eQuator – Menjadi anggota Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) seperti masuk dalam kubangan dosa yang tidak terampuni. Setelah keluar pun, dosa-dosa itu terus menghantui.
Mereka dianggap ‘makhluk najis’ yang tidak layak menetap dimanapun. Dikucilkan di kampung halaman, diusir di rantau orang. Hidup penuh dengan ketakutan dan kekhawatiran.
Peristiwa pembakaran mobil dan camp mereka di Kabupaten Mempawah kemarin, membuktikan betapa beratnya menyandang status ‘eks Gafatar’. Tidak ada lagi tempat untuk mereka diami.
Saya pribadi tidak sanggup membayangkan, bagaimana pilunya anak-anak eks Gafatar yang masih kecil-kecil itu melihat tempat tinggalnya dibakar. “Apa salah kami?”.
Massa dengan bebas membakar mobil, yang parahnya justeru dilakukan di halaman Kantor Bupati, di depan bupati dan aparat. Masih tidak puas, camp-camp mereka juga dibakar.
Sebegitu lemahkah pemerintah dan aparat dalam melindungi hak-hak sipil warga negara? Atau memang menganggap eks Gafatar memang tidak perlu dilindungi?.
Ada hal yang harus kita cermati dalam kasus ini. Pertama, katakanlah Gafatar adalah organisasi terlarang, bukankah para eks Gafatar itu adalah korban dari perekrutan? Bagaimana mungkin korban diperlakukan lebih dari tersangka?.
Sangat boleh jadi mereka masuk Gafatar lantaran ketidaktahuan, bujukan atau setelah melalui proses cuci otak (brain wash). Harusnya ini menjadi pertimbangan. Tugas pemerintahlah melindungi mereka, dalam kapasitas sebagai warga negara yang sah di Republik Indonesia. Sayangnya itu tidak terjadi.
Lain halnya ketika mereka melakukan pelanggaran hukum. Itupun tidak boleh langsung main usir, main bakar. Ada prosedur hukum yang harus dilalui, hingga seseorang diputus bersalah oleh pengadilan.
Peristiwa pembakaran itu tentu sangat melukai rasa kemanusiaan kita. Jangan lupa, eks Gafatar itu juga manusia, sama seperti kita, berkeluarga, beranak dan beristeri. Alasan apapun, menurut saya, tidak bisa dibenarkan melakukan pembakaran dan pengusiran di negara yang berdasarkan hukum ini.
Alquran sendiri sangat tegas tentang hukum kemanusiaan ini. “Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya” (QS. Al-Maidah: 32).
Kedua, jika dikatakan Gafatar adalah jelmaan aliran al-Qiyadah al-Islamiyah yang difatwa sesat itu, juga bukan berarti boleh menjadi sasaran anarkis dan amuk massa. Seperti saya kemukakan, mereka juga korban. Banyak faktor penyebabnya, bisa karena bujukan, paksaan, ikut-ikutan atau itu tadi, cuci otak.
Di sinilah peran para tokoh agama, ulama, cerdik pandai untuk memberikan pembinaan dan penyuluhan. Pemerintah melalui Kementerian Agama dan Ormas-oramas Islam mempunyai tanggungjawaba besar di sini. Memberikan pencerahan agar para eks Gafatar itu kembali ke ‘jalan yang benar’.
Itu memang bukan pekerjaan mudah. Tidak sama dengan ceramah-ceramah ketika diundang pada peringatah hari-hari besar keagamaan. Perlu upaya sungguh-sungguh dari para juru dakwah, karena bisa jadi akan banyak halangan. Tetapi itulah tugas berat para juru dakwah.
Kita tentu tidak habis pikir, orang-orang yang seharusnya ‘diselamatkan’ ini justeru diusir, diintimidasi, tempat tinggal mereka dibakar. Belum lagi bagaimana nasib anak-isteri mereka setelah peristiwa itu.
Sebagai muslim, mari sama-sama tunjukkan bahwa kita adalah pengikut Nabi Muhammad Saw. Nabi yang penuh cinta dan kasih sayang, meski terhadap binatang sekalipun. Nabi yang sangat santun dan halus budi pekertinya. Lebih dari itu adalah Nabi yang memanusiakan manusia secara manusiawi dan menjunjung nilai-nilai kemanusiaan.
Perlakuan yang menyakitkan justeru akan membuat para eks Gafatar itu menjauh. Bisa jadi mereka yang tadinya sudah ‘tobat’ justeru kembali setelah merasakan tidak adanya pengayoman dari berbagai pihak. Militansi mereka boleh jadi semakin berkobar. Dan ini bisa berbahaya. Wallahu‘alam. (Kiram Akbar)