Harini selalu meminta calon pengantin yang akan dirias untuk menjaga laku, misalnya dengan puasa dan salat Tahajud. Sedangkan Umijatsih, kendati hapal di luar kepala susunan acara, tetap membawa naskah.
FAHMI SAMASTUTI, Solo
eQuator.co.id – WAJAH Harini terlihat cemas. Bersama suaminya, M. Topo Broto, dilihatnya lagi daftar nama anggota keluarga yang harus dicek. “Piye iki (bagaimana ini) kok belum banyak yang rias?” tanya Harini.
Jam menunjukkan pukul 16.00 WIB. Di lantai 5 Hotel Alila, Solo, Selasa (7/11) itu, baru terlihat beberapa orang. Jadilah ke-12 perias Harini lebih banyak mondar-mandir dan mengobrol di sekitar ruang rias.
Padahal, setelah magrib, mempelai lelaki Bobby Nasution dan keluarga yang jadi tanggung jawab Harini dan tim untuk dirias sudah harus berangkat menuju kediaman sang calon mertua, Presiden Joko Widodo (Jokowi). Di sana akan berlangsung seserahan sekaligus mengambil ageman untuk akad nikah dan resepsi, Rabu (8/11). “Baru sedikit yang ke sini. Padahal, total (yang harus dirias, Red) ada 70 orang lebih,” imbuhnya.
Pernikahan Kahiyang Ayu-Bobby Nasution ini bukan pengalaman pertama Harini terlibat dalam hajatan mantenan kepala negara. Dua tahun lalu, perempuan kelahiran Lumajang, 1 Mei 1952, itu juga menangani tata rias untuk pernikahan Gibran Rakabuming, putra sulung Jokowi, dengan Selvi Ananda.
Harini memang salah seorang penata rias tradisional yang tergabung di Chilli Pari, usaha wedding organizer yang dirintis Gibran. “Pokoknya, kalau mau merias (siapa saja), harus bersiap, nggak bisa cuma asal rias,” tuturnya.
Harini mengaku selalu berpuasa setiap akan melakukan rias. Kadang-kadang puasa Senin-Kamis. Kadang-kadang puasa Daud. “Begitu diminta, saya langsung bersiap puasa. Supaya Yang Kagungan Kersa berkenan dan hasil riasnya juga baik,” ungkapnya.
Bukan hanya Harini yang bersiap. Mantan pegawai di Dinas Perhubungan Kota Solo itu juga selalu berpesan kepada kedua calon pengantin. “Lakune dijaga. Kalau bisa, sama puasa dan salat Tahajud,” tuturnya.
Menurut Harini, “ritual” tersebut merupakan salah satu ajaran yang dia dapat dari kelas Pawiyatan Keraton. Di tempat itulah nenek tiga cucu tersebut belajar ilmu seputar rias dan tata cara upacara adat.
Masuknya Harini ke dunia rias berawal dari keinginannya mengisi waktu luang. Sebab, dia merasa masih banyak waktu setelah jam kantor yang bisa dimanfaatkan. Apalagi, sang suami ketika itu masih bekerja di pelayaran, sehingga jarang di rumah.
Harini pun memutuskan ikut “kelas” yang diadakan Pawiyatan Keraton. Tiga kali dia mengikuti babaran atau pembukaan kelas. Yakni babaran 2, 8, dan 11. Kini Pawiyatan Keraton sudah memasuki babaran 30-an. “Baru lolos yang (babaran) 11. Karena sebelumnya saya masih sibuk di kantor,” ungkapnya.
Di kelas itu Harini mempelajari banyak hal tentang adat Jawa, khususnya Surakarta. Mulai menjadi pamuwicara alias membawakan acara dengan bahasa Jawa inggil. Hingga tata rias. Harini juga mengambil kelas tata rias beragam riasan pengantin dari daerah lain di Nusantara lewat sekolah tata rias yang dibuka dinas pendidikan kala itu. “Rumit, karena harus ngapalin banyak paes (tata rias),” kenangnya.
Yang tersulit bagi Harini adalah paes ala Keraton Jogjakarta dan Surakarta. “Dua itu dan riasan pengantin Bali. Banyak detailnya, sementara kalau Bali, sesajinya banyak,” papar Harini.
Debutnya pun dilakoni pada 1989. Dari awalnya hanya untuk mengisi waktu luang, layanan riasnya berkembang sampai bertemu dengan banyak klien dari kalangan pejabat. Dia pernah merias untuk pernikahan anak pertama Wali Kota Surakarta F.X. Hadi Rudyatmo. Juga beberapa artis. “Ya nggak hapal satu per satu. Cuma, yang saya ingat, paling jauh dari Palembang. Masih temannya Pak Jokowi,” lanjutnya.
Klien begitu banyak, tapi ketika putri tunggalnya, Heni Ariati, menikah, justru bukan dia yang menangani. “Sebenarnya ya boleh, cuma nggak saya lakoni. Saya merias waktu ijab kabul saja,” ucapnya.
Seiring jarum jam yang terus bergulir, satu per satu keluarga Bobby pun berdatangan. Dengan terampil Harini dan tim merias mereka. Pukul 18.00 tepat, rombongan pun meninggalkan hotel menuju kediaman Jokowi di kawasan Banjarsari, Solo.
Di sana jalannya acara pun jadi tanggung jawab rekan kerja Harini, Umijatsih. “Saya sama Bu Umi (sapaan Umijatsih) itu plek. Sama-sama di (wedding organizer) punyanya Mas Gibran,” papar Harini tentang sahabatnya yang telah 35 tahun menjadi pamuwicara alias pembawa acara tersebut.
Umi setahun lebih tua daripada Harini. Lahir pada 24 Januari 1951. Tapi, saat menuntut ilmu di Pawiyatan, Harini adalah kakak kelasnya. Berbeda dengan pernikahan modern, dalam adat Jawa, pembawa acara tidak hanya dituntut komunikatif. “Harus tahu unggah-ungguh dan berkoordinasi dengan pemandunya. Apa maksud acaranya juga harus tahu,” ujarnya.
Terlebih, lanjut Umi, banyak bagian upacara pernikahan yang merupakan perlambang percumbuan. Misalnya tradisi menginjak telur di acara panggih. Kaki mempelai lelaki akan dibasuh mempelai perempuan, sebelum dan sesudah menginjak telur. “Itu kan menandakan putih bercampur dengan merahnya telur. Sudah bercampur, suami istri nantinya akan bersatu,” terangnya.
Karena itu, jelas perempuan yang tinggal di kawasan Laweyan, Solo, tersebut, dalam adat, deretan acara panggih itu hanya disaksikan pihak keluarga mempelai perempuan. “Besan tidak boleh masuk,” ucap dia.
Dalam acara pernikahan Kahiyang-Bobby, selain acara seserahan tadi malam, Umi terlibat dalam prosesi penyiapan kembar mayang di rumah mempelai perempuan. Hari ini Umi juga bakal memandu acara temu manten serta resepsi pagi. Sudah pasti urut-urutan acara itu telah nglontok di kepalanya. Meski demikian, untuk jaga-jaga, dia tetap membawa naskah. “Biar marem,” katanya. (*/Jawa Pos/JPG)