemen yang dijadikan satu. Dua kamar dan tiga kamar.

Pada dasarnya warga Singapura tidak boleh membeli dua rumah. Banyak peraturan untuk bisa membeli apartemen kedua.

Kemampuan negara Singapura menyediakan rumah untuk penduduknya memang luar biasa. Sebanyak 85 persen rumah tangga Singapura tinggal di apartemen yang dibangun pemerintah.

Hanya 15 persen yang membeli apartemen swasta. Mereka bisa mencicil selama 20 sampai 30 tahun.

Meski dibangun pemerintah, kualitas perumahannya tidak banyak beda dengan perumahan swasta. Sama-sama di gedung bertingkat tinggi. Dengan sistem pengelolaan yang sama baiknya.

Seluruh gedung tinggi itu lantai terbawahnya harus kosong. Tidak boleh dibuat rumah. Lapang. Hanya kelihatan pilar-pilar. Tidak berdinding. Dengan model begini komplek gedung tinggi ini terasa seperti berhalaman di bagian bawah gedungnya.

Inilah yang disebut kualitas hidup. Memang, secara bisnis, sayang sekali lantai terbawahnya dibiarkan terbuka. Padahal itulah mestinya lantai termahal. Tapi hidup memang perlu berkualitas. Sehingga pertimbangan bisnis tidak harus selalu diutamakan.

Liftnya pun sangat banyak. Lift di dekat apartemennya hanya untuk enam rumah tangga.

Sudah lebih 30 tahun Robert dan keluarga tinggal di situ. Sudah lunas. Tidak mikir cicilan lagi. Robert juga tidak perlu terlalu mikir biaya kesehatan. Jaminan kesehatan untuk warga Singapura sangat baik.

Saat saya opname di Singapura, Robert juga lagi punya masalah pencernaan. Dia pun ke rumah sakit. Dilakukanlah endoskopi, satu alat berkamera dimasukkan ke pencernaan lewat tenggorokan dan dubur. Untuk semua itu dia hanya harus bayar 10 dolar Singapura. Sekitar Rp 100 ribu. Tidak ada artinya dibanding tingginya pendapatan warga Singapura.

Robert mengcopy perhitungan tagihan dari rumah sakit itu untuk dikirim ke WA saya. Sebenarnya nilai tagihannya tinggi sekali. Tapi hampir semua itemnya, disebutkan di situ, ditanggung sistem kesehatan pemerintah.

Ini sangat berlawanan dengan mahalnya biaya pengobatan yang dikenakan untuk orang asing yang berobat di Singapura. Menantu saya punya problem pencernaan juga. Sambil menunggu saya opname dia memeriksakan pencernaannya juga.

Hanya kurang satu minggu dari apa yang dilakukan Robert. Dilakukan endoskopi juga. Tapi tagihannya begitu berbeda. Untuk menantu saya, tagihan dokternya saja Rp 50 juta. Belum ruang rumah sakit dan obat-obatnya.

Banyak orang Indonesia memuji dokter Singapura. Tapi mereka melupakan satu hal itu. Kok mau bayar mahal. Saya yakin kalau pasien Indonesia mau membayar Rp 50 juta sekali penanganan kepada dokter di Indonesia akan banyak kelemahan teratasi. Bandingkan, pasien Indonesia kalau ke praktek dokter spesialis hanya bayar Rp 600 ribu.

Saya pun tidak menyalahkan dokter Surabaya ketika tidak menemukan bahwa saya terkena aorta dissection yang begitu berbahaya. Pertanyaan besarnya adalah: mengapa tidak menyuruh saya melakukan CT Scan. Padahal dokter Singapura langsung menemukan sakit saya yang sebenarnya itu hanya karena menyuruh lakukan CT Scan.

Saya tahu bahwa dokter Indonesia, dengan doktrin menaati prinsip kode etiknya, tidak boleh melakukan sesuatu yang berlebihan. Yang itu hanya akan menimbulkan beban kepada pasien. Beban biaya.

Itu yang saya jelaskan kepada Robert ketika dia geleng-geleng kepala: mengapa dokter di Surabaya tidak menyuruh lakukan CT Scan untuk saya. Di Surabaya sekali CT Scan biayanya Rp 7 juta. Itu satu beban besar untuk rata-rata pasien Indonesia.

Banyak pasien yang akan memilih menikmati sakitnya karena tidak akan mampu membayar Rp 7 juta baru untuk CT Scan saja. Atau memilih dibawa pulang dan pasrah kepada takdir.

Saya setuju dengan prinsip dokter, jangan berlebihan. Baik dalam penggunaan alat pemeriksaan maupun dalam memberikan obat. Semua itu menimbulkan biaya.

Sering pasien mencurigai rumah sakit yang berlebihan seperti itu karena rumah sakitnya terlalu berbisnis. Agar cepet balik modal. Untuk bisa beli alat yang lebih modern lagi. Hanya saja dalam kasus saya itu mestinya dokter tidak perlu punya beban moral untuk menambahkan biaya CT Scan.

Memang saat itu saya dimasukkan RS dengan keluhan utama pencernaan. Sudah lima hari tidak bisa kentut. Sudah lima hari juga tidak bisa pup. Maka ketika hari ketiga saya bisa pup saya diijinkan pulang.

Hanya setelah pulang kembali tidak bisa kentut lagi. Lalu Robert memaksa saya ke Singapura.

Robert sendiri juga sering berlebihan pada saya. Dia selalu merebut sendok saya sebelum makan. Untuk dilap dengan tisu.

Dia selalu mencuci kembali buah yang terlihat akan saya makan. Kadang saya merasa Robert ini terlalu cerewet.

Bahkan waktu saya di RS Tianjin, saat mau dipindahkan dari ICU ke ruang opname, dia lap lagi semua peralatan di ruang opname itu. Termasuk tempat tidur dan kamar mandi.

Dia tidak melakukan itu di Singapura. Dia percaya dengan sistem kebersihan di Singapura.

Meski tidak ada demokrasi di Singapura, tapi Robert punya selera humor politik yang baik. Termasuk mengenai orang sekuat Lee Kuan Yew. Yang berkuasa di Singapura begitu lama.

Misalnya ini: Suatu saat Lee mengutus anggota kabinetnya ke Yerusalem, ke tempat yang dulu Yesus bangkit setelah dikubur. Sang menteri disuruh membeli tanah 1 x 2 meter. Lee ingin kalau meninggal kelak bisa dikuburkan di sana. Agar dalam dua hari dia bisa bangkit lagi dan meneruskan memimpin Singapura.

Begitu banyak saya mendapat humor dari orang seperti Robert. Dia begitu menikmati hidup. Dengan membantu orang.

Termasuk, baru belakangan saya tahu, memberi bea siswa kepada beberapa anak Surabaya yang miskin. Dia juga melakukan hal yang sama di Thailand dan Vietnam. (bersambung)