Masyaallah

Oleh: Dahlan Iskan

Dahlan Iskan

eQuator.co.id – Tiap hari saya pindah kota. Sulit memutuskan: di mana bisa bikin janji. Untuk bertemu mahasiswa Indonesia yang ada di Pakistan.

Ju

Untung saya harus balik ke kota Lahore. Untuk ke sungai Irawati. Yang sekarang bernama sungai Ravi itu.

O

Maka di Lahorelah kami janjian bertemu. Dengan permintaan maaf saya: kasihan mahasiswa yang dari Islamabad. Harus menempuh jarak hampir 400 km.

Misalnya Fahmi Wira Angkasa. Yang kuliah di International Islamic University. Jurusan hukum syariah. Atau Bagus Asri Wibawa dari kampus yang sama. Demikian juga Maulana Ibrahim yang asli Pringsewu, Lampung. Yang lulusan pondok modern Gontor Ponorogo.

Ditambah Nadzif Nuha. Yang sekolahnya dulu hafal Al Quran di pesantren Khusnul Khotimah Kuningan. Dekat Cirebon. Nuha kini kuliah di psikologi.

Ali Muhtadin juga datang dari Islamabad. Dengan semangat wartawan. Ali ini lahir di desa Kanor, Bojonegoro. Rumahnya di sebelah bupati Suyoto. Ali lulusan pesantren Persis Bangil. Kini kuliah di jurusan ushuludin.

Maulana Ibrahim, asal Jakarta juga datang dari Islamabad.

Mereka menyewa mobil. Bergantian mengemudikannya. Lewat Motorway yang bagus dan murah itu.

Saya serahkan kepada mereka. Mau sambil makan malam di mana.

“Suka makan apa?” tanya Fahmi.

Masakan apa pun saya suka. Toh pilihannya tidak banyak. Kalau tidak kambing ya domba. Kalau tidak chappati ya naan.

Mereka memilih restoran yang unik. Di puncak bangunan tua tujuh lantai. Di lantai yang tidak ada atapnya. Menghadap ke langit. Bisa sambil melihat masjid Badsahi dari atas. Pada waktu malam. Dengan udara sejuk sekitar 22 derajat.

Musik dari lantai bawah terdengar sampai atap ini. Sesekali penyanyinya naik. Dengan wireless microphone. Menyanyikan lagu-lagu entahlah. Itu lagu India atau Pakistan. Di telinga saya kedengarannya sama saja.

“Itu lagu Punjabi,” ujar Fahmi.

Toh sama juga.

Ada beberapa restoran seperti itu di deretan jalan pendek ini. Yang jalannya dibebaskan dari lalu lintas. Banyak kursi di pinggir jalan. Bisa makan sambil mejeng. Untuk yang berlalu-lalang. Atau bisa makan di lantai mana saja di bangunan-bangunan tua itu.

Itulah food centernya Lahore.

Kawasan ini mestinya akan indah. Dan menarik. Romantis. Kalau Pakistan sudah kaya kelak.

Untuk sementara ini ya begini dulu. Seadanya dulu. Toh kami datang di waktu malam. Sudah hampir pukul 21.00 pula. Yang kumuh-kumuh sudah tertutup gelapnya malam. Toh penerangan listrik di Pakistan juga tidak terlalu terang.

Orang Pakistan suka makan malam agak larut. Pun waktu kami meninggalkan resto ini. Sudah hampir pukul 24:00 malam. Masih banyak yang baru datang.

Sambil makan saya lebih banyak menatap menara masjid  Badsahi. Juga kubah-kubahnya.

Itulah masjid terbesar di Pakistan. Sebelum ada masjid Faisal di Islamabad. Yang dibangun dengan dana Raja Faisal dari Saudi Arabia.

“Di sini jangan bilang bahwa masjid terbesar itu ada di Indonesia. Masjid Istiqlal. Mereka tidak akan percaya. Untuk urusan Islam Pakistan merasa tidak boleh kalah dari mana pun,” ujar Ali Muhtadin, yang asli Bojonegoro itu.

Tapi masjid Badsahi memang hebat. Itulah masjid peninggalan kerajaan Islam Moghul. Yang berpusat di Agra, India. Pada abad ke-15.

Dari diskusi di bawah langit ini  saya tersadar: generasi milenial kita sudah termakan oleh istilah agenda Indonesia emas tahun 2045.

Di kampus mana pun saya menangkap kesan seperti itu. Mereka merasa seperti disiapkan untuk berperan pada tahun 2045. Yang disebut Indonesia emas.

Setiap kali diskusi di kampus itulah yang dibicarakan  melineal. Bahkan di SMA Nur Hidayah di Solo itu. Pun di kampus dalam dan luar negeri. Tapi ketika saya kejar bagaimana tahapan mencapai emas itu tidak ada yang bisa menjelaskan.

“Tahun 2045 itu nanti Anda umur berapa?” tanya saya.

“Umur 49,” jawab Fahmi. Yang ternyata juga ketua umum persatuan pelajar dan mahasiswa Indonesia (PPMI) Pakistan. Di seluruh dunia singkatannya PPI. Hanya di Pakistan ini ada tambahan huruf ‘M’.

