eQuator.co.id – Inilah masjid Amerika terakhir yang saya datangi. Sebelum mendadak pulang ke tanah air.
Saya sengaja tidak bermalam di Dallas. Sudah sering. Cari tempat parkirnya sulit. Juga mahal. Di kota sebesar St Louis saja ampun-ampun. Satu malam Rp600.000. Apalagi kota sebesar Dallas.
Saya pernah parkir di Washington DC. Rp1 juta satu malam. Jangan tanya San Fransisco. Apalagi New York.
Hari itu saya pilih bermalam di kota DeSoto. Kira-kira Depok-nya Dallas gitu. Atau Sidoarjo-nya Surabaya. Parkirnya mudah. Tidak bayar pula. Kalau ada perlu ke Dallas tinggal naik mobil. Hanya 20 menit. Tidak ada macetnya.
Pilihan bermalam di DeSoto ini juga karena ini: ada masjid di dekatnya. Ini kan sudah pukul 6 sore. Dua jam setengah lagi buka puasa.
Saya belum tahu masjid seperti apa lagi di DeSoto ini. Yang penting dekat hanya 15 menit. Menurut Google.
Masalahnya, masjid itu di arah barat. Pada jam segitu matahari seperti melotot dari depan mata. Silaunya ampun-ampun. Sudah pakai kacamata hitam pun masih tidak ketulungan.
Garis biru di Google itu tidak terbaca jelas. Saya kesasar. Salah masuk highway. Lalu terbawa arus derasnya highway. Sampai jauh. Lalu salah lagi. Masuk highway yang lain lagi. Total menjadi setengah jam.
Alhamdulillah ketemu. Semula saya tidak percaya kalau masjidnya di alamat ini. Ini kan kompleks supermarket. Dan pusat jajan.
Saya pun mendongak. Memutar pandangan. Ke sekeliling komplek.
Oh… itu dia. Ada menara kecil. Di atas bangunan yang itu. Dengan cincin bulan di atasnya. Langsung saya percaya. Yang itu masjidnya.
Memang masih sepi. Yang tampak ramai adalah kios di seberang masjid. Kios burger. Juga di pom bensin di dekatnya. Atau di Supermercado Monterry. Ini pasti supermarketnya orang Mexico. Mungkin pemiliknya berasal dari kota Monterry. Tidak jauh dari Laredo.
Inilah masjid dengan lapangan parkir terluas. Jadi satu dengan lapangan parkir supermarket. Masjid DeSoto ini dulunya memang perkantoran. Dibeli tahun 1997. Dijadikan masjid.
Sambil menunggu maghrib, saya membuat video. Satu jamaah datang. Terlihat dari topi hajinya. Dan brewoknya. Sekalian ia saya masukkan video. Berasal dari Palestina.
Saya dipersilakan masuk. Lebih baik menunggu di dalam, katanya.
Betul. Masjid ini luas sekali. Untuk ukuran Amerika. Bisa untuk 400 orang.
Di depan tempat imam terlihat Quran jumbo. Dalam posisi terbuka. Di atas podium. Tulisannya besar-besar. Bisa dibaca oleh imam pun sambil berdiri di tempatnya.
Saya menduga tarawihnya nanti pasti panjang. Satu malam harus membaca Quran satu juz. Tapi, ini kan sudah hari ke 19 (saat itu). Kok baru dapat setengah ya?
“Memang begitu. Sembilan malam terakhir nanti dibuat lebih panjang,” ujar Qutaiba Abbasi, imam di masjid DeSoto.
Qutaiba ini masih muda. 31 tahun. Lahir di Amerika. Asal orangtuanya Afghanistan. Sukunya Pastun. Suku mayoritas di sana.
Saya bisa membayangkan karakter dan kepriyayian Qutaiba ini. Saya pernah membaca novel yang berlatar belakang Pastun. Suku yang berwatak keras, baik hati, priyayi dan fanatik agama.
Setidaknya saya sudah membaca tiga novel dengan latar belakang Pastun: ‘Kit Runner’, ‘Thousand Splendid Suns’ dan ‘And the Mountain Echoes’. Semua itu karangan Khaled Hussaini. Seorang dokter Amerika. Yang lahir di Afghanistan. Yang tumbuh sebagai anak di tengah meledaknya perang di sana. Lalu ikut orangtuanya mengungsi ke Amerika.
”Saya sudah tidak bisa bicara Pastun,” ujar Qutaiba. ”Kalau mendengarkan masih paham,” tambahnya. ”Kalau dulu ayah bertanya dalam bahasa Pastun saya jawab dengan bahasa Inggris,” kenangnya.
Ayahnya sudah lama meninggal. Juga ibunya. Dimakamkan di negara bagian Iowa.
Di Iowa itu juga Qutaiba kuliah: di Iowa State University. Ambil jurusan pendidikan. ”Saya ini guru,” gumamnya.
Kok bisa jadi imam?
Ayahnyalah yang mengajarinya membaca Quran. Ketika ia berumur 8 tahun. Ayahnya pula yang menginspirasi untuk mendalami agama. Ayahnya pula yang membuat ia belajar bahasa Arab.
Bagaimana cara Qutaiba mendalami agama? ”Saya masuk universitas terbuka,” kata Qutaiba. Ambil jurusan agama Islam. Sampai lulus.
Di UT itulah Qutaiba merasa ilmu agamanya memadai. Dan bisa berbahasa Arab. Di Amerika, katanya, hanya di Universitas Terbuka yang ada jurusan agama Islam.
Obrolan kami itu tersela terus oleh kian banyaknya orang yang masuk masjid. Yang semua menyalami Qutaiba.
Adzan pun berkumandang. Oleh yang Palestina tadi. Kurma dibagi. Air putih ambil sendiri.
Hari itu ada 40-an orang. Yang berbuka dan salat maghrib. Antre makannya pun jadi agak panjang.
Tapi saya tahu di panci yang mana ada makanan apa: saya tadi ikut bantu menyusunnya. Apalagi makanannya hanya tiga jenis: nasi briyani, salad sayur dan ayam. Itu pun terlihat jelas: pesanan dari catering. (dis)