eQuator.co.id – Pontianak-RK. Survey Biaya Hidup (SBH) 2016 dari 82 Kota se Indonesia, tingkat inflasi Kota Pontianak sepanjang Januari-November sebesar 2,93 persen. Angka ini masih di atas inflasi nasional di periode yang sama yakni 2,59 persen.
Kepala Kantor Bank Indonesia (BI) Perwakilan Kalbar Dwi Suslamanto menyatakan, ini merupakan tantangan bagi Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID). Koordinasi tim mesti diperkuat.
“Kemudian kita dari TIPD memfokuskan terutama dalam rangka memitigasi resiko kenaikan harga serta kelancaran distribusi pasokan bahan pangan stretagis,” ujarnya kemarin.
Dwi menjelaskan, TPID saat ini sudah merumuskan beberapa rekomendasi kebijakan guna memitigasi resiko kenaikan harga serta distribusi pasokan bahan pangan strategis tersebut. Antara lain memacu peningkatan produksi bahan pangan dan menjaga kelancaran distribusi.
“Menjaga ekspektasi masyarakat penting dilakukan,” pungkasnya.
Langkah konkrit lainnya, kata dia, sejak beberapa tahun sampai sekarang pengembangan padi dengan teknologi hazton terus dilakukan.
“Dengan hazton produktivitas meningkat sehingga pasokan beras aman dan itu bisa menghambat kenaikan beras,” paparnya.
Tingkat inflasi 82 kota yang masuk di SBH di Kalbar, selain Kota Pontianak juga ada Kota Singkawang. Saat ini, secara umum relatif menurun karena dari kinerja TPID cukup mempengaruhi dalam pengendalian inflasi.
“Khusus untuk tingkat inflasi di Kota Pontianak tahun kelender November 2015 sebesar 5,15 persen. Sedangkan untuk saat ini tahun, November 2016 hanya 2,93 persen,” jelasnya.
Artinya, lanjut dia, dengan data yang ada relatif menurun meskipun masih lebih tinggi sedikit dari rata- rata nasional. Secara historis, ada beberapa komoditas atau kelompok di momen tertentu selalu naik. Hal itu karena didominasi pengaruh langsung dan tidak langsung dari musim keagamaan dan komoditas tiket pesawat. Sehingga kondisi tersebut ikut mempengaruhi pergerakan komoditas lainnya.
“Sementara untuk kelompok barang yang menjadi perhatian BI dan TPID Kalbar yakni bahan pangan (volatile food). Hal itu karena komoditas tersebut sangat sensitif terhadap musim keagamaan, cuaca dan kenaikkan komoditas yang diatur oleh pemerintah,” paparnya.
Dwi menyatakan, pada dasarnya inflasi sangat terkait daya beli. Daya beli akan membaik jika inflasi rendah dan stabil. Daya beli ini juga mencerminkan miskin tidaknya suatu masyarakat.
“Bahkan daya beli yang lemah karena inflasi tinggi ini bisa menggoyang pemerintahan, seperti kasus 1998,” ungkap Dwi.
Sementara itu, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kalbar, periode Januari-November 2016, hanya empat bulan mengalami deflasi. Maret 0,08 persen, April 0,51 persen, September 1,06 persen, dan Oktober 0,36 persen.
“Sedangkan di luar empat bulan tersebut semua mengalami inflasi dan tertinggi terjadi di bulan Mei sebesar 1,67 persen,” kata Kepala BPS Kalbar Pitono.
Dijelaskannya, dari 7 kelompok indeks yang masuk dalam SBH, kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau tertinggi penyumbang inflasi sepanjang tahun ini yang mencapai 6,09 persen. Disusul kelompok sandang sebesar 5,51 persen. Sedangkan kelompok pendidikan, rekreasi dan olahraga sebesar 4,98 persen.
“Sementara kelompok kesehatan sebesar 3,15 persen, kelompok perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar 3,14 persen, serta kelompok bahan makanan 3,08 persen,” ungkap Pitono.
Reporter: Gusnadi
Redaktur: Arman Hairiadi