Fahmi adalah alumni pondok modern Gontor Ponorogo. Aslinya Banyumas. Ayahnya kepala sekolah. Ibunya perawat. Ibunya lah yang dulu minta Fahmi sekolah di Gontor.

Sebelum ke Pakistan Fahmi mengabdi dulu untuk Gontor. Satu tahun. Bekerja di pabrik roti di Gurah, Kediri. Milik pondok Gontor juga. Lalu Fahmi tinggal selama 2 bulan di kampung Inggris. Di desa Pare. Tidak jauh dari pabrik roti itu. Untuk meningkatkan kemampuan bahasa Inggrisnya.

Kami pun membahas umur Fahmi yang 49 tahun itu. Apakah tidak terlalu telat. Untuk generasi melineal yang kini seumur Fahmi.

Saya jadi pengin ketemu siapa sih yang memasyarakatkan isyu tahun 2045 itu. Kok begitu jauhnya. Saya khawatir generasi melineal dibuat terlalu santai. Merasa tidak ada target cepat yang harus dicapai.

Di Pakistan mungkin memang sulit diajak maju cepat. Tapi Indonesia sebenarnya sudah lebih siap. Lima tahun lalu pendapatan perkapita kita sudah 5.000 dolar. Setidaknya sudah 4.500 dolar.

Akhir tahun ini mestinya sudah bisa 7.000 dolar. Begitulah  gambaran yang saya  perkirakan lima tahun lalu.

Tapi setelah lima tahun ini pendapatan perkapita kita justru turun. Menjadi 4.000 dolar. Gara-gara ada gejolak rupiah. Yang mestinya bisa dihindari. Kalau pemerintah kita sukses melakukan ekspor.

Bukan justru sukses impor.

Saya pun mengajukan satu pertanyaan pada mereka: apa yang bisa dipelajari dari Pakistan. Asumsi saya, tidak banyak yang bisa diperoleh  dari negeri ini. Kalau soal ilmu di Indonesia pun tidak kalah.

Jawaban Fahmi menarik.

“Kita belajar sabar pak,” ujar Fahmi.

“Setuju!” komentar spontan saya.

Saya pun sudah belajar sabar itu. Selama seminggu di Pakistan. Sabar dengan pelayanan yang lambat. Dengan antrian yang tidak tertib. Dengan lalu-lintas yang ‘masyaallah’. Dengan variasi makanan yang terbatas. Dengan perbedaan pendapat yang tajam.

Kata ‘masyaallah’ sengaja saya pergunakan di situ. Untuk menunjukkan kekaguman saya pada Pakistan: begitu banyak  tulisan ‘masyallah’ di Pakistan. Dalam huruf Arab bماشاءالله. Dalam berbagai variasi. Di gedung-gedung. Di toko-toko. Di kaca mobil.

Saya sering bertanya pada orang Pakistan: mengapa banyak tulisan ‘masyaallah’ itu. Mengapa misalnya tidak ada tulisan ‘subhanallah’.

Saya belum berhasil menemukan jawaban yang memuaskan. Saya pun minta tolong teman-teman mahasiswa itu. Untuk mencarikan jawaban filosofinya.

Malam itu kami juga diskusi… hahaha… sepakbola. Yang mengajukan agenda sepakbola itu Nuha. Yang sekolah hafal Quran tadi. Nuha begitu jengkel dengan pengelolaan sepakbola kita. Semangat sekali.

Nuha memang kelihatan agak ‘kacau’. Dari pesantren hafal Quran ia kuliah psikologi. Di Pakistan pula. Cita-citanya kelak membeli klub sepakbola dunia. Lewat bisnis.

Padahal sepakbola Pakistan…apanya yang bisa dipelajari. Ini negeri kriket. Bukan sepakbola. Lihatlah di jalan-jalan di kota Karachi. Banyak papan nama ‘Karachi City of Kriket’. Perdana menterinya pun pemain dunia kriket. Nuha mau bisnis sepakbola.

Bagus Asri Wibawa juga bercita-cita ingin bisnis. Ayahnya, orang Pringsewu, Lampung. Pedagang. Bagus juga lulusan Gontor. Pernah mengabdi untuk almamaternya itu satu tahun. Mengajar di pondok alumni di Taliwang, Sumbawa.

Sebelum ke Pakistan Bagus juga membekali bahasa Inggrisnya di kampung Inggris, Pare.

Menurut Bagus, Pakistan sulit maju karena sektariannya luar biasa. Fahmi juga berpendapat yang sama. Tapi tulisan ini sudah terlalu panjang. Untuk membahas sektarian ini. Mungkin di disway lain kali.

Mereka masih harus pulang ke Islamabad. Harus tetap kuliah. Saya juga belum istirahat sejak pukul 04:00 pagi.

Diskusi dengan mahasiswa selalu saja lupa lelah. Lupa ngantuk. Terlalu banyak topik yang bisa dibahas. Melihat itu mestinya kita bisa lebih cepat maju.

Atau tidak usah cepat-cepat? Tunggu tahun 2045 saja? Setelah saya tidak ada?

ماشاءالله

Masyaallah. (Dahlan Iskan)