eQuator.co.id – Saya bingung. Dua hari putus hubungan. Saya tilpon tidak diangkat. Saya WA tidak dibalas.
Saya mulai khawatir: sakitkah ia? Di manakah ia?
Yang saya cari itu Joko Intarto. Yang mengatur tulisan-tulisan saya. Agar bisa muncul di disway.id. Tepat waktu.
Mas Jokolah yang membuat saya membangun disway. Yakni saat ia tahu. Kok tulisan saya tidak pernah muncul lagi di koran. Ia pun tahu. Saya tidak bekerja di koran itu lagi.
“Saya ini pengagum tulisan pak Boss. Ayolah nulis terus,” katanya suatu saat. Ia selalu memanggil saya ‘pak boss’. “Saya bikinkan korannya. Di dunia maya. Gak perlu kertas. Gak perlu mesin cetak,” katanya.
Saya tahu maksudnya: bikin blog. Saya ragu. Selama ini toh sudah banyak blog yang menggunakan nama Dahlan Iskan. Atau Iskan Dahlan. Atau dahlan_iskan. Atau iskan_dahlan. Atau bentuk lain yang mengkombinasikannya dua kata itu.
Saya bilang ke mas Joko: saya tidak mau bikin kin blog. Biarlah blog yang menggunakan nama saya itu tetap dikira blog saya.
Saya tidak keberatan. Bahkan berterima kasih. Toh isinya baik: meng-up-load tulisan-tulisan saya. Atau tulisan tentang saya.
Tapi mas Joko mendesak terus. Saya menyerah. Saya tahu orang Grobogan Jateng ini tulus. Selalu tulus. Sejak muda dulu.
Saya ingat ini: saat saya masih memimpin koran itu. Kantornya masih di desa: Karah Agung Surabaya. Untuk mengirim koran ke luar kota pun harus dipikul. Ke jalan yang belum jadi.
Waktu itu saya lagi ingin bikin koran di Palu. Di kota yang amat kecil. Kala itu. Saya tidak tahu siapa yang bisa memimpin koran di Palu.
Kebetulan hari itu ada rapat umum karyawan koran Surabaya itu. Biasa. Lesehan di lantai. Saya mulai tidak kenal beberapa karyawan. Yang sudah mulai banyak. Apalagi karyawan yang baru. Yang masih muda-muda belia.
Di akhir acara saya umumkan: rencana bikin koran di Palu. Saya ceritakan betapa kecilnya kota Palu. Betapa sepinya. Betapa jauhnya.
Saya tidak ingin menugaskan seseorang ke sana. Tidak tega. Khawatir menerima tugas itu dengan setengah hati. Mana ada yang mau ditugaskan ke daerah seperti itu? Tanpa janji kesejahteraan yang terjamin?
“Saya ingin tahu. Adakah di antara kalian yang mau ke Palu? Memimpin koran di sana?, “ kata saya. Dengan setengah hati. Dengan pesimismenya yang tinggi.
Tantangan itu saya ucapkan sambil setengah bercanda. Tidak berharap sedikit pun akan ada yang unjuk tangan.
Ternyata ada sebuah tangan terangkat ke atas. Dari kerumunan di belakang sana. Anak muda sekali. Anak baru. Atau agak baru.
Saya kaget. “Siapa yang angkat tangan itu,” tanya saya.
Semua tertawa. Tidak jelas apa maksudnya.
“Saya pak. Joko Intarto. Wartawan baru. Saya mau ditugaskan ke Palu,” katanya lantang.
Hah? Wartawan baru?
Ganti saya yang kelabakan. Akankah koran itu akan dipimpin seorang wartawan baru? Yang umurnya belum 25 tahun? Yang baru lulus Undip Semarang? Yang masih bujang? Menjabat redaktur pun belum pernah?
Saya putuskan detik itu juga: jadi!
Rasanya mas Jokolah pimpinan termuda dalam sejarah koran di Indonesia.
Mas Joko profil anak muda yang ringan kaki. Apa saja dikerjakan. Tanpa perhitungan untung rugi. Bagi dirinya.
Sejak ia berhenti dari koran itu saya hanya sesekali bertemu. Saya tahu: mas Joko mengerjakan bisnis jasa. Terkait internet.
Ia punya kapasitas menangani tulisan-tulisan saya. Ia mampu mendesain blog khusus untuk saya.
Tapi, apa nama blognya? Saya sih terserah saja.
Mas Joko mengajukan sejumlah nama. Termasuk “Disway”.
Diambil dari judul salah satu buku. Yang berbicara tentang saya.
Saya berusaha menghubungi penulis buku itu. Untuk minta restu menggunakan nama disway.
Begitulah. Tidak terasa umur disway sudah beberapa bulan. Tidak pernah bolong. Tiap hari saya menulis untuk disway.
Kadang saya tilpon mas Joko. Minta deadline mundur beberapa menit. Menunggu peristiwa baru di luar negeri. Yang lagi hangat.
Kadang saya tilpon ia: ada tulisan yang salah. Dikoreksi pembaca. Agar dibetulkan.
Tapi minggu lalu saya kehilangan kontak. Saya bingung: sakitkah mas Joko?
Ke mana ia? Tapi email saya kok tetap masuk ke emailnya? Dan tulisan saya kok tetap bisa muncul di disway?
Baru Rabu lalu saya lega: mas Joko baik-baik saja. Saat ‘hilang’ itu ternyata ia lagi sibuk urusan 212. Ia ngurus persiapan live streaming dari Monas. Agar acara itu bisa diikuti publik. Karena banyak tv yang no signal.
Dua hari dua malam mas Joko tidak tidur. Bagaimana bisa membuat live streaming itu on. Tanpa memungut bayaran. Sedikit pun. Saya terharu membaca tulisannya. Tentang suka duka menyiapkan live streaming itu. Seperti yang saya baca di situs-situs. Yang juga banyak dishare di grup-grup WA.
Nah, saya sudah menulis 212 kan? (dis)