Di perhuluan Sungai Mandai, Desa Nanga Raun, Kecamatan Kalis terdapat tiga lokasi keramat yang menjadi tujuan para wisatawan. Yaitu Bambu Pangaloi, Batu Tampah dan Batu Tingkeh.
Andreas, Putussibau
eQuator.co.id – Ketiga lokasi tersebut memiliki sejarah dan mistisnya masing-masing. Dulunya, masyarakat setempat menjadikan tempat-tempat keramat ini patokan ketika hendak beraktivitas mencari rezeki. Apakah berladang, berkebun, berburu dan sebagainya.
Bambu Pangaloi misalnya. Menurut keyakinan Suku Dayak Oloung Daan, sejarahnya bermula ketika Pangaloi sengaja datang dari khayangan ke bumi. Pangaloi turun bertujuan untuk mengawal kehidupan orang-orang suku Dayak Oloung Daan.
“Pangaloi dulunya tinggal sendiri di Bukit Nyilong yang terletak di Dusun Krean Desa Rantau Bunbun Kecamatan Kalis. Sehari-hari Pangaloi sering berpergian untuk berburu dalam hutan bersama ke tiga anjing miliknya,” cerita Aloisius Lugit, tokoh masyarakat Desa Nanga Raun, saat ditemui pekan lalu.
Kemudian sambung Aloisius, daging binatang hasil buruan Pangaloi setiap harinya di potong di atas Batu Tampah. Setelah selesai memotong-motong daging, seperti biasa Pangaloi beristirahat. Namun hari itu, ketika Pangaloi sedang beristirahat ketiga anjingnya yang sedang menjilat-jilat daging yang tersisa di Batu Tampah itu berkelahi. Akibatnya salah satu anjing Pangaloi mati.
“Ketika terbangun dari tidurnya dan melihat anjing yang paling disayang dan diandalkannya untuk berburu mati di atas batu Tampah, Pangaloi sangat marah. Ia melempar batu Tampah tersebut dari atas bukit Nyilong sampai ke Sungai Mandai,” tuturnya.
Setelah melempar Batu Tampah, Pangaloi pun menguburkan jasad anjing di seberang Nanga Mayai. Kemudian, di atas kuburan anjing tersebut ditanamnya dengan serumpun bambu. Pangaloi berpesan kelak bambu tersebut akan menjadi patokan bagi masyarakat sekitar. Bila ujung bambu tersebut terkulai ke suatu arah, maka carilah rezeki ke daerah yang ditunjuk tersebut.
“Sebab di situlah tempat yang memiliki banyak rezeki,” pungkasnya.
Jika ujung bambu itu mengarah ke timur maka Kampung Rantau Bunbun lah yang banyak dapat rezeki. Namun bila mengarah ke barat, maka Dusun Tilung dan daerah sekitarnyalah yang banyak mendapat rezeki.
“Tapi jika bambu itu bujur ditengah-tengah, maka hanya Dusun Tilung saja yang berezeki,” jelas Aloisius.
Dikatakannya, dari dahulu sampai sekarang jumlah bambu yang terletak di bawah kuburan anjing kesayangan Pangaloi tersebut tidak pernah lebih dari tujuh batang.
“Paling banyak jumlah batang bambu itu tujuh, namun biasanya berkurang,” tukasnya.
Tidak hanya Bambu Pangaloi, Batu Tampah juga menjadi patokan masyarakat setempat dalam mencari rezeki. Misalnya, jika sampah daun banyak terdapat di sebelah hulu Batu Tampah, maka warga kampung Rantau Bunbun yang akan banyak dapat rezeki. Namun bila sampah daun banyak terdapat di sebelah hilir Batu Tampah, warga Tilung dan sekitarnya yang banyak dapat rezeki.
“Rezeki itu berupa panen padi yang berlimpah, banyak dapat binatang buruan seperti daging rusa, babi, ikan besar dan sebagainya,” tuturnya.
Sementara tempat keramat lainnya yaitu Batu Tingkeh (Batu Coba). Awalnya batu ini milik dari Bungai dan Tanggui, yaitu panglima besar Dayak Kalimantan Tengah. Pada masanya, mereka hendak menguasai Batang Mandai yang saat itu masih di kuasai oleh panglima perang Lagisiding suku Dayak Oloung Daan. Sebelum datang ke Batang Mandai, kedua Panglima Besar Kalteng tersebut telah mendengar kabar terkait kesaktian Panglima Lagisiding.
Kendati begitu, mereka terus mencari cara agar dapat menguasai Batang Mandai. Sampai akhirnya mereka berinisiatif mengajak Panglima Lagisiding untuk berlomba berlari di atas air sambil membawa batu Tingkeh dari Sungai Meroin hingga ke Sungai Nanga Daan.
“Tantangan itu diterima Panglima Lagisiding. Kemudian dilakukanlah perlombaan dan akhirnya kedua panglima Kalteng itu pun kalah, karena batu Tingkeh yang mereka bawa terjatuh di karangan sungai Mandai,” kisah Aloisius.
Menurut cerita, dahulunya batu Tingkeh sangat kecil. Namun karena sering diberi makan oleh masyarakat setempat melalui ritual khusus dengan menyajikan pulut (ketan), rokok, sirih pinang, ayam, babi dan darah ayam, akhirnya menjadi besar.
“Biasanya orang kami ketika hendak bekerja dan pulang bekerja selalu memberi makanan kepada Batu Tingkeh,” demikian diceritakan Aloisius. (*)