Menurut dia, perceraian memang menghancurkan hati anak-anaknya. Mereka lah yang paling terdampak. Namun, jika suatu saat nanti anaknya bertanya kenapa mama sama papanya berpisah, GB akan menjawabnya dengan jujur.
“Biar jadi bahan pembelajaran dia, ndak akan aku sembunyikan. Tapi aku juga ndak akan ngajarkan dia buat benci bapaknya,” tandasnya.
Tak berbeda jauh dengan kisah SW. Perempuan yang juga berusia 26 tahun itu merasakan tak enaknya menjadi seorang janda. Ia menikah dengan suaminya pada awal tahun 2011. Mereka dikaruniai anak pertama pada tahun 2012 dan anak kedua pada 2014.
Ia mengatakan selama menikah semuanya berjalan baik. Hanya saja, sang suami memang orang yang pendiam dan jarang terbuka.
“Kalau ditanya tuh ndak jawab, masalah apapun,” terang SW ditemui di kediamannya di Pontianak.
Ia dan suami memang tinggal bersebelahan dengan rumah mertuanya. Mereka sering bertengkar, meski selalu segera terselesaikan. Namun, setiap kali ribut, suaminya mengembalikan Sarah pulang ke rumah orangtuanya.
“Tiga kali dia pulangkan aku ke rumah orangtuaku, ada masalah kecilpun aku juga dipulangkan ke rumah orangtua,” bebernya.
Sampai suatu saat, mereka terlibat pertengkaran besar. SW sempat melawan mertuanya. Sang suami tidak terima dan menggugat cerai di Pengadilan Agama Pontianak pada 2016.
Setelah bercerai, SW masih mengasuh kedua anaknya. Namun kemudian sang suami menyewa pengacara untuk mengurus hak asuh anak.
Berdasarkan pertimbangan pengadilan bahwa sang suami memiliki penghasilan dan dianggap mampu menjamin nasib anaknya, hak asuh itu pun lepas dari tangan SW yang tidak memiliki pekerjaan pada saat itu.