eQuator – Menjelang Hari “H” pencoblosan saat ini, saya menduga beragam perasaan yang sedang dirasakan para calon kepala daerah. Sangat mungkin mereka merasa sangat tidak tenang.
Meski segala strategi telah siapkan dengan matang. Namun, berbagai kemungkinan bisa saja terjadi. Ini politik! Kerap diplesetkan “Bukan bagaimana caranya menang, tetapi bagamanapun caranya harus menang”.
Mempromosikan diri semanis mungkin di depan pemilih terkadang belum cukup. Perlu tambahan lain; menjatuhkan lawan. Caranya juga bermacam-macam dan tentu tidak perlu repot-repot ‘mengotorkan’ tangan sendiri untuk melakukannya.
Satu atau dua hari lagi, Pilkada serentak akan memasuki masa tenang. Jeda waktu ‘istirahat’ setelah masing-masing calon tungkus-lumus berkampanye ke sana-sini demi simpati.
Idealnya, masa tenang harus benar-benar tenang. Masa bagi para calon mengevaluasi strategi dan kampanye yang dilakukan. Sekali lagi, itu idealnya. Masalahnya kita hidup di alam riil.
Umumnya, masa tenang justeru masa yang tidak tenang, tegang, dan gelisah. Kewaspadaan para calon dan tim sukses meningkat, takut kalau-kalau mereka dicurangi lawan, baik dengan kampanye hitam (black campaign) maupun politik uang (money politic).
‘Intel’ pun dipasang di titik-titik yang dianggap rawan. Bergerak di bawah tanah, waspada pada setiap gerak-gerik lawan, untuk mengamankan suara, jangan sampai berpindah.
Setidaknya itu yang saya lihat selama ini dari beberapa calon kepala daerah. Dan kepada saya, beberapa politisi juga mengakui rawannya masa. tenang itu.
Kegelisahan itu memang cukup beralasan. Tidak sedikit tenaga, waktu dan uang yang dikorbankan untuk maju sebagai calon kepala daerah. Belum lagi tetek-bengek menggalang dukungan. Rasa-rasanya tidak kurang dari Miliaran Rupiah.
Sementara tidak semua uang tersebut merupakan uang pribadi. Bisa jadi dari sumbangan, bantuan, atau malah pinjaman. Kalah, selesai sudah! Gigit jari atau bahkan lebih ekstrem lagi, gila.
Beban itu terus menumpuk, mengingat janji-janji kampanye yang harus dipenuhi atau ‘jatah’ para pendukung dan tim sukses yang belum dibagi. Jadwal makan dan tidur pun berubah 180 derajat. Pendek kata, hampir tidak ada waktu untuk santai (tenang) di masa tenang itu.
Saya sendiri kemungkinan besar tidak sanggup dengan kondisi seperti itu. Apa karena tidak berbakat jadi politisi atau memang seperti itulah pertarungan politik? Wallahu ‘alam.
Namun yang pasti, perlu pembenahan etika berpolitik. Saya katakan etika, karena kecurangan yang kerap terjadi semuanya bermula dari rendahnya etika berpolitik.
Hukum sendiri terkadang tumpul begitu berhadapan dengan politik. Terlebih tidak semua pelanggaran dapat diseret ke ranah hukum.
Pertarungan politik, sejatinya tidak harus dipandang sebagai ‘siapa menang, siapa kalah’ atau sering kita istilahkan politik praktis, tetapi harus juga menjadi tontotan pembelajaran politik. Semua calon kepala daerah mempunyai peranan penting dalam mencerdaskan kehidupan berpolitik masyarakat.
Satu sisi, masyarakat juga mulai belajar cerdas. Bukan zamannya lagi menentukan pilihan berdasarkan lembaran Rupiah yang jumlahnya tidak seberapa itu. Lihat visi-misi dan rekam jejaknya (track record).
Tanpa mengenyampingkan peran penegak hukum dan penyelenggara Pemilu, menurut saya, semua ini harus dimulai dari partai politik sebagai penentu siapa yang bakal maju. Jika melulu mengandalkan ‘mahar’, tentu sulit memulai pendidikan politik.
Karena itu, partai harus kuat. Sehingga bisa lebih tinggi dari si calon. Dengan begitu, akan lebih mudah untuk melakukan seleksi, agar output-nya benar-benar orisinil.
Kita berharap, pertarungan 9 Desember nanti mencari yang terbaik di antara yang baik. Apapun hasilnya tetap dalam koridor semangat persatuan. Para kandidat yang bertarung pun bisa makan enak dan tidur nyenyak setelah itu. (Kiram Akbar)