Luka Lama

Semua bisa merasakan: betapa irinya Trump.

 

Iri kepada Putin.

 

Iri kepada Xi Jinping.

 

Iri pada kekuasaan mereka berdua. Yang tidak dimiliki oleh seorang Presiden Amerika.

 

Betapa gemes tangan Presiden Donald Trump yang mungil itu. Melihat demo yang berhari-hari –di banyak kota di Amerika.

 

”Kita malu dilihat di seluruh dunia,” ujar Trump dua hari lalu seperti dikutip media di AS.

 

Lantas ia perintah para gubernur. Untuk mengerahkan tentara. Agar pendemo itu dimasukkan penjara. Sepuluh tahun.

 

Sial.

 

Tidak ada gubernur yang mendengarkannya.

 

Padahal sudah ia tumpahkan kejengkelannya kepada para gubernur itu. Melalui pidato dan tweet-nya. ”Kalian itu lemah sekali,” sergah Trump kepada para gubernur negara bagian itu. ”Kalian harus dominan. Kalau tidak, kalian akan dilibas,” tambahnya –kurang lebih.

 

Sungguh sial.

 

Tidak satu pun gubernur yang hirau.

 

Justru para gubernur itu bergantian mengecam Presiden Trump. ”Ucapan-ucapan Presiden itu justru memperbesar demo,” ujar Gubernur Negara Bagian Illiois, J.B. Pritzker. ”Tiap hari ucapan Presiden hanya menambah sentimen ras,” katanya.

 

Gubernur New York Andrew Cuomo tidak kalah pedasnya. ”Inilah presiden Amerika yang akan mengerahkan tentara untuk perang melawan rakyat Amerika,” katanya.

 

Demo di New York juga besar kali ini. Inilah untuk kali pertama, sejak 70 tahun lalu, sampai diberlakukan jam malam.

 

Kata Cuomo: Trump itu sampai mengerahkan tentara untuk mendesak mundur pendemo agar ia bisa mejeng berfoto di depan gereja.

 

Trump memang ke gereja kemarin. Lalu berfoto di situ. Dengan mengacungkan Injil di tangannya. Maksudnya: ia tidak takut keluar dari Gedung Putih –untuk ke gereja itu.

 

Itu sebenarnya untuk menjawab olok-olok di medsos –bahwa Trump itu ternyata pengecut.

 

Sebelum itu memang ramai berita ini: Trump sampai sembunyi di ruang bawah tanah. Ketika ribuan pendemo mendekat ke sekitar Gedung Putih.

 

Inti olok-olok itu: Trump hanya garang di podium dan di medsos. Tapi ternyata kegitu gocik  –sampai sembunyi di bungker.

 

Di bawah gedung putih memang tersedia bungker persembunyian. Untuk kalau-kalau ada ancaman yang gawat –misalnya terorisme.

 

Gubernur Colorado, Jared Polis, juga menolak pengerahan tentara. Gubernur Polis mengajak Wali Kota Denver –kota terbesar di Colorado– untuk bikin pernyataan bersama. ”Pengerahan tentara hanya akan memperburuk keadaan,” kata mereka.

 

”Denver bukan kota Little Rock tahun 1957,” ujar Gubernur Colorado itu. Maksudnya: betapa picik Trump.

 

Itulah tahun terakhir –tahun 1957– tentara dikerahkan di dalam negeri. Yakni ke kota kecil Little Rock di negara bagian gersang Arkansas. Yakni untuk mengawal anak-anak kulit hitam agar aman masuk ke sekolah campuran.

 

Sebelum itu –di banyak negara bagian di selatan–  sekolah dipisahkan: anak kulit hitam tidak boleh sekolah di sekolah kulit putih.

 

Masih banyak gubernur lain yang bersikap serupa.

 

Pun kepala polisi di Houston, Texas, ini. Namanya: Hubert Arturo Acevedo. Bukan main tajam kata-katanya.

 

Kemarin itu Acevedo diwawancara CNN: ”Kalau Presiden tidak memiliki kata-kata yang tepat lebih baik tutup mulut,” ujarnya.

 

Acevedo adalah RINO – -Republican in Name Only. Ia separtai dengan Trump tapi tidak aktif. Ia lahir di Havana, Kuba 55 tahun lalu. Saat berumur 4 tahun dibawa orang tuanya bermigrasi ke Amerika.

 

Orang seperti Acevedo punya keyakinan polisi bisa mengatasi semua itu –kalau Presiden tidak justru bikin panas.

 

Demo yang meluas itu, Anda sudah tahu, akibat tewasnya George Floyd yang kulit hitam. Yang mati di dengkul polisi kulit putih di Minneapolis (Lihat Disway kemarin).

 

Tapi itu hanya pemicu. Akarnya sangat dalam: hubungan antar-ras.

 

Karena itu salah satu sasaran demo tersebut adalah patung. Di Amerika –di beberapa tempat– masih berdiri patung tokoh konfederasi.

 

Patung itulah yang kini jadi sasaran. Ada yang dirobohkan ramai-ramai. Atau dicoreti kata-kata kotor.

 

Itulah patung yang dibangun untuk mengobati kekecewaan lama: gagalnya usaha 13 negara bagian di Selatan untuk merdeka dari Amerika Serikat.

 

Wilayah-wilayah Selatan itu mengizinkan perbudakan. Orang kulit putih jadi juragan, orang kulit hitam jadi budak. Perbudakan itu dihapus oleh Presiden Abraham Lincoln –dari wilayah utara.

 

Orang Selatan itu bersatu mendirikan negara Konfederasi Amerika. Negara baru itu punya bendera sendiri –yang masih sering dikibarkan di acara-acara kampanye besar Donald Trump.

 

Abraham Lincoln mengerahkan pasukan untuk memerangi separatis itu. Terjadilah perang sipil. Selama empat tahun: 1861-1865.

 

Selatan kalah. Amerika Serikat kembali utuh –di permukaan.

 

Naiknya Barack Obama –kulit hitam– sebagai Presiden Amerika sangat mengecewakan pemuja kulit putih.

 

Ucapan-ucapan Donald Trump selama ini sering dinilai membela supremasi kulit putih.

 

Itu mengingatkan luka lama.

 

Padahal –seperti dalam buku ”Patahan Garis Politik”-nya Randu Alamsyah– ”luka lama itu perlu diingat hanya untuk merasakan pedihnya”. (Dahlan Iskan)