Maruli, Kepala Kejaksaan yang Tak Patuh LHKPN

DIBIDIK KPK. Kepala Kejaksaan Tinggi Jatim, Maruli Hutagalung. F. Mahesa-Jawa Pos

eQuator.co.id – Jakarta-RK. Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Jawa Timur, Maruli Hutagalung, kembali mendapatkan sorotan. Selain keterkaitannya dengan kasus suap penanganan perkara, sebagai pejabat ternyata Maruli juga tak transparan dengan harta kekayaannya.

Indikasi tersebut terlihat dari data laporan harta kekayaan penyelenggara negara atau LHKPN di KPK. Ternyata, Maruli terakhir kali melaporkan hartanya ke KPK pada 2013. Saat itu dia masih menjabat Kajati Papua. Harta yang dilaporkan ketika itu hanya Rp 2,545 miliar.

Setelah menjadi Kajati Papua itu, setidaknya Maruli sudah dua kali berganti jabatan. Yakni Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan Agung dan Kajati Jawa Timur. Selama berganti jabatan itulah, Maruli tak pernah melaporkan lagi harta kekayaannya.

Pelaksana Harian (Plh) Kabiro Humas KPK Yuyuk Andriati mengatakan, sebagai penyelenggara negara yang baik, Maruli wajib melaporkan harta kekayaannya secara rutin.  “Ya seharusnya dia penuhi kewajiban sebagai penyelenggara negara untuk lapor LHKPN,” kata Yuyuk saat dihubungi, Jumat (28/10).

Kewajiban bagi penyelenggara negara menyerahkan laporan LHKPN tersebut tercantum dalam UU No 28 / 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme dan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Selain itu, kewajiban itu diatur dalam Keputusan KPK Nomor: KEP. 07/KPK/02/2005 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pemeriksaan dan Pengumuman Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara. Dengan ketentuan itu, maka penyelenggara negara berkewajiban untuk bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama dan sesudah menjabat. Serta, wajib melapor harta kekayaannya pada saat pertama kali menjabat, mutasi, promosi, dan pensiun.

Peneliti  Indonesian Legal Roundtable (ILP) Erwin Natosmal Oemar menyatakan, sebagai penegak hukum, Maruli harusnya tahu aturan dan mematuhinya. “Dia harusnya memberi contoh ke penegak hukum. Jangan malah enggan melaporkan kekayaan,” ucapnya. Erwin menambahkan, jika penegak hukum saja malas melapor, bagaimana dengan pejabat lainnya.

Sementara itu, kasus dugaan suap yang menyeret nama Kajati Jatim Maruli Hutagalung mendapat perhatian serius dari berbagai elemen masyarakat. Mereka pun mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera memeriksa pria dengan nama lengkap Elisier Sahat Maruli Hutagalung itu.

Peneliti ICW Febri Hendri menyatakan, KPK harus serius menangani perkara yang membelit Maruli. “Sebaiknya KPK segera memanggil Maruli,” terang dia kemarin (28/10).

Pemanggilan itu penting dilakukan agar penyidik KPK bisa memastikan apakah Maruli memang menerima aliran dana atau tidak. Sebab selama ini, si pemberi suap Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho dan istrinya, Evy Susanti kompak menyebut ada uang yang mengalir ke Maruli.

ICW meminta KPK segera memanggil Maruli, sebab perkara itu sudah cukup lama. KPK bisa menggunakan berita acara pemeriksaan (BAP) dan kesaksian Evy Susanti, istri Gatot Pujo sebagai data awal untuk menelusuri tindak pidana suap.

”Panggil Maruli dan mintai keterangan. Itu yang perlu dilakukan,” terangnya.

Dugaan keterlibatan Maruli dalam kasus suap penanganan korupsi dana bantuan sosial (bansos) terungkap dari pernyataan Evy Susanti, istri Gatot Pujo. Evy pernah menyebutkan secara jelas ada uang yang mengalir kepada Maruli. Kesaksian itu diungkap dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada 16 November 2015.

Kala itu, Evy menjadi saksi untuk kasus suap yang menjerat mantan Sekjen Partai Nasdem Patrice Rio Capella. Evy menyatakan, dirinya pernah mendapat laporan dari pengacaranya, O.C. Kaligis, bahwa ada uang yang sudah diserahkan pada Maruli Hutagalung yang saat itu menjabat sebagai direktur penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung.

