eQuator.co.id – Kereta berhenti. Saya celingukan. Lingkungan stasiun ini tertata rapi. Bukan hanya stasiunnya saja. Bersih. Tidak ada rumah kumuh. Tidak ada kaki lima.
Agak lama saya termangu. Tengok kanan-kiri. Muka-belakang. Ini tidak seperti di lingkungan stasiun kereta api.
Padahal di mana-mana mirip: lingkungan di sekitar stasiun itu lebih ruwet. Juga lebih terasa low class. Dibanding kawasan pusat kota lainnya. Di Italia sekali pun. Apalagi di Manggarai. Atau di Pasar Turi.
Yang lagi saya ceritakan ini adalah di Konya, Turki. Kota terbesar keenam di negeri itu. Yang saya ke sana akhir bulan lalu. Untuk menemui Maulana Jalaluddin Rumi. Filosof yang meninggal dunia seribu tahun lalu. Juga untuk melihat sistem pembangunan perumahan rakyatnya.
Hanya di Turki ini saya melihat semangat yang menyala-nyala. Dalam memperbaiki perumahan rakyat. Yang berarti juga membangun lingkungan kota.
Tentu jangan dibandingkan dengan Tiongkok. Yang memang tidak ada bandingannya.
Di Konya saya keliling kota. Ditemani Omar. Tidak berhasil melihat ada kampung miskin. Maka saya pun minta yang lain: ditunjukkan kampung yang masih lama. Yang masih kumuh. Yang belum digusur. Yang saya akan bisa melihat tingkat kemiskinannya.
Di semua kota besar pasti punya kampung yang seperti itu. Pikir saya. Di Beijing sekali pun.
Semula saya sulit menjelaskan pada Omar. Tentang kampung kumuh yang saya maksudkan. Ia tampak bingung. Seperti tidak paham bahasa Inggris saya.
Lalu saya ketik kata slum. Omar memasukkannya ke kamus Google. Asumsi saya: setiap kota pasti memiliki kawasan slum. Daerah kumuh. Daerah miskin. Dengan perumahan gembelnya. Di Amerika pun ada yang seperti itu. Meski tingkat kegembelannya berbeda.
Omar pun akhirnya paham. “Kita ke sana besok,” katanya. “Sekarang sudah terlalu sore. Tiba di sana sudah agak gelap. Besok saja. Biar bisa melihat dengan jelas,” tambahnya.
Sore itu kami memilih makan. Saya minta dicarikan makanan khas Konya yang paling enak. Omar membawa saya ke arah pinggiran kota. Ke arah gunung.
Ia mengajak saya melewati real estate kelas atas. Yang rumah-rumahnya satu lantai. Maksimum dua lantai.
“Ini kompleks palace,” katanya. Saya pun minta penjelasan apa yang ia maksud dengan palace. Yang pengertian saya adalah istana. Apakah ada istana di kawasan itu.
Ternyata orang Konya berbeda. Rumah-rumah satu atau dua lantai seperti itu disebut palace. Rumahnya orang kaya. Padahal kalau saya perhatikan biasa saja.
Perumahan seperti itu banyak di Indonesia. Rumahnya dua lantai. Tanahnya sekitar 400 meter persegi.
Di Jakarta perumahan seperti itu masih dianggap kelas menengah. Belum bisa disebut palace. Di Indonesia jauh lebih banyak rumah yang justru bisa dikategorikan palace beneran. Kesimpulan saya: golongan yang terkaya di kota ini tidak seberapa kaya.
Saya pun tiba di restoran besar. Di atas gunung. Yang dari dalamnya bisa melihat seluruh kota Konya.
Saya minta dipesankan masakan yang saya maksud: khas Konya.
Saya puas. Makanan itu enak sekali. Omar menjelaskan nama makanan itu. Juga cara membuatnya. Istrinya bisa memasaknya. Hanya kualitas bahannya lebih murah.
