Berdiri. Di alam terbuka. Malam hari. Di suhu yang minus satu derajat.
Saya lihat di sana-sini terserak salju tipis. Baju sudah rangkap empat. Masih juga kedinginan. Mungkin karena saya tidak mengerti apa yang saya tonton.
Saya hanya menemani cucu-cucu yang ingin ke Universal Studios –di luar kota Beijing, tadi malam.
Lokasinya di depan istana Harry Potter.
Salah satu cucu berusaha menjelaskan jalan cerita adegan magic Harry Potter. Dia sendiri pakai baju, dasi. dan kacamata ala Harry Potter.
Pikiran saya terbagi dua: sebagian ke ceritanyi. Sebagian ke medsos yang mempersoalkan gagasan Gibran Rakabuming Raka yang mengalokasikan dana Rp 400 triliun untuk makan siang gratis di seluruh Indonesia.
Ada satu ejekan di medsos yang terus hidup di benak saya. “Rp 400 triliun kok hanya untuk mengisi toilet,” tulis seorang komentar di medsos.
Banyak sekali reaksi sejenis. Dengan nada yang mirip-mirip. Mungkin ada yang mengatakannya berdasar suara hati nurani. Ada juga yang karena beda pandangan politik.
Saya mencoba memahami bagaimana pelaksanaan makan gratis Rp 400 triliun itu. Siapa yang diberi makan. Siapa yang membuat makanan. Siapa yang menyalurkan. Bagaimana agar dana itu tidak bocor ke kantong korupsi.
Saya belum membaca rincian program yang menghebohkan itu. Debat Cawapres juga tidak membahasnya. Saya pun khawatir jangan-jangan Gibran terpilih sebagai wapres lalu dana Rp 400 triliun itu dianggarkan.
Lalu bagaimana menjaga Rp 400 T itu agar tidak masuk WC para koruptor?
Ingatan saya ke Banyuwangi –saat Menteri Abdullah Azwar Anas masih menjabat bupati di sana.
Anas juga mengalokasikan dana APBD puluhan miliar rupiah untuk memberi makan gratis penduduk. Yakni penduduk miskin, janda, orang tua, dan yang tidak berdaya lainnya.
Dana itu ternyata sekaligus untuk menggerakkan ekonomi di pedesaan. Juga untuk membangkitkan wirausaha kecil di desa.
Anas punya daftar lengkap siapa yang berhak mendapat makan gratis. Di RT berapa, RW mana, kelurahan/desa apa. Setiap 50 orang dikelompokkan berdasar lokasi terdekat.
Untuk memberi makan kelompok 50 orang itu ditunjuk satu pengusaha catering UMKM terdekat.
Maka muncul pengusaha-pengusaha kecil bidang katering di desa-desa. Yang belanja bahannya pun di desa. Uangnya muter di desa.
Masyarakat desa, juga perangkatnya, diberi tahu berapa anggaran sekali makan itu. Agar ada kontrol dari masyarakat apakah UMKM-nya mengambil untung terlalu besar.
Di Banyuwangi program itu berjalan. Pagi hari pengusaha kecilnya mengantarkan nasi ke alamat penerima. Sorenya mengantar nasi lagi untuk makan malam, sambil mengambil rantang yang sudah kosong. Begitu seterusnya.
Tidak ada celah korupsi di Banyuwangi. Juga tidak terjadi komplain atas kualitas makanan –dibandingkan dengan anggaran. Juga tidak terjadi catering besar mengambil alih beberapa katering kecil.
Ratusan usaha kecil katering pun hidup dari program Anas tersebut. Saya pernah ke rumah-rumah penerima makan gratis itu. Saya kagum dengan tata-cara pemberian makan gratis di sana.
Apakah kelak penggunaan dana Rp 400 triliun dibuat seperti yang terjadi di Banyuwangi? Saya tidak tahu.
Setidaknya, kalau dana itu jadi menggelontor, saya berharap bisa mengambil model makan gratis di Banyuwangi.
Kalau pun misalnya yang terpilih ternyata Anies Baswedan atau Ganjar Pranowo, tetap saja cara Banyuwangi tersebut bisa jadi contoh program yang berjalan baik.
Maka kalau dana Rp 400 T itu jadi menggelontor setidaknya tidak akan mengisi satu-dua WC, melainkan puluhan ribu WC.(Dahlan Iskan)