eQuator – Profesi Dalang dimata Tejo Sutisno merupakan bagian budaya yang harus dilestarikan. Meskipun belajar secara otodidak, tidak menyurutkan langkahnya menjadi dalang sampai dengan sekarang. Pria lulusan Sastra Perancis Universitas Negeri Semarang (Unnes), memulai masuk ke dunia dalang Tahun 2004. “Awal mula Saya masuk dalam sanggar “Ngesti Ngedo Budoyo” di Cilacap. Disitu saya belajar banyak, ditambah sharing dengan teman dalang lainnya,”ungkapnya.
Baginya, tokoh dalam wayang sebagai perumpamaan di dunia nyata, sementara dalang lah yang menggambarkan seluruh “lakon” tersebut. “Mungkin berbeda dengan dalang yang lain, menjadi dalang adalah panggilan hati,”tuturnya. Dikatakannya, Wayang juga sebagai media untuk mendidik sekecil apapun temanya. “Bisa saja saya sisipkan kata “saru”, namun sebagai guru di SMK Muhamadiyah I Cilacap saya lebih memilih aspek humornya,”tuturnya.
tahun 2012 Tejo diundang oleh Kedutaan besar Indonesia di Perancis, dalam acara festival maritim sedunia. “Saya tampil di kota Paris satu kali, dan di Brest enam kali pementasan,”ungkapnya. Dia mengakui, awal mula ada penolakkan dari orang tua, alasannya karena menjadi dalang merupakan profesi yang tidak jelas masa depannya. “Ditambah dengan waktu pementasan yang seringnya sampai jam 4 pagi. Orang tua khawatir dengan kesehatan saya,”akunya.
Peribahasa “Ora ketemu awak, ketemu anak” Ia terapkan dalam setiap pementasan. Maksudnya, apabila seseorang sering berbuat jahat, meskipun tidak mendapat balasan, kemungkinan akan menurun ke anak dan keturunannya. Dalang yang mengisi di acara HUT RI ke 70 di Alun-alun ini pun, ternyata memiliki ke khasan yang lain, dengan memodifikasi tokoh wayangnya. “Proyek saat ini saya rencana diminta buat ensiklopedia wayang oleh Heru Sudjarwo, namun belum sempat karena kesibukkan saya,”kata Tejo.
Dia juga sisipkan dengan humor sesuai dengan perkembangan jaman. “Bahwa tiap pementasan saya selalu menampilkan yang logis dan ringan, serta mudah dicerna oleh orang awam,”imbuhnya. Bentuk seni kata Tejo ada dua yaitu ada seni murni dan seni terapan. “Seni yang saya pakai yaitu seni nut lakuning jaman,”tambahnya.
tahun 2009 akhirnya, dirinya membuka sanggar bagi dalang cilik maupun dewasa, dengan nama sanggar “Sena Laras”. “Awal dua anak saya menyukai dunia dalang, namun ternyata yang kedua meneruskan bakat saya,”paparnya. Sekarang ada enam yaitu empat dari anak-anak, dan dua dari dewasa yang ikut disanggarnya. “Pola didik khusus pada dalang cilik saya mengikuti Mujiono dari sanggar Sawotama di Solo. Dimana, anak dibuat nyaman bukan dipaksakan,”lanjutnya.(rez)