Saya selalu lupa nama masakan itu. Baru setelah ke kota Bursa saya ingat. Kota yang terletak antara Izmir dan Istanbul itu. Nama menu itu: Iskender.
Yakni setelah saya makan di restoran asli Iskender. Dari resto kuno inilah asal usul menu Iskender. Dari pemilik restoran itu. Yang diciptakannya di tahun 1867.
Tapi yang di Konya rasanya lebih enak. Menurut perasaan saya. Mungkin resepnya sudah dipermodern. Mungkin juga karena sudah lebih lapar.
Keesokan harinya saya lega. Sudah tidak turun salju. Udara masih minus 4 derajat. Tapi langit terang. Matahari melotot. Seperti lagi menghardik sisa-sisa salju yang ada. Yang masih melapisi pinggir-pinggir jalan.
Tapi saya kecewa. Sekaligus gembira. Ternyata saya tidak berhasil melihat slum.
Daerah slum yang diperlihatkan pada saya sama sekali bukan slum. Hanya satu-dua rumah lama. Yang tetangga sekitarnya sudah habis. Sudah diratakan. Sudah jadi lahan yang siap dibangun.
Kalau slumnya seperti itu bisa disimpulkan: tidak ada lagi slum.
Lapisan orang terkayanya tidak terlalu kaya. Lapisan orang miskinnya tidak terlalu miskin.
Slum yang saya lihat tinggal rumah lama yang bermasalah. Yang ganti ruginya belum cocok. Masih menunggu penyelesaian. Tapi pada saatnya pasti digusur. Tidak ada istilah berlarut-larut.
Ada aturan waktu untuk ‘menerima atau digusur’. “Saya dulu tinggal di rumah ini,” ujar Omar. Sambil tiba-tiba menghentikan mobilnya. Di sebelah rumah tua yang sudah kosong. Sudah siap dibongkar.
Ayahnya sudah lama menjual rumah itu. Saat Omar masih remaja. “Di sinilah dulu saya bermain,” katanya.
Di kanan kiri bekas rumahnya itu sudah berdiri perumahan baru. Khas Konya. Khas kota-kota di Turki. Itulah model baru perumahan rakyatnya.
Bentuk rumahnya seperti flat. Empat susun. Atau lima susun. Paling tinggi 8 susun.
Satu gedung yang empat lantai berisi 16 keluarga. Tiap lantai hanya untuk empat keluarga. Kalau gedung itu 8 lantai isinya 42 keluarga.
Tiap gedung berjarak dengan gedung lainnya. Jarak itu cukup untuk lalu-lintas mobil. Bahkan untuk arena bermain anak-anak. Tidak terlihat deretan rumah susun yang kesannya seperti rumah burung.
Konsep pembangunan perumahannya sangat “sosialis”. Atau “agamis”. Yakni ‘membangun tanpa menggusur’.
Para pemilik rumah di kampung lama terjamin: akan tetap di lokasi itu. Kalau toh harus pindah hanya sementara. Hanya saat flat itu dibangun. Mereka disewakan rumah. Di flat baru yang belum berpenghuni. Dua tahun kemudian mereka pulang kampung. Dengan kampung yang sudah baru.
Begitulah praktek di Turki. Membangun tanpa menggusur.
Saya ke kota Antalya. Yang lebih besar. Juga tidak menemukan slum di Antalya. Mustafa yang kali ini menemani saya.
“Saya punya teman yang almarhum bapaknya punya rumah besar. Pekarangannya 1.000m2. Kampung lama itu di rehabilitasi. Di situ dibangun flat-flat modern. Sekarang teman saya itu punya tujuh apartemen di sana,” ujar Mustafa.
Ia sendiri punya apartemen 4 kamar. Di pusat kota Antalya. Saya tidak habis pikir: seorang sopir punya apartemen 4 kamar. Di pusat kota. Bukan di kelas Condet atau Depoknya Jakarta.
Saya ingin ke Turki lagi. Ingin mendalami lebih nukik bidang ini: membangun tanpa menggusur. (dis)