Literasi Tsunami dari Tonggolobibi

Oleh: Joko Intarto

MASJID APUNG PALU. KIRI: Masjid Argam Bab Al Rahman atau Masjid Apung Palu sebelum tsunami Jumat (28/9). KANAN: Setelah tsunami tersebut. kredit foto kiri: Hari Suhendro, kedua: riaumandiri.co

eQuator.co.id – Suatu malam pada tahun 1996. Pukul 20:00. Saya masih mengoreksi naskah berita kiriman wartawan, saat peristiwa itu terjadi. ‘’Tonggolobibi hancur terkena tsunami,’’ kata Mas Nur, wartawan Kantor Berita Nasional ‘’Antara’’ biro Sulawesi Tengah, melalui sambungan telepon.

“Saya akan meliput ke sana besok pagi. Berangkat setelah subuh naik sepeda motor,’’ lanjutnya. “Saya ikut,’’ jawab saya spontan.

Tonggolobibi bukan kota penting. Hanya sebuah kecamatan. Delapan jam perjalanan dari kota Palu. Namun Tonggolobibi dalam perdagangan antarpulau memegang peran yang penting.

Tonggolobibi memang menjadi pelabuhan rakyat yang Menghubungkan Sulawesi Tengah dengan Kalimantan Timur dan Tawao di Malaysia. Dari Tonggolobibi dikapalkan rotan dan kayu hitam ke Tawao. Dari Tawao dikapalkan barang elektronik ke Tonggolobibi.

Posisi penting Tonggolobibi itu menjawab keheranan saya: mengapa ada beberapa kapal barang berukuran besar yang terdampar di daratan hingga 300 meter dari bibir laut akibat gelombang tsunami setinggi 4 meter itu. Isinya peralatan rumah tangga elektronik seperti AC, kulkas dan mesin cuci.

Tiba di Tonggolobibi, matahari sudah bergeser ke barat. Pukul 14:00. Ratusan anggota TNI AD dan polisi sudah berhasil mengevakuasi para korban. Seingat saya, sebanyak 31 orang yang meninggal dunia. Ratusan orang lainnya luka-luka.

Untuk sebuah bencana tsunami sebesar itu, jumlah korban tergolong kecil. Para korban umumnya orang-orang tua, yang ‘’terlambat’’ tiba di lokasi pengungsian di atas bukit.

Ternyata, masyarakat Tonggolobibi sudah belajar dari pengalaman gempa dan tsunami yang terjadi pada tahun 1969. Pengalaman itu menjadi pengetahuan yang diwariskan secara turun-temurun. Menjadi literasi dengan kearifan lokal, dari generasi ke generasi.

Menurut cerita yang berkembang, pada peristiwa tahun 1969, lebih dari 600 warga Tonggolobibi yang meninggal dunia. Seluruhnya akibat tsunami. Bukan karena gempa.

Gempa 1969 itu terjadi pagi. Sekitar pukul 07:00. Begitu terjadi gempa, masyarakat mengungsi. Naik ke bukit yang dirasa aman. Dalam tempo dua jam, air laut surut. Ribuan ikan menggelepar di pantai.

Ikan-ikan itulah yang membuat anak-anak dan remaja ramai-ramai turun ke pantai. Mereka tidak sadar bahwa surutnya air laut merupakan pertanda akan datangnya gelombang tsunami.

Hingga tahun 1996, masyarakat Tonggolobibi masih terus mengingat peristiwa gempa dan tsunami tahun 1969 itu. Alam yang terus mengingatkan mereka: dengan pemandangan pepohonan besar yang mati meranggas terendam air laut di sepanjang pantai Tonggolobibi. Gempa itu membuat permukaan tanah di Tonggolobibi turun hingga 2 meter.

Sejak itu, masyarakat Tonggolobibi memiliki pelajaran baru dalam kebencanaan. Kalau terjadi gempa disusul surutnya air laut, semua penduduk harus segera mengungsi ke bukit. Secepat mungkin. Setinggi mungkin.

Palu memang beda dengan Tonggolobibi. Gempa bagi warga Palu sudah menjadi hal yang biasa. Setidaknya bagi saya yang pernah tinggal di sana selama 6 tahun: 1993 – 1999. Tapi tidak ada pengalaman terhadap tsunami. Setidaknya dalam 40 tahun terakhir ini.

Mungkin banyak generasi muda dan warga pendatang yang tidak pernah lagi mendengar cerita dari Tonggolobibi. Itulah pentingnya literasi. (jto)

 

*admin disway.id, redaktur tamu Rakyat Kalbar