eQuator.co.id – Pemilihan umum tinggal beberapa bulan lagi. Salah satu yang sangat menarik adalah: politik redaksi sejumlah media. Akhir-akhir ini. Ada dua pasangan calon presiden – wakil presiden yang harus dipilih: Joko Widodo – Makruf Amin dan Prabowo – Sandiaga Uno.
Masing-masing pasangan capres – cawapres itu punya pendukung. Di media sosial, ada julukan lucunya: cebong dan kampret. Apa pun sebutannya, kedua kelompok pendukung tersebut sama-sama menjadi pasar pembaca koran. Sama-sama berpotensi. Sama-sama penting.
Pertanyaannya, bagaimana media harus bersikap? Mendukung salah satu? Mendukung yang mana? Yang lebih kuat menurut survey? Yang lebih lemah menurut riset? Atau mendukung petahana? Mendukung penantang?
“Pahami perasaan pembaca saat membuat berita.”
Begitu nasihat Dahlan Iskan yang sering disampaikan kepada setiap wartawan. Entah sudah berapa kali saya mendengar nasihat yang sama, sejak menjadi wartawan Jawa Pos tahun 1991.
Memahami perasaan pembaca, menurut Dahlan, sangat penting bagi awak media. Pengetahuan wartawan terhadap “perasaan pembaca” mempengaruhi berita yang dibuat bisa diterima atau ditolak pasar.
Dahlan kemudian menceritakan, bagaimana Jawa Pos begitu lakunya saat Amerika Serikat menginvasi Iraq menjelang akhir dekade 90-an, yang dikenal dengan Perang Teluk I. Saat itu, Jawa Pos mencatat rekor penjualan tertinggi dalam sejarahnya, hingga 700 ribu eksemplar per hari.
Resep keberhasilan Jawa Pos itu, semata-mata, hanya karena memahami “perasaan pembaca” saja. “Perasaan orang Indonesia itu ingin agar pihak yang lemah tidak kalah dari yang kuat,” kata Dahlan. “Selama Perang Teluk, semua orang Indonesia mengungkapkan perasaan melalui doa dan harapan agar Amerika Serikat gagal menakhlukkan Iraq,” lanjut Dahlan.
Karena perasaan pembaca seperti itu, Dahlan Iskan memutuskan agar Jawa Pos memberitakan Perang Teluk I dari sisi “menghebatkan Iraq” yang lemah, bukan “menghebatkan Amerika Serikat” yang sudah hebat.
Keberhasilan kecil pasukan Iraq harus diperlihatkan, karena keberhasilan itu sesuai doa dan harapan pembaca. Kemenangan Amerika Serikat diberitakan apa adanya, karena bertentangan dengan doa dan harapan pembaca.
Ketika Amerika berhasil membumihanguskan sebuah objek vital Iraq melalui pertempuran udara dan darat, Jawa Pos memilih angle sebuah helikopter Amerika Serikat yang jatuh ditembak penduduk sipil bersenjata.
Jatuhnya sebuah helikopter tempur Amerika Serikat, adalah sesuai perasaan, doa dan harapan pembaca. Padahal, kerugian satu helikopter itu tidak seberapa disbanding begitu besarnya mobilisasi alat perang dan pasukan Amerika Serikat.
Sebaliknya, hancurnya fasilitas vitas Iraq oleh serangan pasukan Amerika Serikat sebenarnya sebuah kerugian amat besar bagi Iraq. Tetapi, berita kekalahan itu, sangat melukai perasaan pembaca. Begitu perasaan pembaca terluka, minat membaca Jawa Pos akan meredup.
“Petani Iraq Tembak Jatuh Heli AS” atau “Lagi, 2 Tentara AS Tewas”, bisa menjadi headline. Sementara berita “Pasukan AS Kuasai Kota”, cukup menjadi berita kedua atau ketiga.
Saat Perang Teluk I terjadi, saya mahasiswa yang punya usaha agen koran di Semarang. Ketika mulai masuk pasar Semarang, pada 1989, penjualan Jawa Pos biasa saja. Masyarakat Semarang lebih lebih menyukai koran lokal Suara Merdeka, ketimbang Jawa Pos. Tetapi ketika Perang Teluk I pecah, mendadak semua orang mencari Jawa Pos.
Membaca hati pembaca. Jawaban itu saya temukan dua tahun kemudian. Ketika menjadi anak buah Dahlan Iskan. Menjadi wartawan Jawa Pos pada 1991. (jto)
Penulis adalah admin www.disway.id dan redaktur tamu Rakyat Kalbar