Lomba Cepat

Oleh: Dahlan Iskan

Sup Kelelawar di Wuhan

Berita buruknya: korban virus Wuhan bertambah terus. Sampai kemarin sudah 106 yang meninggal. Hampir semuanya di Kota Wuhan –ibu kota Provinsi Hubei.

Berita baiknya: yang sembuh pun terus bertambah. Sudah mencapai 70 orang.

Hari-hari ke depan kita seperti menanti hasil lomba lari: mana yang lebih cepat. Pertambahan yang meninggal atau kemenangan yang sembuh.

Koran harian 人民日报 juga mengungkap data berikut ini. Dari seluruh korban yang ada hanya 0,6 persen yang di bawah umur 15 tahun.

Menurut Harian Rakyat itu yang terjangkit itu umumnya orang yang memang punya riwayat sakit yang terkait pernapasan.

Kian hari juga kian jelas: bagaimana proses penularannya. Penelitian terhadap pasien terus dilakukan.

Proses penularan utamanya terjadi lewat dua cara: pertama, terkena cairan yang berasal dari organ pernapasan. Cairan itu memercik dan menempel ke orang lain. Kedua, bersentuhan dengan anggota badan/pakaian penderita.

Contoh yang pertama adalah: dari bersin atau batuk. Ketika bersin atau batuk itu ada percikan cairan yang mengenai orang lain. Asal percikan dari batuk atau bersin itu pasti dari rongga pernapasan.

Contoh yang kedua adalah kalau kita salaman atau cipika-cipiki dengan penderita. Atau bersenggolan. Atau kontak badan seperti apa pun.

Artinya, virus itu tidak berterbangan ke sana ke mari lalu hinggap ke orang lain. Karena itu kasus terbanyak yang tertular adalah anggota keluarga penderita sendiri.

Sedang yang bukan keluarga termasuk jarang. Misalnya sopir bus di Jepang. Yang baru saja mengantar rombongan turis dari Tiongkok. Ia terkena virus Wuhan lantaran terjadi kontak anggota badan.

Hanya saja, sejauh ini belum ada penderita di luar Tiongkok yang sampai meninggal dunia.

Menurut harian itu untuk penderita tingkat awal diperlukan perawatan selama seminggu. Tapi untuk yang sudah agak serius perlu perawatan dua minggu atau lebih.

Saya belum mendapat konfirmasi yang sembuh-sembuh itu diberi obat apa. Saya memang mendapat info dari Tiongkok tapi belum bisa dipegang kebenarannya. Yakni digunakannya hormon dan antibiotik. Hormon-lah yang mempercepat tumbuhnya sel-sel tubuh yang baru dan sehat. Sedang antibiotik –anda sudah tahu kegunaannya.

Juga belum jelas hormon jenis apa yang disebut-sebut itu.

Ibaratnya virus itu dihadapi dari dua arah: tubuh diperkuat dan virus diperlemah. Tapi jangan dulu informasi ini dipegang. Saya masih terus menunggu konfirmasi dari sana.

Berita optimis lainnya: WHO tidak menganjurkan diadakannya evakuasi orang-orang asing yang ada di Hubei. Badan kesehatan dunia itu optimistis dengan keseriusan pemerintah Tiongkok dalam menangani virus ini.

Memang banyak negara yang mulai mengevakuasi warga mereka. Jepang dan Korea sudah mengirim pesawat khusus ke Wuhan.

Sedang Singapura memilih mengeluarkan aturan baru: siapa pun yang mendarat di Singapura diperiksa. Apakah mereka dari Hubei atau pernah ke Hubei atau pernah lewat Hubei dalam 14 hari terakhir.

Kalau jawabnya ‘ya’ mereka harus masuk karantina selama 14 hari. Tidak peduli mereka sudah terkena virus atau belum. Tidak peduli warga negara mana pun.

Kalau dalam 14 hari mereka baik-baik saja barulah boleh masuk Singapura.

Bagi yang tidak jujur, lalu ketahuan –apalagi ternyata terkena virus– akan didenda Rp 110 juta.

Memang seseorang terkena virus atau tidak baru diketahui 14 hari kemudian. Atau sebelum itu.

Misalnya seseorang terkena virus Wuhan. Tapi belum menunjukkan gejala sakit berarti virus itu masih dalam masa inkubasi. Dalam masa seperti itu virus tersebut belum bisa menular ke orang lain.

Virus Wuhan ini, tulis Harian Rakyat itu, tidak sama dengan virus SARS di tahun 2003 dulu. Tapi sangat mirip. Kemiripannya mencapai 85 persen.

SARS dulu asalnya dari luwak. Sedang virus Wuhan ini dari ular. Tapi dua-duanya bersumber dari satu binatang: kelelawar.

Dalam kasus SARS virusnya dari kelelawar ke luwak lalu ke manusia. Dalam kasus Wuhan virusnya dari kelelawar ke ular lalu ke manusia.

Kini Tiongkok melarang keras penjualan binatang-binatang liar seperti itu. Dendanya sangat besar.

Bicara kelelawar saya jadi ingat rumah saya di Surabaya. Tiap pagi banyak terlihat kotoran kelelawar di lantai musola. Yang letaknya di gasebo halaman belakang.

Istri saya meminta agar Pak Man mengusir kelelawar itu selamanya. Saya melarangnya. Saya adalah penggemar lagu ‘Kelelawar Sayapnya Hitam’ dari Koes Ploes.

Setelah meledak kasus Wuhan ini saya minta maaf pada istri. Tapi sarang kelelawar itu ternyata sudah lama hilang. Mungkin selama ini Pak Man ternyata lebih mendengar ucapan istri saya. Toh saya pergi terus.

Mungkin juga karena musim mangga sudah lama berlalu. Rupanya empat pohon mangga di halaman saya jadi daya tarik kelelawar. Ditambah empat pohon mangga lagi di luar pagar.

Saya juga jadi ingat luwak di desa saya di Magetan. Waktu kecil dulu saya sering ikut berburu luwak. Yang suka bersembunyi di dalam rumpun bambu berduri.

Luwak itu menjadi musuh orang desa –suka mencuri ayam di pekarangan. Ayam itu sudah berbulan-bulan dipelihara. Begitu besar dimakan luwak.

Waktu kecil saya juga suka ke bawah pohon mangga di halaman tetangga. Khususnya di waktu subuh. Itulah saat yang tepat untuk berburu mangga yang jatuh ke tanah. Yakni mangga yang sebagiannya sudah dimakan kelelawar. Terutama bagian yang dekat dengan tangkai. Yang membuat mangga itu jatuh.

Mangga yang jatuh karena dimangsa kelelawar adalah mangga yang pasti manisnya: cukup tuanya.

Kini saya kagum dengan masa lalu itu. Makan sisa-sisa kelelawar kok ya sehat-sehat saja. Padahal, dari kacamata virus Wuhan ini, itu bahaya sekali. Pasti ada sisa-sisa air liur kelelawar di buah itu. Apalagi mangga itu langsung saya makan begitu saja –tanpa dicuci atau dikupas.

Mungkin suhu udara Indonesia yang tropik membuat virus tersebut tidak bisa berkembang. Iklim di negara kita kelihatannya lebih memungkinkan jenis virus lain yang berbiak pesat.

Misalnya virus jiwascoronasraya. (Dahlan Iskan)