eQuator.co.id – Allah Mahapenolong.
Saya hampir menyerah. Kali ini tidak mungkin sanggup mengerjakan siaran langsung dari Monas. Saat reuni alumni 212. “Tidak ada bandwidth,” jelas saya, kepada panitia, dua pekan lalu.
Beberapa penyedia jaringan internet yang saya kenal sudah saya kontak. Tidak ada yang melayani klien di seputar Monas. Vendor-vendor siaran langsung saya hubungi. Siapa tahu bisa membantu. Semua angkat tangan. Tidak punya bandwidth.
Memang ada alternatif lain. Siaran dipancarkan dengan jalur satelit. Tapi biayanya kelewat mahal. Proses pemesanannya pun lama. Live streaming melalui jaringan internet tetap paling ekonomis. Masalahnya, jalur kabelnya tidak ada.
Tiga tahun lalu, saya memasang hub di roof top sebuah gedung di Jalan Medan Merdeka Barat. Tapi tahun lalu sudah saya copot. Langganan berhenti.
Belajar dari pengalaman, dalam kerumunan massa yang besar, bandwidth selalu menjadi persoalan. Apalagi bandwidth dari operator telepon selular. Sudah pasti dut. Kapasitas dari BTS yang melayani kawasan itu sudah pasti habis. ‘’Panitia menyediakan 5 mobil penguat sinyal. Apa belum cukup?’’ tanya panitia.
Saya hanya bisa menjawab dengan gelengan kepala. ‘’Tidak menolong. Yang bermasalah bukan tidak ada sinyal. Tapi tidak ada bandwidth. Sinyal dan bandwidth dua hal yang berbeda,’’ jelas saya.
Rabu petang, Dua teman saya datang: Iwan, penyedia server disway dan Gepeng, developer aplikasi Disway. Setelah mendiskusikan beberapa proyek yang sedang berjalan, kami menuju rumah teman, di Cikini, Menteng, Jakarta Pusat.
Di Cikini, diskusi melebar ke acara reuni alumni 212. ‘’Pak Joko bikin siaran seperti tahun lalu?’’ tanya tuan rumah.
Saya kembali menggelengkan kepala. ‘’Tidak ada bandwidth kabel. Tidak mungkin bisa siaran,’’ jawab saya.
“Dulu kok bisa?’’ tanyanya.
‘’Dulu siaran langsungnya dari studio. Video dari lapangan disiarkan tunda sebagai insert,’’ jawab saya.
‘’Lha ini ada Pak Iwan juragan bandwidth…’’ sahutnya.
Masya Allah! Saya baru ingat kalau Iwan punya perusahaan internet service provider. Padahal setiap hari saya berkomunikasi di grup whatsapp dengan Iwan, sejak Iwan menyediakan server untuk website disway.
‘’Saya tidak punya klien di seputar Monas,’’ jawab Iwan.
Jarum jam hampir menunjukkan pukul 23:00. Iwan sudah mau pamit pulang untuk mengejar jadwal commuterline jurusan Bogor. Tiba-tiba, ada kawan yang mengirim pesan pendek. ‘’Saya bisa menyediakan bandwidthnya.’’
Mata saya yang sudah mulai berat, mendadak terang kembali. Meski belum jelas bagaimana skema penyaluran bandwidth-nya, saya tulis saja crew call. Memanggil semua crew Jagaters untuk hadir di kantor hari Jumat pukul 16:00. ‘’Kita akan live dari lokasi reuni 212.’’
Jumat sore, sesuai jadwal, kami membahas skenario teknikalnya. Termasuk skenario live bila harus menggunakan kamera dari drone.
Selesai salat isya, saya berangkat ke Monas. Saya janji bertemu teknisi yang menyiapkan jaringan bandwidth itu di panggung utama. ‘’Hub kami ada di Pecenongan,’’ jelas teknisi itu.
Wow! Jauh juga. Pecenongan ada di belakang Istana Merdeka. Sedangkan panggung ada di depan Istana Merdeka. Bagaimana cara menghubungkannya? ‘’Kami bikin jalur memutar ke arah Masjid Istiqlal, lanjut ke Jalan Pejambon, baru ke Monas,’’ jelasnya.
Luar biasa. Jalur itu cukup panjang. Kalau diukur mungkin 5 atau 6 Km. Dalam kondisi normal, tidak akan ada yang mau menarik kabel sepanjang itu. Karena waktu tiga hari terlalu pendek. Logikanya perlu seminggu. ‘’Sabtu siang bandwidth sudah siap. Silakan dites untuk live streaming jam berapa saja,’’ kata teknisi itu, sesaat sebelum saya meninggalkan Taman Monas.
Sambil berjalan kaki menuju parkiran sepeda motor, saya kirim pesan pendek kepada teman yang menyediakan bandwidth itu. ‘’Berapa biaya untuk semua layanan ini?’’
‘’Gratis,’’ jawabnya pendek.
Masya Allah. Saya tahu betul. Biaya memasang kabel dan menyediakan dedicated bandwidth 10 Mbps internasional tidak murah. Hitungan saya, paling murah Rp 30 juta.
Kejutan rupanya belum selesai. Staf saya mengirim laporan bahwa biaya pembelian seragam baju koko berikut pecinya mendapat diskon 50 persen.
Pedagang baju di Pasar Tebet itu semula bertanya, mengapa staf saya membeli baju koko dengan motif yang sama dengan berbagai ukuran dalam jumlah banyak. ‘’Mau siaran di stasiun televisi apa? tanya pedagang tersebut.
Setelah tahu baju itu untuk seragam crew siaran langsung reuni alumni 212, harga yang sudah melalui proses tawar-menawar itu dipangkas lagi menjadi separonya. Bahannya pun diganti dengan kualitas yang paling bagus. Dengan harga yang tidak berubah.
Subhanallah. Tuhan selalu punya cara menggerakkan hati hamba-hambanya untuk tolong-menolong dalam kebaikan. (jto)