Pernyataan Evy diungkapkan ketika dia menjawab pertanyaan Ketua Majelis Hakim Artha Theresia soal uang yang pernah digelontorkan untuk mengamankan kasus korupsi bansos di Pemprov Sumut. Evy mengatakan, dia mendengar dari O.C. Kaligis ada uang yang diberikan kepada pejabat Kejagung.

Hakim Artha pun bertanya, siapa pejabat kejagung yang menerima uang itu. Evy dengan tegas menyebutkan nama Maruli yang diduga menerima uang suap Rp 300 juta dari O.C Kaligis.

Erwin Natosmal Oemar menambahkan, KPK jangan ragu-ragu memanggil Maruli. Selama ini komisi tersebut terlalu berhati-hati ketika menghadapi pejabat kejagung yang terseret kasus korupsi.

”KPK harus tegas. Walaupun berhadapan dengan penegak hukum,” terang dia.

Kredibilitas KPK dipertaruhkan. Menurut dia, ini adalah tantangan bagi pimpinan KPK jilid empat. Jangan sampai masyarakat meragukan komitmen KPK memberantas korupsi. Erwin menyatakan, tidak boleh ada tebang pilih dalam penegakan hukum. Semua orang sama di mata hukum.

Ia menyatakan, KPK harus tegas dan tidak boleh diintervensi pihak lain. Jangan sampai ada lobi dan tawar menawar dalam penanganan kasus yang menyeret pejabat kejagung. Jika sudah ada alat bukti yang cukup, lembaga yang beralamatkan di Jalan HR Rasuna Said itu bisa menjerat Maruli.

Penyidik juga tidak boleh mempunyai idealisme ganda. Walaupun sebagian mereka ada yang berasal dari kejaksaan, mereka harus tetap melaksanakan tugas dengan baik. Jika ditemukan alat bukti, penyidik harus jujur dan berani menindak pihak yang notabennya atasan mereka di korps adhyaksa.

Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan menyatakan, dia belum bisa memastikan kapan Maruli akan diperiksa KPK. Menurut dia, ia masih menunggu perkembangan dari penyidik. Saat ini, anak buahnya masih terus bekerja mendalami kasus tindak pidana itu.

Sebelumnya, Basaria menyatakan, lembaganya sedang membuka penyelidikan terkait dugaan suap yang menyeret nama Maruli. Ia meminta semua pihak sabar menunggu proses penyelidikan yang dilakukan petugas KPK.

“Ditunggu ya. Masih diselidiki,” terang dia. Penyelidikan dilakukan untuk membongkar suap yang berkaitan dengan kasus dana bantuan sosial (bansos) di Pemprov Sumatera Utara (Sumut).

Penyelidikan dilakukan bukan hanya berdasarkan apa kata orang. Tapi penyelidikan berdasarkan pada fakta yang ditemukan petugas KPK. “Fakta itu berdasarkan bukti-bukti yang ada,” terang dia.

Menurutnya, penyelidikan tidak boleh berdasarkan persepsi. Harus betul-betul ada alat bukti untuk menjerat seseorang menjadi tersangka.

Walaupun, kata dia, saksi yang diperiksa membantah memberikan uang kepada pihak yang diduga menerima suap, tapi kalau penyidik mempunyai alat bukti, maka KPK akan tetap melanjutkan kasus tersebut. Basaria masih enggan menjelaskan apakah pihaknya akan menetapkan Maruli sebagai tersangka.

Sementara itu, Maruli Hutagalung terlihat bingung menjawab saat dikonfirmasi mengenai kasus bansos Pemprov Sumut. Dia mengatakan kasus itu sudah ditutup oleh pimpinan KPK periode sebelumnya. Sehingga dia akan menolak jika dipanggil KPK untuk dimintai keterangan.

”Dasarnya apa memeriksa saya?” ujar pada wartawan Radar Surabaya (Jawa Pos Grup).

Maruli merasa kasusnya di KPK sengaja diungkap lagi karena dia menahan Dahlan Iskan. Padahal, pernyataan Basaria tentang pengembangan kasus yang diduga melibatkan Maruli diungkapkan pada banyak media. Saat persidangan Gatot dan Evy masih jalan, Maruli bahkan pernah memohon pada Jawa Pos agar tak menayangkan pemberitaan mengenai penyebutan namanya. (JPG)